Bencana Banjir; Wahai Penguasa, Sadarlah!


Oleh: Rianti Kareem (Aktivis Muslimah Dari Makassar)

Musim hujan telah tiba, namun rasa was-was kembali menghantui warga terkhusus wilayah yang telah menjadi langganan banjir setiap tahun. Hujan yang sejatinya merupakan berkah Allah dari langit, kini berubah menjadi bencana, musim yang seharusnya disambut riang kini menjadi momok yang patut diwaspadai.

Seusai pesta tahun baru 2020, beberapa wilayah di Indonesia Allah hadiahi banjir besar, seperti di Jakarta dan daerah sekitarnya banjir  menyebabkan setidaknya 16 orang meninggal dan lebih dari 31.000 orang mengungsi, sementara puncak hujan diperkirakan oleh BMKG baru akan terjadi pada pertengahan Januari hingga Maret. (Dilansir dari bbcnews.com pada kamis 2 januari 2020)

Posko banjir Jakarta mencatat jumlah pengungsi banjir di seluruh wilayah DKI Jakarta mencapai angka 31.232 orang hingga Rabu, (1/1) malam. "Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah aliran sungai, untuk bersiaga dan berkoordinasi dengan jajaran petugas Pemprov DKI yang sudah siap membantu," harap Anies (dilansir dari cnnindonesia.com pada Kamis 2 Januari 2020)

Bencana alam yang menimpa manusia merupakan qadha’ (takdir) dari Allah SWT. Namun, di balik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada domain yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia. Segala upaya yang dapat meminimalisir bahkan dapat menghindarkan dari bahaya dan risiko bencana alam ialah domain yang berada dalam domain kuasa manusia. Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam.

Ikhtiar yang dapat dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan, dan upaya-upaya tersebut sudah dicontohkan sebelumnya oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya Sehingga potensi bencana alam dapat dihindari dengan kebijakan Negara Islam (Khilafah Islamiyah) yang tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah.

Manajemen penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir.

Sebagai salah satu bukti otentik keunggulan sistem Islam, Khilafah Islamiyah di masa lalu dalam menyiapkan segala-sesuatunya dalam menghadapi bencana. Pada masa kekhilafahan Turki Utsmani, Sultan Ahmed, mempunyai seorang arsitek yang fenomenal (bernama Sinan), yang menerapkan kebijakan untuk menangkal gempa, seluruh warga negara harus membangun gedung-gedung tahan gempa. Termasuk membangun masjid “Sultan Ahmed” dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata. Semua masjid  yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah yang menurut penelitian saat itu cukup stabil. Gempa bumi berkekuatan di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari, terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istambul yang justru roboh.

Juga terdapat ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah misalnya yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah sebagai pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.

Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.

Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.
Pada masa kejayaan Islam, Khilafah mampu menghasilkan insinyur yang mampu menangani masalah banjir: seperti Insinyur Al-Fargani (abad 9 M) telah membangun at yang disebut milimeter untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, Al-Fargani berhasil memprediksi banjir sungai Nil baik jangka waktu pendek atau jangka panjang.
Peradaban Islam memiliki jasa yang tidak ternilai dalam mengendalikan debit air. Abu Raihan al-Biruni ( 973-1048) mengembangkan teknik untuk mengukur beda tinggi antara gunung dan lembah guna merencanakan irigasi. Abu Zaid Abdi Rahman bin Muhammad bin Khaldun Al-Hadrami menuliskan dalam kitab monumental tentang “Muqaddimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi iklim.
Kemampuan peradaban Islam bertahan berabad-abad, bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan dan banjir adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada Syaikh, dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir.

Oleh karena itu umat Islam tak lelah selalu mengingatkan penguasa di negeri ini untuk kembali kepada aturan Allah SWT, untuk menerapkan syariat Islam secara komprehensif dalam segala bidang. Sebagaimana peringatan Allah SWT, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al-A’raf : 96). Wahai Penguasa! Sadarlah dan perhatikanlah peringatan Allah SWT tersebut. Wallahu a’lam. [www.visimuslim.org]

Posting Komentar untuk "Bencana Banjir; Wahai Penguasa, Sadarlah! "