Pro Kontra Sertifikasi Pranikah
Oleh: N. Vera Khairunnisa
Setelah sebelumnya muncul kebijakan untuk mengganti peraturan tentang pembatasan usia pernikahan bagi perempuan, yang asalnya 16 tahun menjadi 19 tahun, yang menurut sebagian pihak bertentangan dengan kearifan lokal beberapa daerah nusantara. Kini, muncul kebijakan kontroversi terkait sertifikasi pernikahan. Sertifikasi nikah ini direncanakan berlaku pada tahun 2020. Aturan ini dicanangkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
Muhadjir Effendy mengatakan, mereka yang tidak mengikuti program pembekalan pra-nikah ini tidak boleh menikah. "Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah," pernyataannya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (tribunnews. com, 14/11/2019).
Banyak pihak yang tidak setuju alias kontra dengan kebijakan ini. Salah satunya yakni Ketua Kehormatan Presidium Inter Religious Center (IRC) Indonesia, Din Syamsuddin, berada di kubu kontra.
"Ini kayak enggak ada kerja saja, gitu. Kalau saya, tidak setuju," ujar Din usai pertemuan tokoh lintas agama di kantor CDCC, Jakarta Selatan, Senin (19/11).
Menurut Din, wacana sertifikasi kelas pranikah seharusnya dialokasikan untuk hal lain. Semisal, membantu pasangan yang ingin menikah namun terbentur finansial. (kumparan.com, 18/11/2019)
Sedangkan pihak penggagas dan yang mendukung, mereka berharap kebijakan ini mampu menekan angka perceraian yang cukup tinggi serta untuk mengentaskan masalah stunting atau gizi buruk pada anak.
Berdasarkan data yang dikutip detikcom dari website Mahkamah Agung (MA), Rabu (3/4/2019), sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada 2017.
Dengan demikian, betul bahwa Indonesia memiliki problem tingginya angka perceraian dan stunting. Namun, apakah kebijakan terkait bimbingan dan sertifikat pranikah ini tepat untuk mengatasi kedua problem tersebut?
Sebab jika mengamati fakta yang ada, yang menjadi penyebab tingginya angka perceraian bukan sekedar problem individu. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), pada tahun 2017, dari 364.164 kasus perceraian yang terdaftar, 152.575 kasus di antaranya disebabkan "perselisihan dan pertengkaran terus menerus". Di posisi kedua, faktor ekonomi menyebabkan perpisahan pada angka 105.266 kasus. Sedangkan pada posisi ketiga yaitu faktor "meninggalkan salah satu pihak".
Dari data tersebut, bisa disimpulkan bahwa faktor penyebab perceraian ada dua. Pertama, ketidakmampuan dalam menyelesaikan problem rumah tangga. Kedua, faktor ekonomi.
Kalau direnungi, dari data tingkat perceraian yang terus tinggi setiap tahunnya, akan ditemukan bahwa penyebab perceraian bukan karena faktor individu saja. Namun sudah disebabkan oleh adanya ketidakberesan dalam sistem negara. Kebijakan wajib sertifikasi pranikah seolah menjadi bukti bahwa sistem pendidikan sekuler yang diterapkan hari ini gagal dalam mencetak generasi yang siap menghadapi berbagai problem hidup, termasuk problem pernikahan. Padahal, pendidikan diberikan selama bertahun-tahun. SD, SMP, SMA, bahkan hingga kuliah. Namun ketika hendak menikah, mereka masih tetap saja dianggap belum layak, jika tak mengikuti konseling pranikah.
Selain itu, faktor ekonomi juga bukan sekedar karena ketidakmampuan atau kemalasan para suami dalam mencari nafkah. Sistem ekonomi kapitalis menyebabkan ekonomi rakyat semakin sulit. Dimana lapangan pekerjaan begitu terbatas, khususnya untuk para suami. Sementara kebutuhan pokok kian mahal. Hal ini menjadikan pernikahan yang diimpikan bakal indah, namun selalu keruh karena masalah finansial. Mengenai sulitnya kondisi ekonomi, banyak media sudah memberitakan, baik cetak, elektronik maupun online.
