Mahasiswa, Masalah Papua dan Perang Asimetris di Indonesia


Oleh : Ainul Mizan

Tanggal 23 September 2019, di Indonesia telah terjadi 2 (dua) demonstrasi. Pada satu sisi adalah aksi demonstrasi mahasiswa yang meluas di beberapa kota, di antaranya Jogyakarta, Kendari, Jakarta, dan kota lainnya. Aspirasi yang diusung beraneka ragam. Aksi demo mahasiswa berawal di Pekanbaru, Riau, secara khusus terkait dengan penanganan terkait Karhutla, pada tanggal 16 – 17 September 2019. Aksi di Jogyakarta dengan tajuk “Gejayan Memanggil”, dalam rangka mengkritisi beberapa RUU bermasalah. Sedangkan aksi di Jakarta, massa mahasiswa menuntut pembatalan RUU bermasalah, di antaranya RUKUHP, RUU KPK, dan lainnya. Bahkan tuntutan agar Jokowi mundur juga menggema. Hingga kemudian aksi di Jakarta tidak hanya massa mahasiswa, ada beberapa elemen lainnya. Dan di antara mereka ada elemen yang menuntut disahkannya RUU PKS.  

Sementara di sisi lainnya, di Papua telah terjadi aksi massa besar – besaran di Wamena. Diberitakan bahwa aksi yang awalnya damai tersebut, berujung ricuh dan terjadi kerusuhan. Pembakaran rumah serta timbul korban jiwa sebanyak 17 warga meninggal dan 318 orang ditangkap untuk penyidikan (www.suara.com, 23 September 2019). Ironisnya yang menjadi korban adalah warga pendatang di Papua. 

Kedua aksi massa ini baik yang dilakukan mahasiswa dan yang ada di Papua, terjadi hampir pada waktu yang bersamaan. Dan hingga tulisan ini hadir, aksi massa tersebut masih terus berlangsung hingga kemungkinan besar sampai terwujudnya tuntutan mereka. 

Melihat Aksi Mahasiswa dan Tuntutannya

Menilik aksi mahasiswa, tentu saja sebagai agent of change, mahasiswa harus memiliki kepekaan sosial dan politik yang tinggi dibandingkan dengan tingkatan pelajar di bawahnya. Adalah wajar selanjutnya bila mahasiswa dianggap sebagai penyambung lidah rakyat. 

Nurani mahasiswa terketuk dengan berbagai macam kerusakan dan pengabaian kepentingan rakyat oleh negara. Dari kasus korupsi yang merajalela dengan ditandai banyaknya OTT pejabat oleh KPK, masalah Karhutla yang tidak kunjung selesai, kriminalisasi aktifis, kecurangan pemilu 2019 yang menodai demokrasi dan yang lainnya, menjadi pemantik bangkitnya mahasiswa. Bagi mereka, orde reformasi telah dibajak demi kepentingan oligarki kekuasaan. Maka perlu adanya perubahan segera. 

Penguasa yang dholim dengan hasil kecurangan pemilu menjadi inti persoalan. Penguasa harus mundur, di samping di era Jokowi, menurut mereka banyak persoalan yang tidak mampu diselesaikan. 

Para mahasiswa sudah mampu menyadari adanya fakta kerusakan di negeri ini. Hanya saja agenda yang disuarakan adalah dengan memperbaiki demokrasi. Disinilah pentingnya mahasiswa merumuskan lebih detail dengan gambaran yang jelas akan format baru pemerintahan di negeri ini. Jangan sampai kasus reformasi tahun 1998 terulang kembali. Tanpa adanya kejelasan arah dan format berbangsa dan bernegara pasca reformasi, tentunya terjadi pembajakan reformasi. Tingkat kesejahteraan yang masih rendah hingga terciptanya oligarki kekuasaan. Dengan kata lain, Indonesia saat ini menjadi negara kekuasaan dan atau meminjam istilah Asyari Usman, Police State. UU ITE dan Ujaran Kebencian menjadi alat yang ampuh digunakan untuk menggebuk lawan politik. 

Melihat Masalah Papua dan Tuntutannya

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Wamena ibaratnya adalah seperti gunung es. Artinya, tragedi kemanusiaan di Wamena itu tidaklah berdiri sendiri sehingga diambil kesimpulan bahwa akar persoalannya hanyalah dipicu oleh kasus rasial, yang bermula dari kejadian di Malang dan di Surabaya pada bulan Agustus lalu. 

