Ilusi Toleransi Dalam Sistem Demokrasi


Oleh: Afiyah Rosyad (Ibu Rumah Tangga)

Menjelang akhir Januari, tepatnya tanggal 29 Januari 2020. Terjadi penyerangan terhadap rumah ibadah kaum Muslim. Videonya viral di dunia maya, di media sosial. Penyerangan rumah ibadah kali ini terjadi di Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut).

Menteri Agama Favhrul Razi menanggapi kasus yang viral ini dengan sangat biasa. Fachrul menyatakan, perusakan tempat ibadah memiliki rasio yang sangat kecil dibanding dengan seluruh jumlah tempat ibadah yang ada di Indonesia. IDTODAY.CO, Jum'at, 31/01/2020.

Pernyataan seorang Menteri Agama ini sungguh sangat menggampangkan. Padahal kasus ini bukan hanya perkara rusaknya tempat ibadah secara fisiknya saja, namun juga berkenaan dengan ummat Islam yang melakukan aktivitas di tempat ibadah tersebut.

Perusakan tempat ibadah ummat Islam bukan kali pertama dianggap hal biasa. Bahkan saat terjadi penyerangan Masjid di Papua, pelakunya diundang ke Istana Negara.

Hal ini jelas menampakkan ketimpangan dalam toleransi yang digaungkan. Yang ada justru intoleransi. Namun, jika ada hal yang berkaitan dengan penyerangan tempat ibadah non-Muslim, maka langsung sorotan utama pelaku adalah ummat Islam, dan akan digoreng tujuh hari tujuh malam bahkan lebih.

Bahkan tuduhan itu akan diikuti dengan tudingan dan label terorisme dan radikalisme. Jika dinilai sama, maka pelaku perusakan tempat ibadah di Minahasa Utara tersebut juga radikal dan aksi teror nyata.

Kasus perusakan tempat ibadah ini akan tumbuh subur dalam sistem demokrasi. Perlakuan sistem demokrasi terhadap Islam penuh tendensi dan kebencian. Maka pembelaan menteri terhadap pelaku minoritas sangat berlebihan.

Demokrasi sebagai pangkal dari sekulerisme, atau memisahkan agama dari kehidupan sudah semakin memperjelas kebusukannya. Bahwa sistem ini tidak mampu menciptakan kerukunan agama atau toleransi.

Toleransi yang dibangun dalam sistem demokrasi penuh ilusi. Yakni mayoritas penduduk negeri ini dipaksa meridloi aqidah dan cara ibadah minoritas, yakni kaum kafir atau non-Muslim.

Masyarakat yang notabene mayoritas Muslim, termakan oleh ilusi toleransi. Sampai rela masuk rumah ibadah kaum kafir sebagai bentuk penghormatan danntoleransi. Bukan hanya menjaga di luar, bahkan masuk ikut larut dalam acara ritual ibadah kaum kafir. Maka ilusi toleransi dalam sistem demokrasi wajar terjadi.

Islam Memandang Toleransi

Sistem pemerintahan Islam sejak zaman Baginda Nabi SAW telah mengajarkan toleransi. Kehidupan masyarakat yang plural, majemuk, tidak hanya Muslim saja, tapi juga ada yang kafir. 

Kedudukan mereka sebagai kafir dzimmi dalam Daulah Islam dilindungi, termasuk agama, harta dan jiwanya juga dilindungi. Mereka dibiarkan beribadah sesuai aqidahnya tanpa ada gangguan dari kaum Muslim. Dan mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam oleh siapapun.

Toleransi dalam Islam yakni menghargai aktivitas ibadah mereka, tidak mengganggu, tidak mencela, tidak melecehkan apalagi merusak simbol dan tempat ibadah agama mereka. Perlindungan yang diberikan oleh kholifah juga bentuk toleransi.

Islam akan tegas memberi sanksi tegas pada siapapun, termasuk penguasa jika mengganggu aktivitas ibadah kafir dzimmi. Begitupun sebaliknya, Islam tak segan memberi sanksi jika kafir dzimmi mengganggu atau melecehkan kaum Muslim.

Kaum Muslim dan kafir dzimmi adalah warga Khilafah yang bisa hidup berdampingan. Mereka bisa melakukan toleransi tanpa tekanan dan kebencian. Karena Islam mampu menjaga dan memelihara urusan setiap warganya termasuk kafir dzimmi. Semua urusan dipelihara Negara bahkan sampai kesejahteraan individu rakyatnya.

Wallahu A'lam bish Showab

Posting Komentar untuk "Ilusi Toleransi Dalam Sistem Demokrasi"