Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Praktek Toleransi Yang Indah Ditengah Pluralisme dan Multikulturalisme Bangsa


Oleh : NELLY, M.Pd (Aktifis Peduli Negeri, Penulis, tinggal di kota Palangka Raya)

Tidak dipungkiri Indonesia adalah negeri yang majemuk, terdiri dari berbagai macam suku, agama, adat dan kebudayaan yang beragam. Ini menuntut adanya pengaturan dari negara agar selalu tercipta kedamaian dan persatuan tidak terjadi perpecahan apalagi konflik antar anak bangsa. Artinya toleransi itu harus betul-betul dipraktekkan dan dijalankan oleh semua pihak baik oleh yang mayoritas maupun yang minoritas. Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia juga mendapat apresiasi luar biasa dari dunia internasional, betapa tidak sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar ini Indonesia telah menjadi ikon toleransi.

Pada acara Seminar “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies" yang telah berlangsung pada tanggal 29 Mei 2019 di Villa Borsig Berlin, bahwa Indonesia jadi inspirasi toleransi beragama dan multikulturalisme bagi jerman. Bahkan untuk memberi brand negara paling toleransi saat ini telah diwacanakan adanya pembuatan terowongan silaturahim. Menurut Wakil Kepala Humas Masjid Istiqlal Abu Hurairah yang mengatakan, ikon toleransi di Indonesia memang diperlukan. Dia menyebut, rencana pembangunan terowongan yang dinamai Terowongan Silaturrahim ini akan masuk dalam tahap kajian detail. “Terowongan itu nanti bisa jadi ikon toleransi di Indonesia,” kata Abu saat dihubungi Republika, Jumat (7/2).

Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah menyepakati proyek renovasi Masjid Istiqlal. Di dalamnya dimasukkan rencana pembangunan Terowongan Silaturrahim yang menghubungkan dua tempat ibadah dari agama yang berbeda. Pelaksanaan renovasi Masjid Istiqlal memang telah dimulai sejak 6 Mei 2019 lalu, namun untuk pembangunan proyek Terowongan Silaturrahim masih dalam tahap kajian. Abu menjelaskan, saat ini pihak Masjid Istiqlal sangat mendukung pernyataan Presiden Jokowi dan bakal menindaklanjutinya dengan menggandeng elemen-elemen berbeda.

Jika toleransi hanya sebatas saling menghormati, menghargai, saling tolong-menolong dan tidak mengganggu ibadah serta perayaan hari besar masing-masing salah satu dari umat beragama yang lain tentu kita sepakat. Akan tetapi jika dilihat bahwa pembangunan terowongan antara Istiqlal dan katedral ini merupakan simbol toleransi beragama yang di prakarsai penguasa dan sebagai wujud keberpihakan pemerintah pada liberalisasi beragama di negeri ini. Maka dari itu menjadi sesuatu yang mesti diwaspadai bahwa kebijakan ini bisa disusul semakin maraknya kebijakan dan kampanye pluralisme agama.
Kalau toleransi yang digalakkan oleh pemerintah itu berbeda dengan Sinkretisme. Sinkretisme adalah pencampuradukan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Hal ini terlarang di dalam Islam. Contohnya perayaan Natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, dll. Semua ini bukan toleransi, ini toleransi yang tidak dibenarkan dalam aqidah dan keyakinan Islam. Maka dari itu kita mesti kritisi segala kebijakan pemerintah yang sedang menggiatkan proyek moderasi agama (liberalisasi beragama) yang bisa menyesatkan umat Islam dengan pencampur adukan antara yang haq dan batil.
Disisi yang lain permasalahan isu intoleransi malah tampak begitu masif arus opini yang disematkan pemerintah untuk umat muslim itu sendiri. Seolah-olah negeri ini telah darurat intoleransi. Bahkan untuk membenarkan itu baru-baru ini Kementerian Agama (Kemenag) RI melakukan survei Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tahun 2019 dengan rata-rata nasional sebesar 73,83 %. Penilaian tersebut diukur dari tiga indikator yaitu: toleransi, kesetaraan, dan kerja sama di antara umat beragama. Dalam survei ini, Papua Barat menempati rangking paling atas (paling toleran). Disusul NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Indeks KUB-nya diatas rata-rata nasional. 

