Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Diskotek Berjasa Pada Negeri?


Oleh: Ukhiya Rana 
(Member Pena Muslimah Cilacap)

Indonesia memiliki tempat hiburan malam yang menjadi daya tarik bagi para misatawan malam, terutama di Kota Jakarta. Bisnis diskotek menjadi tawaran yang menggiurkan bagi para pelaku bisnis. Sebab selain keuntungan yang didapat sangat besar, bisnis ini juga merupakan bisnis yang legal. Terbukti dengan adanya Award bagi Diskotek Colosseum yang diberikan oleh Pemprov  DKI Jakarta.
Diskotek Colosseum Club 1001 Jakarta, kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Alberto Ali, mendapatkan salah satu dari 31 kategori yang ada dalam penghargaan tersebut. Alberto mengatakan, sedikitnya ada tiga alasan mengapa Colosseum menang. Pertama, karena dedikasinya, ke-dua karena kinerjanya.

“Kemudian yang ke-tiga, karena kontribusi terhadap pariwisata Jakarta. Ada tim yang menilai itu semua,” ucap Alberto.

Lebih lanjut, Alberto mengatakan pemberian penghargaan kepada diskotek tidak dilarang menurut peraturan. Dalam peraturan yang tertulis, kata Alberto, diskotek adalah salah satu tempat usaha  pariwisata.

“Kan diatur dalam undang-undang bahwa diskotek masuk salah satu tempat usaha pariwisata kan, pariwisata jadi kan nggak ada yang melarang,” tutur dia.

https://m.antaranews.com/berita/1208284/anie-beri-penghargaan-adikarya-pada-diskotek-colosseum

Pemprov DKI Jakarta pun mendapat sorotan karena memberikan penghargaan Adhikarya Wisata pada diskotek tersebut. Penghargaan tersebut wujud apresiasi terhadap kontribusinya dalam pengembangan pariwisata sebagai bagian dari program prioritas pembangunan.

Pemberian penghargaan ini dipertanyakan oleh warganet. Pasalnya Colosseum Club termasuk dalam bisnis Alexis Group, sama dengan Alexis Hotel yang ditutup Gubernur Anies Baswedan tahun lalu. Untuk diketahui, Anugerah Adhikarya Wisata 2019 diberikan kepada pelaku usaha pariwisata dan jasa yang telah berkontribusi nyata dalam mempromosikan pariwisata Jakarta kepada masyarakat Indonesia dan turis asing.

https://www.suara.com/ews/2019/12/13/162435/colosseum-club-raih-penghargaan-anies-panen-sindiran

Belum lama penghargaan Adhikarya Pariwisata yang disandang oleh Diskotek Colosseum, akhirnya dicabut oleh Pemprov DKI Jakarta. Melalui Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah, dalam Konferensi Pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (16/12/2019) sore.

“Jadi proses ini semuanya ada di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Berdasarkan fakta di lapangan maka penghargaan Adhikarya kepada Colosseum dibatalkan,” kata Saefullah.

Penghargaan, menurut dia, dicabut karena ada laporan dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta. Di dalam laporan yang dikeluarkan tanggal 7 September itu disebutkan Colosseum menjadi salah satu diskotek yang mendapat perhatian khusus karena kasus narkotika dan obat-obatan.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20191216180700-4-123534/pernah-ada-kasus-narkotika-anies-cabut-award-untuk-colosseum

Memberikan penghargaan Adhikarya Wisata kepada sebuah tempat yang menjadi fasilitas kemaksiatan (diskotek) sangat tidak tepat. Karena apapun alasannya, diskotek adalah tempat yang kental dengan kemaksiatan. Sehingga dengan adanya penghargaan tersebut, akan menjadi ‘hujjah’ bagi para penikmat diskotek. Seolah menjadi hal yang biasa bahkan tidak melanggar norma agama. Terlebih dengan legalitas yang diakui undang-undang, ini tentu akan semakin membuat para pelaku kemaksiatan tidak merasa malu bahkan semakin berani memamerkan aktivitas maksiatnya.

Padahal dalam kacamata seorang Muslim, sudah sangat jelas bahwa dari sudut pandang manapun tidak ada hal positif dari sebuah diskotek. Yang aktivitasnya tidak lepas dari miras, ikhtilat dan dekat dengan prostitusi dan maksiat lainnya.

Dalam sistem kapitalisme saat ini, usaha atau bisnis dalam hal yang dapat membahayakan aqidah umat, bukanlah hal yang salah. Selama tidak melanggar regulasi soal miras berijin, prostitusi legal, dan tidak terlibat bisnis narkoba. Sebab tolok ukur atau standar yang digunakan bukanlah halal-haram, melainkan keuntungan.

