Paradoks Radikalisme
Oleh : Ahmad Sastra
Kabinet yang baru dilantik mengumumkan dengan tegas upaya menangkal radikalisme dengan menyinggung para juru dakwah dan masjid. Statemen ini sontak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam.
Tak tanggung-tanggung, ada beberapa kementerian yang mendapat tugas khusus untuk menangani isu radikalisme ini. Salah satunya adalah kementerian agama yang kini dijabat dari kalangan militer. Presiden Jokowi dengan tegas menugaskan kemenag untuk menangkal radikalisme.
Respons pertama muncul dari mantan ketua Muhammadiyah, Din Syamsudin yang menyoal narasi radikalisme karena dikaitkan dengan agama terlebih Islam dan kaum muslimin. Menurutnya, Islam adalah agama paling toleran yang telah terbukti dalam sejarah berdirinya negera Indonesia.
Din menyarakan agar kemenag jangan memberantas semacam itu, fokus kepada upaya membangun bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, namun harus berfungsi untuk membangun moral bangsa, membangun keberagamaan kearah positif konstruktif, sebab itulah fungsi kemenag sejak dilahirkan.
Secara genealogis, istilah radikalisme ini muncul pasca terjadinya tragedi WTC yang dikemudian hari disinyalir sebagai skenario untuk menyudutkan Islam. Adalah Usama Bin Laden yang dituduh telah menjadi aktor utama tragedi itu. Bahkan kebenaran tuduhan itu hingga kini masih misteri.
Dari sinilah kemudian terus berkembang narasi radikalisme dan dikaitkan dengan Islam dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Pasca skenario tragedi WTC, maka diikuti oleh berbagai peristiwa pengeboman. Tidak sampai disitu, tiba-tiba muncul segerombolan pejahat yang mengaku sebagai muslim dan menyebut dirinya sebagai ISIS. Tapi sekali lagi, ISIS disebut sebagai bagian dari konspirasi. Paradoks.
Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis, yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada sekelompok pernyataan yang menuju ke sebuah kontradiksi atau ke sebuah situasi yang berlawanan dengan intuisi.
Adalah paradoks jika Islam yang telah lahir sejak zaman Nabi Muhammad bahkan sejak Nabi Adam sebagai agama terbaik dari Allah, namun dinarasikan sebagai agama yang menyeramkan. Padahal secara jelas termaktub dalam Al Qur’an bahwa Islam adalah agama benar, cinta damai, terbaik, toleran, dan menjadi rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta.
Adalah paradoks jika Islam yang justru telah berjasa besar atas berdirinya negeri ini justru dituduh sebagai agama radikalisme. Padahal kata radikal itu sendiri bukanlah kata yang berasal dari terminologi Islam, melainkan dari epistemologi Barat. Islam hanya bisa ditimbang berdasarkan sumber hukumnya yakni Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Maka jika kata radikal yang merupakan produk pemikiran Barat disematkan kepada Islam akan terjadi sebuah kerancuan. Kata radikal yang secara etimologi bermakna akar adalah netral belaka. Namun memahami Islam secara mendalam hingga ke akar-akarnya adalah kebaikan dalam Islam. Pemahaman Islam yang mengakar kuat inilah yang kelak menjadi basis teori dan propaganda radikalisme oleh Barat.
Secara politis, ikut menyebarkan narasi radikalisme ini sesungguhnya telah menguntungkan Barat dan merugikan Islam dan kaum muslimin. Islam sebagai tertuduh akan terus diframing sebaga agama bar-bar yang penuh kekejaman. Ujung dari framing radikalisme atas Islam adalah munculnya islamophobia di seluruh dunia.
Efek domino dari islamophobia ini sungguh mengerikan. Di berbagai negara, kaum muslimin menjadi sasaran diskriminasi yang telah melampaui nilai-nilai kemanusiaan. Perlakuan diskrininatif kepada kaum muslimin terjadi dari yang paling ringan seperti pelecehan hingga genosida. Inilah tragedi kemanusiaan akibat narasi radikalisme yang dibuat oleh Barat.
Tidak hanya sampai disitu, narasi radikalisme ini hingga sampai kepada pelarangan atribut-atibut keislaman. Jilbab sebagai identitas muslimah yang telah diwajibkan Allah justru dilarang dikenakan di salah satu negara. Ceramah-ceramah agama Islam yang merupakan urusan internal umat seringkali dicurigai, bankan ada yang dibubarkan.
Bahkan kalimat tauhid yang justru merupakan identitas paling fundamental bagi seorang muslim dipersoalkan. Framing radikalisme atas Islam adalah sebuah kejahatan besar dalam peradaban modern ini. Meskipun secara historis, Rasulullah terlebih dahulu mendapat fitnah dan tuduhan dari kaum kafir Quraisy. Sejarah memang akan terus berulang.
Oleh karena itu catatan penting untuk pemerintahan yang baru, janganlah ikut-ikutan membangun rasa ketakutan di negeri ini dengan terus mempropagandakan narasi radikalisme ini. Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dan bahkan mungkin terkaya di dunia. Seluruh kekayaan di negeri ini merupakan anugerah dari Allah SWT.
Yang justru seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah bagaimana membangun SDM bangsa ini berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang beradab karena keimanan adalah lebih baik dari pada mempersoalkan keimanan seorang muslim. Kegaduhan narasi radikalisme ini tidak akan pernah menjadikan negeri ini baik.
Kohesi sosial yang telah lama terbina di negeri ini justru akan karut marut akibat propaganda Barat atas narasi radikalisme ini. Hal ini semestinya disadari oleh bangsa ini. Indonesia adalah negara yang punya potensi strategis untuk menjadi negara adidaya di dunia. Dengan catatan bangsa ini kembali kepada jati diri sebagai negara yang religius, beradab dan bekerja keras.
Sebab Allah telah menjanjikan keberkahan dari langit dan bumi bagi suatu negeri yang bangsanya beriman dan bertaqwa kepadaNya. Sebagaimana perkataan Imam Al Ghazali, agama dan negara adalah seperti saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu stop bicara hantu radikalisme, sebab negeri ini masih terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan. [www.visimuslim.org]
Posting Komentar untuk "Paradoks Radikalisme"