Konsep Kedaulatan di Tangan Rakyat : Politik Machiavellistik Hingga Titik Hancurnya Demokrasi
Oleh : Muhammad Alauddin Azzam
Pertemuan dua tokoh politik nasional, Prabowo-Megawati kemarin mungkin membuat kita bertanya-tanya. Mengapa Prabowo sebagai oposisi yang benar-benar terlihat "sangat bersebrangan" sejak masa pencalonannya hingga pada titik persengkatan di MK kemarin justru "memyerahkan" dirinya kepada Bu Mega ? Apalagi dengan sebuah pertemuan yang dinamakan Bu Mega sebagai "Politik Nasi Goreng" ?
Bukan hanya soal Prabowo saja sebenarnya, tapi juga banyak dari tokoh-tokoh pembela Islam dan Ummat Islam, justru berpaling dan menyebrang ke kubu rezim hari ini. Inilah politik yang dipandang sebagian orang sebagai "politics is the art of attacking the impossible", politik adalah seni melawan ketidakmungkinan. Maka, politik menjadi sebuah aktivitas yang mampu melompat hal-hal diluar nalar rasional kita. Logika bisa jadi tidak mampu membaca gerak-gerik politik hari ini. Apalagi perasaan ummat Islam yang sudah menaruh harapan cukup besar kepada Prabowo untuk terus berjuang melawan kecurangan dan kedzaliman.
Dalam konteks demokrasi, logika-logika memang "dipaksa" untuk tidak mampu membaca politik. Karena sebetulnya, logika dan pembacaan politik, khususnya hari ini berada pada satu pikiran yakni Sistem Politik Demokrasi yang di dasari oleh kedaulatan di tangan rakyat (popular sovereignty). Dampak dari kedaulatan semacam ini adalah menjadikan manusia sebagai sumber yang melahirkan aturan dan hukum dalam sistem politik. Politik dan sistem yang menyertainya pada akhirnya musti berjalan dalam track dan border akal budi manusia.
Ketika akal budi manusia dijadikan border dan track yang lahir justru ketidakpastian yang melahirkan kerugian dan kerusakan pada peradaban manusia itu sendiri. Muncul yang namanya Kepentingan Pemodal (Capital Interest) dalam berpolitik. Transaksi politik juga sangat mungkin terjadi seperti yang kita lihat secara "mata telanjang" hari ini. Mulai dari politisi hingga partai politik saling "tangkap jabatan". Bukan hanya itu, demi jabatan dia akan lakukan segala cara.
Kita jadi teringat salah satu tokoh Politisi Italia, Niccolo Machiavelli, dalam bukunya The Prince menerangkan bahwa pada intinya jadilah serigala berjubah kancil. Kancil atau bahkan domba yang jinak mampu meluluhkan hati setiap orang, tapi dibalik semua kebaikan itu hanya tersisa tubuh serigala yang jahat dan siap menerkam siapapun. Gaya politik semacam ini memang tumbuh subur dalam suasana demokrasi yang berkedaulatan di tangan rakyat. Aturan berhukum hingga berpolitik dibuat oleh manusia.
Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik (Daspol), Prof. Miriam Budiarjo, terdapat suatu gambaran politik yang menarik. Ada satu gambar tentang bangunan politik. Gambar tersebut adalah sebuah rumah yang memiliki pondasi, pilar, dan atap. Dalam pondasi terdapat berbagai ilmu yakni filsafat hingga ilmu hukum. Pada bagian pilar adalah power, decision making, distrobution, public policy. Lalu, pada bagian atap adalah politik. Dalam hal ini, kita bisa analisis bahwa konsep kedaulatan di tangan rakyat yang didasarkan sekularisme yakni kompromi terhadap kaum gerejawan itu menghasilkan konsep bahwa manusia sebagai sumber hukum. Hal ini bisa dilihat dari teori Social Contract, John Locke, yang mengakibatkan putusnya kontrak agama dan tuhan dalam mengatur urusan publik manusia.
Bahaya dari Social Contract Theory ini, manusia dijadikan sumber hukum. Kitab suci Al-Qur'an pada akhirnya tak mampu untuk diterapkan secara utuh. Tertahan oleh konsep kontrak sosial yang melahirkan yang namanya kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini yang menjadi dasar hingga puncak demokrasi menjadi rusak. Maka, bila kita kembali ke gambaran rumah di dalam buku Prof. Miriam Budiarjo, Daspol didapatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat melahirkan pilar-pilar yang rusak pula. Power dihasilkan dari akal budi manusia. Akal budi berjalan dengan teori john locke ditambah teori machiavelli. Pada akhirnya, terjadi perebutan kekuasaan hingga bagi-bagi "kue" karena di dalam alam demokrasi semua itu di-"halal"-kan.
Tidak hanya soal power (kekuasaan), tapi juga public policy (kebijakan publik) yang pro kapitalis, decision making (pengambilan keputusan) yang diatur atas kepentingan kapitalis dan transaksi politik kotor, distribution (pendistribusian) ini juga didasarkan transaksi uang yang kotor dan serampangan. Maka, dari semua inilah lahir "atap" politik yang juga kotor dan serampangan. Muncul pengkhianatan dan kedzaliman dalam politik. Dalam "atap" inilah kita bisa saksikan Machiavelli Modern kekinian muncul. Fraudulent of Politics (Kecurangan Politik) lahir, dan sebagainya.
Karena itulah, titik hancurnya demokrasi bisa kita lihat mulai dari "akar"-nya. Hari ini, kita menyaksikan "daun" dan "buah" demokrasi yang gelap dan rusak. Padahal, konsep kedaulatan di tangan rakyat itulah "akar"-nya. Jadi, mustinya kita kembali saja kepada pencipta kita semua Allah SWT. Konsep kedaulatan di tangan pencipta kita inilah yang akan membawa kepada sebenar-benarnya justice (keadilan), peace (kedamaian), dan welfare (kesejahteraan) dalam bingkai kebaikan di dunia dan akhirat. Sekian.[vm]
Posting Komentar untuk "Konsep Kedaulatan di Tangan Rakyat : Politik Machiavellistik Hingga Titik Hancurnya Demokrasi"