Problem stunting pun, bukan semata-mata karena ketidaktahuan individu mengenai kesehatan. Namun karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi gizi seimbang disebabkan kemiskinan. Lagi-lagi akibat dari sistem ekonomi kapitalis liberal, yang menyebabkan negeri Indonesia yang kaya akan SDA-nya, namun rakyatnya banyak yang kekurangan gizi. Sungguh ironis. Mengenai mengapa kapitalisme liberal merusak ekonomi Indonesia, nampaknya sudah banyak pakar ekonom membahasnya.
Oleh karena itu, konseling dan sertifikasi pranikah bukan solusi yang efektif. Sebab hanya menyentuh ranah individu semata. Bimbingan agar siap dalam mengarungi rumah tangga tak bisa dilakukan dengan instan. Namun harus melalui proses pendidikan yang panjang.
Kasus stunting juga tidak bisa hanya dengan memberikan info tentang kesehatan. Namun harus ada jaminan kesejahteraan. Sehingga semua masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun sayangnya, sistem yang ada hari ini tidak akan mampu menjamin keduanya. Sistem pendidikan sekuler yang bertahun-tahun, tak mampu mencetak generasi unggul. Bahkan untuk menikah pun, mereka dipandang belum layak kalau belum ikut konseling. Sistem ekonomi kapitalis juga justru yang menjadi penyebab mahalnya kesejahteraan bagi rakyat.
Solusi Islam
Islam memiliki aturan yang lengkap dan sempurna. Mampu menyelesaikan semua problem sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal.
Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah. Siapapun yang sudah ingin dan siap untuk menikah, maka tidak dilarang untuk melakukannya. Justru, menunda pernikahan dalam Islam adalah sebuah bencana.
Dalam Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah (h. 108), Al-'Allamah al-Muhaddits As-Sayyid Muhammad 'Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahullah, menyebut penundaan pernikahan termasuk masalah besar:
ومن هذه الفتن: تأخير زواج البنت أو الشاب بعد بلوغ سن التكليف، مما أدى ركود سوق الزواج. نعم؛ ركدت سوق الزواج اليوم ركودا يفرغ و يخيف، حتى إننا لنرى الشاب أو الشابة في العواصم، قد بلغ أو بلغت الأربعين سنة فما فوق، و قد يموت أو تموت وما رأى أو رأت الزواج، ومن هذا كثرت البلايا بيننا و الفتن.
Temasuk bencana adalah menunda pernikahan pemuda atau pemudi yg umurnya sudah masuk taklif syariat, sehingga pernikahan menjadi langka. Betul, minimnya pernikahan masa kini sungguh miris dan mengkhawatirkan, lihat saja pemuda atau pemudi di kota besar, hingga umur 40 tahun, belum merasakan keberkaahan pernikahan, atau kadang wafat dalam kondisi belum nikah. Ini pasti melahirkan banyak musibah dan bencana kedepan.
Rasulullah SAW bersabda (artinya), "Wahai generasi muda, barang siapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia menikah karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang siapa belum mampu (menikah) hendaknya berpuasa, karena ia (puasa itu) dapat mengendalikanmu (HR al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Mas'ud RA).
Pemimpin dalam sistem Islam, tidak akan meragukan kelayakan rakyatnya untuk menikah. Sebab, sistem pendidikan yang diterapkan menjamin lahirnya generasi yang unggul. Pemudanya akan mampu menjadi suami dan ayah yang unggul, begitupun para pemudinya. Mereka adalah para pemudi yang siap mencetak generasi terbaik.
Problem stunting juga akan mempu diselesaikan dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Dengan pengaturan klasifikasi kepemilikan, pengelolaan kepemililkan dan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Akan menjamin kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mudah dan murah. Sistem Islam juga menjamin layanan kesehatan gratis dan berkualitas yang menjadi hak semua warga.
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
Posting Komentar untuk "Pro Kontra Sertifikasi Pranikah"