Memang ketidakcepatan pemerintah merespon dengan menindak pelaku yang diduga rasial bisa masih memungkinkan menyisakan sakit hati. Hanya saja ketika ditimbang dengan akal yang sehat dan nurani kemanusiaan yang lurus, kasus rasial yang berimbas pada pembunuhan, pembantaian kaum pendatang di Papua sangat tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Justru ketika yang disasar adalah pendatang, ini tentunya juga tergolong aksi rasialis. Padahal para pendatang yang kebanyakan berasal dari Minang dan Bugis, sebagian ada yang dari Jawa dan Madura, mereka semua datang ke Papua untuk mencari penghidupan, bukan mencari musuh. Sebagian ada yang karena tugas pengabdian, seperti dokter Soeko Marsetiyo. Beliau menjadi dokter pengabdian di daerah Tolikara. Justru para pendatang ini sangat mencintai Papua dan anak – anaknya. 

Persoalan Papua adalah mengenai rendahnya tingkat kesejahteraan hidupnya. Kekayaan yang begitu melimpah ironisnya tidak berimbas kepada kesejahteraan rakyat Papua. Keberadaan PT Freeport misalnya, yang mengeruk tambang emas dan perak yang melimpah, hanya menyisakan kerusakan lingkungan akibat limbah tailingnya. 

Dengan demikian bisa dipahami sentimen ingin lepas dari Indonesia menjadi lebih mudah untuk dipasarkan. Maka dibentuklah OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang tujuannya adalah untuk memperjuangkan terlepasnya Papua dari Indonesia. Bahkan OPM ini didukung oleh situs berbahasa Inggris Free West Papua yang membuka kantor di Belanda, Australia, dan di Inggris pada April 2013 (www.bbc.com, 30 Nopember 2014). Dengan kata lain, kasus Papua sudah mengalami internasionalisasi. 

Bisa diurai sumber masalah yang ada di Papua adalah terletak pada 2 hal mendasar yakni adanya kebijakan pemerintah Indonesia yang abai terhadap rakyatnya dan adanya upaya disintegrasi yang dipicu oleh OPM. 

Dampak Perang Asimetris di Indonesia

Penulis percaya bahwa konstelasi politik dunia sedikit banyak akan mempengaruhi kebijakan politik dan pemerintahan suatu negara. Bagi negara utama yang merupakan adidaya, akan banyak bisa berpeluang memenangkan pertarungan kepentingan di dunia. Negara utama bisa memaksakan nilai – nilainya yang bersumber dari ideologinya untuk diadopsi negara lain, terutama bagi negara – negara lemah. 

Amerika Serikat sebagai negara utama saat ini, berlaku layaknya Polisi Dunia. Barometer nilai di dunia adalah merujuk ke nilai USA. Oleh karenanya. USA tidak segan – segan memaklumkan war on terorism kepada dunia. Bahkan dengan pongahnya membelah dunia, dengan menyatakan anda bersama Amerika atau bersama teroris. 

Adapun dalam memasukkan nilainya tersebut harus dengan menumpahkan darah, baik dalam gelaran perang konvensional maupun perang non konvensional. Selanjutnya bentuk perang non konvensional ini disebut dengan Perang Asimetris. 

Perang asimetris merupakan perang yang dilakukan dengan memanfaatkan semua potensi ekonomi dan politiknya demi mencapai tujuan tertentu yang lebih luas cakupannya. Dampak perang asimetris lebih hebat dan luas dalam segala bidang kehidupan. Korban tentu saja akan lebih banyak, demi ambisi negara – negara utama dan atau negara maju yang menjadi pesaingnya.

Tidak hanya dalam bidang militer. Dalam pendidikan, saat ini nilai yang masih diagungkan adalah Demokrasi yang berasaskan sekulerisme. Tentunya tidak mengherankan bila para siswa termasuk mahasiswa yang muslim pun lebih fasih terhadap sistem Demokrasi daripada sistem pemerintahan di dalam agamanya sendiri. 

Dengan demokrasi yang bertumpu pada 4 kebebasan yakni kebebasan ekonomi, pendapat, perilaku dan berkeyakinan, menjadi dagangan ampuh dalam perang asimetris USA. 

Di Indonesia, USA mempunyai tandingan dalam perang asimetris ini yakni China. China saat ini menjelma menjadi raksasa ekonomi di kawasan laut China Selatan. Perang dagang antara keduanya berlangsung cukup sengit. Memang USA masih belum memandang China sebagai rival ideologinya. Akan tetapi USA melihat ada potensi China akan menjadi rival ideologi yang bermula dari kejayaan ekonominya di kawasan. 

China dalam melakukan perang asimetrisnya menggunakan 2 pola pendekatan yakni, pendekatan politik dan pendekatan ekonomi.

Secara politik, China itu one state two system. China merupakan sebuah negara yang menerapkan Komunisme Kapitalis. Pola represif dan ketat ala Komunisme akan diterapkan kepada warga negaranya. Oleh karena itu, aksi protes mahasiswa di Tiananmen, disikapi dengan operasi cleansing. Otoritas China melihat bahwa aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh barat untuk menyusupkan ideologi Liberalismenya di China. 

