Mencintai Nabi SAW.
Seorang Muslim tentu mencintai Nabi saw. Sebab dalam Islam, cinta kepada Nabi saw. merupakan keharusan. Kecintaan kepada Nabi saw. merupakan salah satu pembuktian keimanan seorang Muslim. Kecintaan kepada Nabi saw. sekaligus merupakan bagian dari bekal yang bisa mengantarkan seorang Muslim untuk bisa masuk surga bersama-sama dengan beliau di akhirat kelak. Anas bin Malik ra. menuturkan:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا، قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا أَعْدَدْتَ لَهَا؟ قَالَ: حُبَّ اللهِ وَرَسُولِهِ، قَالَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ»
Seorang Arab berkata kepada Rasul saw., “Kapan Hari Kiamat?” Rasulullah saw. balik bertanya kepada dia, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?” Dia berkata, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau bersama dengan yang engkau cintai.” (HR Muslim, an-Nasa’i, al-Bazzar dan Ibnu Khuzaimah).
Tentu, cinta yang bisa mengantarkan seseorang untuk bersama-sama Nabi saw. di akhirat kelak itu bukan sembarang cinta, apalagi cinta dusta, tetapi cinta yang nyata dan sempurna. Anas bin Malik ra. menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»“””
Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai, al-Baihaqi, al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Para Sahabat senantiasa berlomba-lomba menunjukkan cinta mereka kepada Rasulullah saw. Mereka biasa mendahulukan Rasulullah saw. di atas segala urusan dan kepentingan mereka. Mereka lebih mengutamakan Rasul saw. atas siapapun, termasuk atas saudara dan kerabat mereka, bahkan atas orangtua mereka sendiri.
Mencintai Nabi Saw., Mencintai Syariah
Siapa saja bisa mengaku cinta. Namun, tidak sedikit pengakuan cinta yang hanya dalam kata. Cintanya dusta. Rasulullah saw. bersabda:
«... فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»
…Siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan bagian dariku (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Imam Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) di dalam Fathu al-Bârî menjelaskan, “Yang dimaksud dengan as-sunnah adalah ath-tharîqah (jalan), bukan lawan dari fardhu. Raghbah ‘an asy-syay`i adalah berpaling dari sesuatu kepada yang lain. Yang dimaksud adalah siapa yang meninggalkan jalanku dan mengambil jalan selainku maka dia bukan bagian dari golonganku.”
Imam Badruddin al-‘Ayni (w. 855 H) di dalam ‘Umdah al-Qârî Syarhu Shahîh al-Bukhârî juga menyatakan, “Yang dimaksud as-sunnah adalah ath-tharîqah. Hal itu lebih umum dari fardhu dan nafilah, yakni mencakup amal dan akidah.”
Dengan demikian Sunnah Nabi saw. itu adalah jalan dan petunjuk beliau yang mencakup akidah dan amal, yakni mencakup akidah dan syariah Islam.
Dengan demikian pernyataan cinta kepada Nabi saw. harus mewujud dalam kecintaan pada akidah dan syariah Islam. Siapa saja yang tidak suka dengan syariah yang beliau bawa, apalagi berpaling darinya, maka cintanya kepada Nabi saw. hanyalah cinta dusta. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw., tetapi alergi terhadap syariahnya, maka cintanya palsu. Siapa yang mengaku cinta kepada Nabi saw., tetapi ucapannya merendahkan syariah, tindakan dan kebijakannya terjangkiti penyakit islamophobia, maka cintanya dusta meski dia biasa memperingati Maulid Nabi saw. dan mengaku cinta kepada beliau hingga berbusa-busa.
Singkatnya, rasa cinta kepada Nabi saw. akan menghasilkan kecintaan pada syariahnya. Kecintaan pada syariahnya tentu akan menghasilkan kerinduan pada penerapan syariah tersebut. Siapa yang mencintai Nabi saw. tentu tidak akan merasa nyaman dan tenteram tatkala sunnah beliau—yakni tharîqah, petunjuk dan syariah yang beliau bawa—ditinggalkan dan dicampakkan. Orang yang mencintai Nabi saw. tentu tidak akan mencintai siapa saja yang membenci, merendahkan apalagi memusuhi syariahnya. Mustahil, siapa yang mencintai Nabi saw., pada saat yang sama, dia juga mencintai orang yang memusuhi Nabi saw.; memusuhi syariah atau bagian dari syariah.
