Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perceraian Fantastis di Era Kapitalistis


Oleh : Sinta Nesti Pratiwi

Dilansir dari detikcom, Jakarta Jumat (28/2/2020) perceraian tersebar di dua pengadilan yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama untuk menceraikan pasangan muslim, sedangkan Pengadilan Negeri menceraikan pasangan nonmuslim.

Berdasarkan data tahunan dari Mahkamah agung (MA). Dari data Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, hakim telah memutus perceraian sebanyak 16.947 pasangan. Adapun di Pengadilan Agama sebanyak 347.234 perceraian berawal dari gugatan istri. Sedangkan 121.042 perceraian di Pengadilan Agama dilakukan atas permohonan talak suami. Sehingga total di seluruh Indonesia sebanyak 485.223 pasangan.

Kasus perceraian tersebut tentu cukup fantastis jumlahnya dengan berbagai latar belakang penyebabnya. Faktor tersebut di antaranya yaitu ekonomi. Sebagai contoh harga-harga kebutuhan pokok kian melangit dan persaingan dunia kerja tambah sulit, mengingat banyaknya tenaga kerja lokal yang mesti bersaing dalam mendapatkan perkerjaan dengan tenaga kerja asing (TKA).

Sebagaimana menurut sumber Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 faktor perceraian karena masalah ekonomi bernilai 110.909 persen diseluruh wilayah Indonesia (Katadata.co.id, 20/02/2020).

Selain itu, faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pun menjadi pemicu banyaknya kasus perceraian di negeri ini. Mirinya lagi tak sedikit kasus perceraian dialami oleh pasangan suami istri yang berusia muda.

Lalu mengapa di usia muda sangat rentan terjadi perceraian?  Tentu bukan karena faktor usia yang menjadi persoalan pokok dari perceraia tersebut. Faktor tersebut tak bisa dipungkiri karena pernikahan yang dijalani bukan karena kesiapan fisik dan mental, melainkan tidak sedikit karena keadaan yang memaksa. Seperti adanya kasus hamil di luar nikah, sebab banyaknya budaya pergaulan yang tanpa batas antara pria dan wanita.

Di samping itu, minimnya dukungan pihak keluarga dan lingkungan untuk memberikan solusi serta pengetahuan dalam menjalani suatu hubungan yang harmonis dalam berumah tangga. Misal kurangnya pengetahuan berkaitan hak dan kewajiban setiap pasangan, baik suami maupun istri.

Karena itu, tanpa adanya solusi yang konkret bagi pasangan suami istri dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga, maka kasus perceraain sulit dihindari, baik bagi pasangan muda maupun bukan pasangan muda. 

Padahal kasus perceraian bisa diminimalisir. Di antaranya, memberikan pemahaman berkaitan bagaimana hak dan kewajiban suami istri yang sesunguhnya, sehingga dengan begitu dapat mengurangi kasus kekerasan dalam berumah tangga. Tak kalah penting lapangan kerja yang memadai. Hal ini tentu tak lepas dari peran pemerintah. Karena dengan adanya pekerjaan yang layak diharapkan seorang suami dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga dengan baik. 

Maka cukup menggelikan ada usulan dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Efendy yang menyarankan kepada Menteri Agama untuk mengeluarkan fatwa orang kaya menikah dengan orang miskin agar tidak terlahir keluarga miskin baru. 

Solusi itu tentu masih dipertanyakan, mengingat masalah jodoh bukan perkara yang bisa diintervensi dari pihak pemerintah, walau mungkin maksudnya baik dalam rangka mengurangi angka peceraian yang disebabkan masalah ekonomi yang tak sedikit mendera pasangan suami istri. 

Adapun  dalam kacamata Islam, penting pula dipahamkan bagi seorang suami berkaitan kewajiban mereka dalam mencari nafkah. Namun, jika kepala rumah tangga tak mampu melakukan hal itu, misal karena sakit atau telah meningal dunia, maka kewajiban nafkah diserahkan pada wali sang wanita. Kalau pun wali si wanita tersebut tidak mampu pula, maka barulah terakhir diserahkan kepada negara.

Oleh karena itu, upaya meminimalisir angka perceraian membutuhkan usaha yang efektif. Sebab, tanpa adanya solusi yang mendasar, maka sulit mengurangi angka perceraian yang jumlahnya terus meningkat. Karena itu, penting adanya peran keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk melakukan hal itu. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Posting Komentar untuk "Perceraian Fantastis di Era Kapitalistis"

close