Usai Pilpres Rezim Jokowi Kembali Mengintensifkan Kriminalisasi Ulama ?
[Catatan Hukum Kriminalisasi terhadap Ust Heru Elyasa, Ulama dan Aktivis HTI Mojokerto]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Kami dari LBH PELITA UMAT melihat ada kezaliman yang dilakukan rezim kepada aktivis HTI. Hanya karena SK BHP nya dicabut, rezim melakukan Framing jahat kepada aktivis HTI dan memperlakukannya seperti seorang penjahat.
Padahal, aktivis HTI tidak korupsi seperti orang partai, tidak memberontak seperti OPM, tidak mengedarkan Narkoba seperti kader Nasdem yang tertangkap kasus narkoba beberapa waktu yang lalu, tidak pernah ada gosip selingkuh apalagi menyelingluhi istri orang seperti anggota ormas yang mengaku paling Pancasila dan paling NKRI. Karena itulah, tim LBH PELITA UMAT Korwil Jatim ketika meminta izin untuk membela Kiyai Heru Ivan Wijaya alias Ust Heru Elyasa, ulama dan aktivis HTI di Mojokerto, saya selaku ketua LBH PELITA UMAT mengizinkannya.
Kasus ini sudah lama, bermula dari status Ust Heru Elyasa di facebook yang diunggah 17-21 Juni 2018 menggunakan akun heruivan123@gmail.com. Unggahan berupa dakwah amar Ma'ruf Nahi Munkar ditafsirkan sebagai ujaran kebencian. Beliau, dijerat pasal pukat harimau UU ITE, yakni pasal 28 ayat (2) Jo pasal 45 ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE.
Pasal pukat harimau, dalam kajian LBH adalah pasal yang bisa menjerat siapapun yang ditarget rezim dengan dalih telah menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Pasal ini pula yang telah menjerat Ust Alfian Tanjung, Jonru, Ahmad Dani, dan sejumlah aktivis lainnya.
Anehnya, pasal ini tidak mampu menjerat Abu Janda, Ade Armando, Guntur Romli, dan semua buzzer di barisan rezim. Pasal pukat harimau ini, hanya diberlakukan kepada mereka yang kritis terhadap rezim.
Kiyai Heru Elyasa ini sendiri, adalah ulama kharismatik di Mojokerto. Setiap mengadakan pengajian Jalsah Ammah di kediamannya, jamaah berjubel hingga ribuan orang. Tema-tema pengajian yang beliau angkat memang tema muhasabah kepada penguasa, sebagai bagian dari kewajiban ulama dakwah amar Ma'ruf nahi munkar dan menasihati penguasa.
Diantara tema yang diambil, misalnya kritik ulama terhadap proyek One Belt One Road (OBOR) yang kemudian berubah nama menjadi Belt Road Inisiatif (BRI). Pengajian ini mengkritisi kebijakan Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Maritim yang membuat kerjasama dengan China atas sejumlah proyek strategis yang merugikan rakyat Indonesia. Bahkan, para ulama yang terhimpun dalam Multaqo Ulama membuat komitmen tegas menolak proyek OBOR China ini.
Karena sikap kritis Kiyai Heru sebagai ulama, aktivis HTI baik sebelum dicabut maupun sesudah dicabut BHP nya, Kiyai Heru dicari-cari kesalahan. Akhirnya, unggahan Facebook beliau di telusuri dan didapatkan konten yang dipaksakan sebagai ujaran SARA.
Kasus itu bergulir, sampai pada saat menjelang Pilpres sempat terhenti. Kuat dugaan, rezim menghentikan sementara proses hukum terhadap Kiyai Heru karena khawatir itu akan menggerus elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres. Proses hukum juga hanya sebatas melengkapi syarat administratif, hingga saat berstatus Tersangka Kiyai Heru tidak ditahan oleh Polres Mojokerto.
Lama sekali kasus Kiyai Heru tidak ada kabar. Tiba-tiba saja, tiga hari yang lalu Penyidik Polres Mojokerto menyatakan berkas P-21 dan dilakukan pelimpahan pada hari Kamis (15/8). Tanpa mengindahkan permohonan penangguhan dan jaminan tokoh dan ulama untuk Kiyai Heru, Kejaksaan Negeri Mojokerto menahan Kiyai Heru untuk 20 hari Kedepan.
Jahatnya, proses hukum biasa ini diframing media seolah Kiyai Heru penjahat besar, bajingan tengik yang harus dijauhi masyarakat. Detik.com, tanpa mengenal etika menggunakan diksi judul berita 'Eks Pentolan HTI Dijebloskan Penjara Kasus Ujaran Kebencian Terhadap Banser'.
Padahal, nomenklatur hukum terhadap proses ini adalah penahanan. Kenapa menggunakan diksi 'dijebloskan penjara' ? Tidakkah lebih beretika dan sesuai fakta hukum menggunakan diksi 'ditahan' ? Apakah media, juga sedang menjalankan misi rezim untuk mengalienasi ulama dari umat ?
Apakah, kasus yang bermula dari update status ini lebih berbahaya ketimbang pemberontakan OPM ? Di Papua saja, ketika ada anggota Polda Papua tewas setelah ditawan OPM, Wiranto menganggap hal biasa. Tidak perlu diperbincangkan.
Penulis sendiri bertanya-tanya, apakah proses terhadap Kiyai Heru ini dilanjutkan setelah Jokowi merasa aman dalam proses Pilpres ? Jokowi telah diputuskan menang oleh MK ? Jika dikaitkan dengan sejumlah peristiwa politik, maka nampak jelas bahwa sejumlah proses penegakan hukum di negeri ini bukan murni penegakan hukum, tetapi lebih kental nuansa politiknya.
Apapun itu, yang jelas kita sebagai umat Islam yang cinta negeri ini tidak boleh gentar, tidak boleh berhenti dari aktivitas dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Apa yang dialami Kiyai Heru mungkin saja menimpa kepada kita, jika kita diam dan abai dari aktivitas dakwah.
Kita, justru wajib lebih giat berdakwah agar kezaliman tidak semakin merajalela. Sebab, kezaliman yang terorganisir pasti akan mengalahkan kebajikan diam.
Kami memohon doa kepada segenap umat Islam, agar kami dimudahkan dalam memberikan pendampingan dan pembelaan hukum kepada Kiyai Heru Elyasa. Kiyai Heru memang aktivis HTI, tetapi menjadi aktivis HTI bukanlah cela, bahkan aktivitas HTI itu murni dakwah pemikiran, tanpa kekerasan, tanpa fisik, tanpa pemaksaan. HTI hanya menginginkan umat ini menjadi hamba yang taat, dengan tunduk kepada Allah SWT melalui penerapan syariah Islam secara kaffah. [vm]
Posting Komentar untuk "Usai Pilpres Rezim Jokowi Kembali Mengintensifkan Kriminalisasi Ulama ?"