Adapun Aceh menempati ranking paling bawah (paling intoleran). Disusul Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, Riau, dan NTB. Indeks KUB-nya dibawah rata-rata nasional. Melihat hasil survei ini terasa janggal, dan jadi muncul pertanyaan mengapa provinsi dengan kasus pembakaran masjid, pembakaran rumah penduduk dan pertokoan, penganiayaan dan pembunuhan sadis terhadap warga pendatang yang notabene muslim, justru menempati ranking ke-6 teratas?

Sebaliknya, mengapa provinsi dengan penduduk mayoritas Muslim serta memiliki semangat keislaman yang cukup baik, justru menempati rangking di bawah?, artinya ini ingin menunjukkan bahwa umat Islam dinegeri ini masih dianggap belum toleran.
Harusnya jika negeri ini memang ingin menjadi brand dunia dengan mengangkat toleransi yang sebenarnya tidak akan terjadi hal-hal yang masih terjadi ditengah masyarakat apalagi sampai menyematkan pada umat Islam yang menjadi muslim mayoritas di negeri ini tidak toleransi.

Praktek Toleransi Yang Indah Dalam Keberagaman Pada Negara Kanjeng Nabi
Kalau dikatakan umat Islam intoleran, ini sungguh tak beralasan dan salah alamat, mengapa? Karena dalam Islam sendiri mengajarkan yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim. Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka. Allah SWT. berfirman, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai kaum yang berlaku adil.” (TQS al-Mumtahanah [60]: 8).
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLah didalam tafsirnya mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama.

Islam juga mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orang tua walaupun tidak beragama Islam. Sebagaimana dalam firman Allah SWT, “Jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (TQS Luqman [31]: 15).
Islam pun melarang keras membunuh orang-orang non muslim yang hidup dalam naungan sistem Islam yaitu kafir dzimmi, kafir musta’min, dan kafir mu’ahad. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR an-Nasa’i).
Kalau kita membaca lintasan sejarah peradaban Islam dulu sudah pernah di terapkan oleh Rasulullah dalam kepemimpinan negara Madinah kala itu dan diteruskan para khalifah sesudah beliau praktik toleransi demikian nyata adanya. Hal ini berlangsung selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sepanjang masa Kekhalifahan Islam setelahnya.

Tentu sangat lekat dalam ingatan kisah Rasulullah Saw. yang menyuapi pengemis buta di sudut pasar setiap harinya. Padahal pengemis itu adalah seorang Yahudi, pada masa itu Rasulullah Saw. juga pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit padahal dia sering meludahi beliau. Beliau pun melakukan transaksi jual-beli dengan non-Muslim. 

Rasulullah Saw. juga memimpin Negara Islam di Madinah dengan cemerlang walau dalam kemajemukan agama. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain.
Meski hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama dengan kaum Muslim sebagai warga negara. Mereka memperoleh jaminan keamanan. Mereka juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing. Para khalifah pengganti beliau juga menunjukkan sikap toleransi yang sangat jelas. Saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. membebaskan Yerussalem Palestina, beliau menjamin warga Yerussalem tetap memeluk agamanya. Khalifah Umar tidak memaksa mereka memeluk Islam. Beliau pun tidak menghalangi mereka untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka.

Sikap tenggang rasa juga terukir agung pada saat kekhilafahan Turki Ustmani, kala itu Muhammad Al-Fatih sukses menaklukkan Konstantinopel. Saat itu banyak wajah kaum Kristiani pucat-pasi. Tubuh mereka menggigil ketakutan di sudut gereja. Faktanya, Muhammad al-Fatih membebaskan mereka tanpa ada yang terluka. Tak ada satu pun kaum Kristiani Konstantinopel yang dianiaya. Tak ada yang dipaksa untuk memeluk Islam.

Ini semua adalah fakta sejarah yang tidak mungkin terlupakan sampai kapan pun. Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization. Dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Mereka hidup aman, damai, dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.

T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarahwan Kristen, juga memuji toleransi beragama dalam negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (hlm. 134), dia antara lain berkata, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Orientalis Inggris ini juga berkata, “Sejak Konstantinopel dibebaskan pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya pelindung gereja Yunani. Penindasan atas kaum Kristen dilarang keras. Untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada uskup agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya.”

Maka jika menginginkan negara yang mempraktekan toleransi yang indah, tidak ada jalan lain selain kita kembali mencontoh sistem negara kanjeng nabi denan menerapkan sistem Islam secara kaaffah dalam bernegara.

Posting Komentar untuk "Praktek Toleransi Yang Indah Ditengah Pluralisme dan Multikulturalisme Bangsa"

close