Perdebatan Konstruksi Bernegara : Pancasila, Antara Asas atau Pilar Negara ?
[Catatan Tantangan Debat Umum Tentang Pancasila Oleh Dr. Abdul Chair Ramadhan vs Saudara Tjahyo Kumolo]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT)
Pada Rabu malam (28/8), dalam sebuah Forum Group WhatsApp (GWA) Tokoh Nasional, kebetulan Penulis satu GWA dengan Dr. Abdul Chair Ramadan. Dalam forum diskusi ringan, ketua HRS CENTRE ini menyatakan telah mendapat mandat untuk mewakili Imam Besar Habib Rizq Syihab (IB HRS), untuk menantang debat Pemerintah ihwal Pancasila.
Secara khusus, tantangan itu disampaikan kepada Tjahyo Kumolo, yang pada beberapa saat yang lalu menyebut HRS tak paham Pancasila. Bahkan, Pejabat Menteri Dalam Negeri ini mengatakan Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Shihab perlu mempelajari dasar negara Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pernyataan Tjahjo juga merespons Pernyataan HRS yang meminta pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) karena para anggotanya tak paham Pancasila. Bahkan HRS menyebut BPIP menjadi 'Badan Pengkhianat Ideologi Pancasila'.
Substansi kritik HRS sendiri adalah pada kedudukan (eksistensi) Pancasila, yang saat ini telah direduksi menjadi pilar (tiang). Padahal, Pancasila adalah asas (dasar) dalam berbangsa dan bernegara.
Seperti sudah salah namun kaprah, MPR RI sejak periode kepemimpinan Taufiq Kiemas justru masif mensosialisasikan 4 (empat) pilar berbangsa : Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Sebenarnya kritik terhadap pergeseran kedudukan Pancasila dari asas menjadi pilar ini, adalah kritik yang lazim. Sebagaimana -menurut hemat penulis- sangat wajar jika muncul wacana tuntutan pembubaran BPIP, karena dipandang tak mampu membina dan mengarahkan ideologi Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara.
Aspirasi tuntutan pembubaran BPIP yang dinilai memboroskan anggaran negara, penulis kira bukan pendapat HRS seorang. Penulis sendiri memiliki pendangan sejalan, dimana BPIP yang bergaji ratusan juta rupiah tak menunjukan kinerjanya untuk rakyat. Penulis yakin, Publik juga setuju dengan pendapat ini.
BPIP hanya lantang bersuara menjadi corong rezim untuk meneriakan bahaya dan ancaman radikalisme. Namun, ketika bahaya yang mengancam negara di Papua nyata, hingga demo ke istana mengibarkan bendera OPM, tak seorang pun anggota BPIP yang mengecam sparatisme Papua.
Penulis juga tak sepaham dengan pernyataan Prof Jimly (dikutip suara.com) yang menuding HRS bukan mengkritik BPIP tapi menghina lembaga negara. Sebab, kritik HRS berbasis ilmu dan dilekatkan pada realitas dan fakta BPIP yang memang 'tak mudeng' hakekat Pancasila yang sejati.
Seharusnya, dengan standar yamg sama Prof Jimly bisa menuding gerakan demo Papua telah menghina dan melecehkan simbol negara. Bagaimana mungkin demonstrasi masyarakat Papua didepan istana -yang merupakan simbol negara- dilakukkan dengan mengibarkan bendera OPM ? Apakah Prof Jimly bersuara tentang hal ini ?
Tak salah jika publik kemudian berpraduga bahwa pendapat Prof Jimly ini tak jauh beda dengan mereka para begawan Pancasila yang ada di BPIP. Bedanya, Prof Jimly tak digaji ratusan juta rupiah seperti anggota BPIP.
Contohnya Prof Mahfud, salah seorang anggota BPIP yang mentwit : "Orang Jawa bukan orang Batak, Orang Aceh bukan orang Bugis, orang Sasak bukan orang Papua, orang Madura bukan orang Betawi, orang Dayak bukan orang Melayu. Tapi orang2 Melayu, Dayak, Betawi, Madura, Betawi, Papua, Bugis, Sasak, Aceh, Batak, Jawa, dll, adalah orang2 Indonesia".
Lantas apa esensi dari pernyataan ini ? Adakah ini nilai-nilai Pancasila yang akan menjadi materi ajar untuk membina dan mengarahkan Pancasila ? Apakah untuk quote semacam ini, anggota BPIP dibayar ratusan juta rupiah ?
Pada kasus OPM dan Papua, sebenarnya segenap rakyat menunggu-nunggu apa arahan dari BPIP. Sebab, sparatisme jelas merupakan ancaman NKRI.
Namun hingga saat ini tak satupun anggota atau ketua BPIP angkat bicara. Seperti biasa, Megawati, Try Sutrisno, Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'aruf Amin, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya kompak diam. Hanya Prof Mahfud MD yang bicara, itupun pembicaraan yang sangat berbeda ketika menjadi jubir suluh kebangsaan yang dengan ringannya menuding pesantren di Magelang dan di Jogja Radikal.
Kembali ke soal tantangan debat yang disampaikan Dr. Abdul Chair Ramadhan kepada Saudara Tjahyo Kumolo. Rasanya debat ini penting untuk diselenggarakan, agar bangsa ini memiliki tafsir yang sejalan dengan tujuan para pendiri bangsa.
Jika Al Qur'an memiliki banyak Kitab Tafsir Mu'tabar untuk memahami maknanya, seperti : Jami' al-Bayan fi Ta`wil al-Quran karya At-Thabari, al-Jami' li ahkam al-Quran karya al-Qurthubi, Ruh al-Ma'ani karya al-Alusi, Tafsir al-Quran al-'Adzim karya Ibnu Katsir, Mafatih al-Ghaib karya ar-Razi, al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta`wil karya al-Baydlawi, at-Tahrir wa at-Tanwir karya Ibnu 'Asyur, Fi Dzilal al-Quran karya Sayyid Quthb, dan lain-lain.
Namun, Pancasila hingga saat ini tak memiliki satupun kitab tafsir rujukan yang bisa dijadikan standar untuk memahami Pancasila, sehinga perbedaan dan perdebatan antar anak bangsa dapat dijembatani melalui pemahaman ilmu. Selama ini, tafsir Pancasila selalu dilekatkan kepada penguasa. Siapa yang tidak pro dengan tafsiran penguasa dianggap anti Pancasila, anti NKRI.
Semoga dengan terjadinya debat Dr. Abdul Chair Ramadhan vs Saudara Tjahyo Kumolo ini bisa menginspirasi Pak Menteri untuk menerbitkan kitab Tafsir Pancasila Mahzab Tjahyo Kumolo. Sebab, Pak Menteri menyebut HRS perlu belajar lagi Pancasila, mungkin Pak menteri mau berbesar hati untuk mengarang kitab tafsir Pancasila, yang kelak bisa menjadi materi ajar bagi HRS untuk mempelajari Pancasila.
Terakhir, penulis sebagai Presiden Islamic Lawyers Forum (ILF) akan merasa sangat terhormat, jika debat itu berkenan dilakukan di forum diskusi bulanan yang diselenggarakan LBH PELITA UMAT. Untuk edisi September, kami akan kosongkan tema dan siap menjadi Panitia penyelengara debat antara Dr. Abdul Chair Ramadhan vs Saudara Tjahyo Kumolo. [vm]
Posting Komentar untuk "Perdebatan Konstruksi Bernegara : Pancasila, Antara Asas atau Pilar Negara ?"