Kapitalisme juga berlandaskan sekulerisme—paham yang memisahkan urusan dunia dengan agama—apapun bisa dilakukan tanpa mengindahkan moralitas, apalagi agama. Oleh karena itu, selama masih menguntungkan, bisnis ‘hiburan malam’ akan terus dijalankan. Kapitalisme juga semakin menyuburkan bisnis malam ini dan berbagai kemaksiatan lain. Sebab, selain diatur dalam undang-undang (legalitas diakui), bisnis ini juga disebut-sebut telah berjasabagi negara.

Semua itu menjadi bukti, bahwa diakui atau tidak negara telah menangguk untung dari bisnis kemaksiatan ini. Minimnya kemampuan negara membuka lapangan pekerjaan, menjadi ‘terbantu’ dengan adanya tempat maksiat ini. Perputaran ekonomi masyarakat pun berjalan. Pemerintah daerah juga memperoleh pendapatan melalui pajak dan retribusi tempat hiburan malam.

Sebagai tempat hiburan, diskotek tidak lepas dari pengenaan pajak. Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 45 ayat (1) UU PDRD dengan tarif tertinggi yang dapat dibebankan sebesar 35%. Tettapi, pengenaan tarif secara spesifik tetap menjadi hak daerah.

Melihat besarnya keuntungan materi pemerintah serta sebagian masyarakat yang terlibat bisnis kemaksiatan, wajar bila akhirnya pemerintah enggan memberantas tuntas kemaksiatan di negeri ini. Padahal, sebesar apapun perputaran ekonomi dari bisnis haram ini, kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai dan jauh dari keberkahan. Bahkan dampak yang ditimbulkan harus dibayar mahal oleh rakyat. Yaitu hancurnya tatanan masyarakat, kerusakan moral generasi, menjamurnya HIV/AIDS serta oenyakit kelamin, kehancuran keluarga, dan sebagainya.

Semakin jelas lah, bahwa siapapun pemimpinnya selama regulasi yang ditegakkan berasas sekuler-kapitalisme, maka religiusitasnya tidak bisa menghalangi pemberian award di atas.

Meskipun pada akhirnya pemberian award ini dicabut. Itu karena diskotek yang dipilih ternyata dianggap tidak lulus salah satu kriteria, yakni bebas dari bisnis narkoba.

Inilah buah penerapan ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasi-liberalnya yang melahirkan sistem ekonomi yang liberal, sistem politik yang sekuler dan rusak, sistem sosial yang menghancurkan nilai-nilai kebaikan masyarakat, dan berbagai sistem kehidupan yang hanya diukur dengan standar materi tanpa melihat halal-haram. Maka umat Islam wajib meninggalkan sistem yang rusak dan merusak ini.

Berbeda dengan sistem Islam, bisnis kemaksiatan ini tidak akan diberikan tempat. Apalagi dengan menjadikannya sebagai sumber perekonomian negara Khilafah. Khilafah melarang beroperasinya diskotek meskipun menyerap tenaga kerja, memberi sumbangan pajak dari miras berijin dan menarik devisa dari wistawan mancanegara. Karena tempat-tempat seperti ini akan membahayakan akidah umat.

Negara Khilafah sebagai pelaksana syariat Islam Kaffah berkewajiban menjaga rakyatnya dari perbuatan maksiat, apalagi menjadikannya sebagai ajang mencari rezeki. Institusi wajib membina ketakwaan individu dan menumbuhkan suasana keimanan masyarakat. Negara juga akan memberantas semua bisnis hiburan yang kental dengan kemaksiatan. Seluruh kebijakan yang ditetapkan tidak mengakomodir sedikitpun terjadinya bisnis kemaksiatan, seberapapun keuntungan materi yang didapatkan.

Dengan penerapan sistem islam yang menyeluruh oleh negara Khilafah, kesejahteraan dan keberkahan hidup akan meliputi seluruh rakyat. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al A’raf: 96)

Mari bersegera turut serta memperjuangkan tegakknya Khilafah, agar seluruh manusia dalam menjalankan hidup sesuai fithrah. Dan yakinlah dengan penerapan syariah kaffah, keberkahan hidup akan tercurah dari langit dan bumi. [www.visimuslim.org]

Wallahu a’lam bish-showab.

Posting Komentar untuk "Benarkah Diskotek Berjasa Pada Negeri?"

close