Radikalisme Islam atau Sekulerisme Radikal?
[Pengantar ILF Edisi On The Stage]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT )
Sejak mengumumkan Kabinet Indonesia Maju untuk masa bhakti 2019-2024, narasi perang melawan radikalisme begitu kental digaungkan rezim. Bahkan secara khusus, Jokowi memberi amanah kepada Menag Fahrur Razi untuk memprioritaskan agenda perang melawan radikalisme.
Selain kemenag, Kemenkopolhukam juga termasuk kementrian yang begitu bersemangat bicara tentang radikalisme. Mahfud MD bahkan menyebut tindakan anak yang dipisahkan antara laki-laki dan perempuan karena bukan mahram sebagai perilaku radikal, karenanya harus di deradikalisasi.
Fahrur Razi selaku Menag, berulang kali mengeluarkan statement kontroversi. Dari larangan ceramah menyampaikan ayat atau hadits sensistif, larangan cadar dan celana cingkrang, sampai akan menemui Ustadz Abdul Shomad untuk dinasehati sehubungan adanya ceramah UAS yang dinilai Menag tidak pas.
Tak hanya itu, layaknya memimpin batalyon tempur militer. Menag, mengancam siapapun ASN yang terpapar radikalisme agar segera kembali ke Pancasila, kembali ke NKRI atau akan dipecat oleh Menag.
Seperti sedang mengepung maling, Kemendagri dan Kemenpan RB juga melakukan hal yang sama. Dua kementrian ini, bersama Kemenkopolhukam dan kemenag begitu aktif memproduksi narasi perang terhadap radikalisme.
Sementara itu, secara hukum hingga detik ini tidak ada satupun pasal atau produk peraturan perundangan yang mampu mendefinisikan secara baku apa yang dimaksud dengan radikalisme. Pada faktanya, Radikslisme selalu dijadikan alat untuk memukul dan menekan kelompok Islam yang konsisten terhadap ajaran Islam dan ingin menerapkan ajaran Islam secara kaffah.
Dalam ketentuan pasal 43C UU No. 5 tahun 2018 tentang terorisme, hukum hanya mengenal istilah Kontra radikalisasi yang merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap
orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk
menghentikan penyebaran paham radikal Terorisme.
Sementara di Pasal 43D ayat (1) hanya disebutkan istilah Deradikalisasi yang merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk mengurangi dan menghilangkan atau membalikkan pemahaman Radikal terorisme yang telah terjadi.
Isu khilafah kembali mencuat, Menag mengutarakan keinginannya yang akan menindak secara hukum orang yang konsisten mendakwahkan ajaran khilafah karena menurutnya khilafah banyak mudhorotnya. Bahkan, dengan jumawa Menag mempersilakan siapapun yang masih mendakwahkan khilafah untuk angkat kaki dari bumi NKRI.
Mahfud MD pun berulangkali menantang debat khilafah, untuk membuktikan pendapatnya ihwal tak ada sistem ketatanegaraan khilafah yang baku. Mahfud juga menuding khilafah tak ada dalam Al Quran.
Kentara sekali arah narasi radikalisme itu ditudingkan kepada Islam. Himbauan tak ada ceramah radikal, ayat sensitif, hadits sensitif, larangan cadar, sensi terhadap anak SD yang menjaga interaksi mahram, menunjukan rezim memang sedang mengarahkan isu radikalisme terhadap Islam dan umatnya. Rezim tidak pernah mengunggah narasi radikalisme gereja, radikalisme pendeta, radikalisme biksu, radikalisme kelenteng, padahal sebagai sebuah istilah netral radikalisme seharusnya bisa menyasar kepada siapapun dan dengan latar belakang agama apapun.
Rezim juga tak pernah mempersoalkan pakaian rok mini, perzinaan bebas, miras, narkoba, tapi justru sibuk mengurusi pakaian muslimah. Padahal, rezim khususnya melalui kemenag wajib mengarahkan rakyat agar memiliki iman dan taqwa serta ahlakul karimah, nyatanya itu tidak dilakukan.
Radikalisme juga tak pernah muncul untuk menghakimi perilaku biadab OPM di Papua, pembunuhan dan pembantaian di Wamena, penembakan 3 tukang ojek oleh OPM. Para teroris radikalis ini hanya digelari sebagai KKB atau paling tinggi hanya KKSB.
Satu kunai yang menusuk Wiranto lebih heboh dan langsung menjadi pembenar narasi perang melawan radikalisme, sementara puluhan hingga ratusan nyawa yang tewas akibat terorisme radikalisme di Wamena tak pernah menjadi perhatian negara.
Kaum sekuler radikal yang menguasai benak rezim saat ini begitu keras ingin menjauhkan Islam dari negara, bahkan ingin menjauhkan Islam dari masjid dan para ulamanya. Masjid diawasi, para ustadz dan ulama di intimidasi, pengajian dipersekusi, semua berdalih Pancasila, toleransi dan kebhinekaan.
Di rezim sekuler yang radikal ini, persoalan bangsa tentang ekonomi, kemiskinan, pengangguran, korupsi, ketidakadilan, dekadensi moral, tidak diurusi secara serius. Semua masalah bangsa dianggap tak pernah ada, yang ada hanyalah bagaimana membungkam radikalisme Islam.
Apakah umat ini akan diam terhadap kebijakan kaum Sekulerisme radikal yang tak ingin umat ini kembali kepada syariah Allah SWT ? Apakah umat ini akan diam terhadap kebijakan kaum Sekulerisme radikal yang tak ingin umat ini kembali bangkit dan berjaya dengan nilai-nilai Islam ?
Apakah umat ini akan diam terhadap kebijakan kaum Sekulerisme radikal yang tak ingin umat ini kembali menerapkan Islam secara kaffah, sebagaimana dahulu diterapkan oleh Rasulullah dan generasi para sahabat ? [www.visimuslim.org]
Posting Komentar untuk "Radikalisme Islam atau Sekulerisme Radikal? "