Cinta Harus Nyata
Cinta hakiki kepada Rasulullah saw. sekaligus menjadi bukti cinta kepada Allah SWT. Sebaliknya, cinta kepada Allah SWT harus dibuktikan dengan mengikuti dan meneladani Rasulullah saw., yakni dengan mengikuti risalah yang beliau bawa. Itulah syariah Islam. Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, "Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (TQS Ali Imran [3]: 31).
Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) di dalam Tafsîr al-Qurân al-Azhîm (Tafsîr Ibni Katsîr) menjelaskan ayat ini dengan menyatakan, “Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengklaim cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad saw. (tharîqah al-Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syariah Muhammad secara keseluruhan.”
Kecintaan kepada Nabi saw. dalam bentuk kecintaan yang benar dan tulus niscaya menghasilkan ketaatan kepada beliau. Di dalam penggalan Syair Imam Syafii (w. 204 H) dinyatakan:
لَوْ كانَ حُبُّكَ صَادِقاً لأَطَعْتَهُ
إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ
Andai cintamu benar, niscaya engkau menaatinya
Sungguh pencinta itu sangat taat kepada yang dicinta
Jadi cinta yang hakiki akan melahirkan ketaatan. Sebaliknya, ketaatan merupakan bukti kecintaan. Klaim cinta kepada Nabi saw bisa dinilai dusta jika ternyata selain Nabi saw. lebih ditaati daripada beliau, petunjuk Nabi saw. diganti oleh petunjuk selainnya serta hukum-hukum yang beliau bawa ditinggalkan dan diganti dengan hukum-hukum yang lainnya.
Ketaatan menunjukkan kecintaan. Kecintaan menunjukkan akan bersama siapa kelak di akhirat karena Rasul saw. bersabda, “Al-Mar`u ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama orang yang dia cintai).”
Karena itu hendaknya direnungkan, akankah kita bisa bersama Rasul saw di akhirat kelak jika sistem republik, trias politika, hukum positif dengan sistem civil law atau common law, doktrin kedaulatan manusia (rakyat) dan aturan selain Islam lebih dipilih dan diterapkan?
Kecintaan kepada Nabi saw. harus dibuktikan dengan ketaatan kepada beliau. Ketaatan kepada beliau haruslah menyeluruh dalam apa saja yang beliau bawa dan apa saja yang beliau larang. Allah SWT memerintahkan:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja yang Rasul bawa kepada kalian, ambillah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Topik pembicaraan ayat ini memang berkenaan dengan harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun demikian, sebagaimana penjelasan Imam az-Zamakhsyari (w. 538 H), makna ayat ini bersifat umum, yakni meliputi semua yang Rasul saw. berikan dan semua yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’. (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).
Yang harus ditaati itu adalah apa saja yang dibawa oleh Rasul saw. dalam perkara apa saja: perkara spiritual, moral ataupun sosial kemasyarakatan; perkara ibadah, akhlak, keluarga, harta, ekonomi, hukum, pemerintahan, politik dan semua urusan masyarakat.
Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ...﴾
Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah... (TQS an-Nisa’ [4]: 64).
Lalu Allah SWT menegaskan di dalam ayat berikutnya:
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Menjadikan Rasul saw. sebagai hakim sepeninggal beliau adalah dengan menjadikan hukum-hukum syariah yang beliau bawa sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara.
Dengan demikian dua ayat di atas menegaskan bahwa Rasul saw. wajib ditaati dalam segala hal, termasuk dalam masalah hukum dan urusan sosial kemasyarakatan. Jadi mereka (manusia) pada hakikatnya tidak beriman hingga menjadikan hukum syariah sebagai pemutus atas segala persoalan. Karena itu mereka wajib menerapkan syariah secara menyeluruh untuk memutuskan segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Begitulah cinta hakiki kepada Nabi saw. Cinta kepada Nabi saw. melahirkan pengutamaan beliau dan syariahnya di atas urusan dan kepentingan sendiri. Cinta kepada Nabi saw. harus mendorong kita untuk taat pada syariah yang beliau bawa. Cinta kepada Nabi saw. hendaklah mendorong kita untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah di tengah-tengah kehidupan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [www.visimuslim.org]
HIKMAH
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bagi dirinya, lalu dia mengikuti jalan yang bukan jalan kaum Mukmin, niscaya Kami membiarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami memasukkan dia ke dalam Neraka Jahanam. Neraka Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (TQS an-Nisa’ [4]: 115).
Posting Komentar untuk "Mencintai Nabi SAW."