Sedangkan pendekatan keluar China, menggunakan pola pendekatan ekonomi yang lebih santun. Turn Project Manajement merupakan paket bantuan investasi ekonomi China. Dari modal, manajerial, hingga tenaga kerja semuanya disediakan China. Untuk memuluskannya, OBOR menjadi mega project besar guna menguasai suatu wilayah negara. 

Indonesia sudah menandatangani 23 proyek investasi melalui OBOR. Bila Indonesia tidak bisa membayar utangnya, maka sebagai jaminan adalah aset kekayaan alam Indonesia. Begitu pula dengan kebijakan satu paket investasi tersebut, berpotensi eksodus besar besaran warga China ke Indonesia. Maka tidak mengherankan bila ada prediksi, warga Indonesia akan menjadi babu di tanahnya sendiri dan terusir. 

Melihat fenomena demikian, USA melihat ada potensi membahayakan kepentingannya di Indonesia. Ada potensi ekonomi yang semakin sulit. Di samping perang dagangnya yang dilancarkannya mengalami kesulitan di negara Asia lainnya. Jepang bersitegang ingin memiliki akses ekonomi yang lebih luas setara dengan AS. Dengan India yang menuntut membebaskan dari pajak impor aluminium dan baja yang tinggi. 

Di sisi yang berbeda, pemerintah Indonesia dan beberapa parpol yang respek dengan PKC (Partai Komunis China). Dengan kata lain, AS ingin melakukan gertakan kepada 2 pihak sekaligus, yakni pemerintahan Jokowi dan China. 

Kepada pemerintah China, hendaknya tetap memperhatikan kepentingan ekonomi dan ideologis dari AS. Sedangkan kepada pemerintah Indonesia, AS seolah berkata bahwa ia bisa menjungkalkan siapapun dari kursi kekuasaannya dengan melakukan pembajakan kepada aksi aksi mahasiswa, serta guna menambah kuat tekanan kepada Indonesia dengan menginternasionalisasi persoalan pelanggaran HAM di Papua.

Vanuatu di dalam sidang umum PBB, 27 September 2019, mendesak agar komisi tertinggi HAM PBB untuk menyelidiki kasus HAM di Papua. Bahkan ia mendesak agar Indonesia bisa bersikap kooperatif. Benny Wenda berusaha untuk ikut menyuarakan, akan tetapi ia tidak bisa ikut di dalam forum PBB tersebut (CNN, 25 September 2019). Bahkan Sekda Papua dalam sebuah video youtube mengatakan bahwa Papua adalah tanah Israel kedua. Memang, di tahun 2018, di Papua pernah heboh adanya peristiwa pengibaran bendera Israel. 

Untuk bisa keluar dari perang asimetrik negara – negara maju baik yang mengemban ideologi Kapitalisme maupun Komunisme, maka umat Islam di Indonesia harus memiliki agenda politik tersendiri. Sebuah agenda politik yang hanya bersumber dari Islam. Umat Islam menyuarakan tegaknya syariat Islam dan Khilafah. Umat Islam harus menolak semua solusi dan tawaran dari Ideologi Kapitalisme maupun Komunisme.  

Di titik inilah, urgensinya para mahasiswa muslim yang saat ini sedang menyuarakan keadilan bagi rakyat agar mendasarkan gerakannya kepada ideologi Islam. Dengan begitu, aspirasi anda tidak akan mampu dibajak lagi. Aspirasi anda menjadi aspirasi Islam. Sebuah aspirasi yang hanya ingin diatur dengan Islam. Semua bentuk kedholiman dan kekufuran pastinya akan menjadi lenyap. 

Penguasa negeri ini seharusnya mengambil Islam dan menerapkannya. Niscaya kekuasaan itu akan ditopang oleh umat. Dengan demikian negara akan menjadi kuat dan berwibawa. Ia akan menjadi penguasa yang menjalankan kewajibannya guna mensejahterakan seluruh rakyatnya. Ia akan mendapat dukungan rakyatnya di saat akan melakukan penumpasan terhadap kelompok – kelompok separatis. 

Adalah rakyat kota Homs yang beragama Nasrani justru membela Khilafah Utsmaniy dengan berperang melawan pasukan salib yang notabenenya beragama Nasrani, sama dengan warga Homs. 

Sebelum terlambat, segeralah ambil Islam sebagai aturan pemerintahanmu. Bersegeralah untuk melindungi wargamu dari kekejian kelompok separatis Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua. Pahamkanlah kepada rakyat Papua bahwa lepasnya mereka dari negeri Islam Indonesia hanya akan menjadikan mereka berada dalam kungkungan sistem Demokrasi Kapitalisme yang sejatinya adalah sistem penjajah. Ingatkanlah bahwa tanah Papua adalah bagian dari Kesultanan Melayu Raya, yang berpusat di Kesultanan Bacan dan Jailolo, Maluku. [www.visimuslim.org]

Posting Komentar untuk "Mahasiswa, Masalah Papua dan Perang Asimetris di Indonesia"