Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pelonggaran Sosial Berujung Bisnis



Oleh: Ragil Rahayu, SE

Kau yang mulai, kau yang mengakhiri. Penggalan lirik lagu ini mungkin sesuai dengan kondisi saat ini. Baru saja Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, kini hendak dilonggarkan. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan bahwa saat ini pemerintah bersiap melakukan relaksasi PSBB. Sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia (4/5/2020), Mahfudz MD menyampaikan bahwa saat ini sedang dipikirkan pelonggaran-pelonggaran. Misalnya rumah makan boleh buka dengan protokol begini, kemudian orang boleh berbelanja dengan protokol begini dan seterusnya. 

Rencana pelonggaran PSBB ini dikritik oleh beberapa pihak. Diantaranya Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim. Menurut Dedie, sudah banyak kelonggaran yang diberikan selama penerapan PSBB. Dedie pun mengatakan ada delapan sektor yang dikecualikan selama penerapan PSBB. Delapan sektor ini, lanjut dia, merepresentasikan 70 persen kehidupan masyarakat. Dedie pun mengatakan pemberlakuan PSBB saat ini sudah memadai.

Korbankan Nyawa Demi Ekonomi

Sejumlah pihak khawatir, alasan utama pemerintah dalam pelonggaran PSBB adalah kepentingan ekonomi kaum elit. Anggota DPR, Syahrul Aidi Maazat, mencurigai rencana pemerintah melonggarkan PSBB hanya demi kepentingan segelintir pebisnis. Pebisnis itu, kata dia, hampir bangkrut sehingga mendesak pemerintah untuk melonggarkan PSBB.  Menurut Syahrul, bila alasan di balik rencana itu benar hanya untuk kepentingan bisnis, maka pemerintah sudah melanggar asas keadilan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU Karantina Kesehatan, menurut dia, keselamatan masyarakat adalah hal yang paling utama (tempo.co, 3 Mei 2020).

Plin-plan kebijakan PSBB ini menunjukkan watak dasar kapitalisme yang dipertontonkan oleh rezim. Dalam kapitalisme, semua serba duit. Tolok ukur pengambilan kebijakan adalah keuntungan materi (duit). Nyawa manusia rela dikorbankan, asal keuntungan bisnis tidak terganggu. Sebelumnya, permintaan lockdown oleh banyak pihak (termasuk tenaga kesehatan) tidak digubris oleh rezim. Lalu muncullah aneka kebijakan mulai dari darurat sipil, darurat kesehatan hingga PSBB. Belum juga tampak hasil signifikan dari PSBB, kini hendak dilonggarkan. Padahal PSBB sendiri sudah longgar. Jalan masih ramai, pasar masih berjubel, penjual takjil juga masih berderet di pinggir jalan. Jika dilonggarkan lagi, artinya rezim benar-benar tak serius menangani wabah corona. 

Banyak negara kehilangan ribuan nyawa rakyatnya karena kelalaian penguasa. Salah satunya adalah Amerika Serikat (AS), negara kapitalis yang terkemuka. Setiap harinya terdapat 20 ribu kasus baru corona di negara paman Sam ini. Jumlah kasus virus corona di AS saat ini menembus satu juta, hampir sepertiga dari total kasus di dunia. Adapun angka kematian akibat virus corona di AS telah mencapai 58.000 jiwa. Presiden Donald Trump memprediksi sebanyak 100 ribu pasien di Amerika Serikat mungkin meninggal dunia akibat virus corona. Sungguh mengerikan. 

Jumlah kasus corona di Indonesia memang belum sebanyak Amerika. Namun jika penguasa terus abai, tak menutup kemungkinan jumlah korban bisa mengalami "ledakan". Apalagi banyak versi tentang masa puncak pandemi di Indonesia. Ada yang menduga Mei wabah berakhir, ada yang bilang Juni, September dan bahkan tahun depan. Selama itu, korban jiwa akan terus berguguran. Jumlah orang yang meninggal mungkin akan dianggap angka saja tanpa makna. Sebaliknya, triliunan Rupiah dikucurkan demi menggeliatkan ekonomi. Yang dimaksud bukanlah ekonomi wong cilik, melainkan ekonomi para pemodal raksasa. Yang terbaru, muncul seruan untuk berdamai dengan corona. Tanpa sadar, rezim mengakui bahwa sudah mengaku kalah dalam perang melawan pandemi. Rakyat dibiarkan kehilangan nyawa hanya karena ketidakmampuan rezim menyelesaikan masalah pandemi. 

Khilafah Sang Pelindung Rakyat 
Islam sangat memuliakan nyawa manusia. Ini karena pemimpin dalam sistem Islam (khalifah) sangat takut pada Allah SWT. Khalifah meyakini bahwa kelak di hari akhir dia akan ditanya perihal pengurusannya terhadap rakyatnya, satu demi satu. Tiap jiwa yang dizalimi kelak akan menuntutnya di akhirat. Itulah sebabnya seorang khalifah tidak akan main-main dengan nyawa rakyatnya. Termasuk ketika menghadapi wabah, keselamatan nyawa rakyat menjadi prioritas. Perkara ekonomi bisa dikondisikan untuk mendukung penyelamatan nyawa manusia. 

Sikap khalifah ini merupakan wujud ketaatan terhadap syariat Allah SWT, salah satunya adalah sabda Rasulullah SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Khilafah akan mengalokasikan dana berapapun yang dibutuhkan untuk mengatasi wabah. Dikisahkan pada masa Khilafah Ustmaniyah mengalami wabah yang berbarengan dengan paceklik, maka khalifah membuka gudang-gudang makanan untuk dibagi pada rakyat yang membutuhkan. 

Salah satu fragmen tentang tanggungjawab khalifah pada rakyatnya tampak pada kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tertulis dalam buku The Great of Two Umars. Suatu hari Khalifah Umar sedang duduk menghadapi urusan rakyatnya. Ketika tengah hari ia merasa letih dan jemu. Lalu ia berkata kepada orang-orang, "Menetaplah kalian di tempat masing-masing sehingga aku datang lagi untuk menghadapi kalian." Ia pun masuk ke dalam rumahnya untuk beristirahat sebentar. 

Setelah itu anaknya, Abdul Malik, datang. Dia bertanya kepada orang-orang, "Dimanakah Khalifah sekarang?" 

Mereka menjawab, "Dia masuk ke dalam rumahnya."

Kemudian Abdul Malik menghadap pada ayahnya dan bertanya, "Wahai Amirul Mukminin apa yang menyebabkan engkau masuk ke dalam rumahmu? "

"Aku ingin istirahat sebentar, " ujar sang ayah. 

Abdul Malik melanjutkan, "Apakah Ayah merasa aman bahwa maut tidak akan datang kepadamu saat rakyatmu menunggu di pintu pusat kekuasaanmu, tetapi engkau menutup diri dari mereka? "

Mendengar ucapan anaknya, Umar pun berdiri dan segera menghadapi semua permasalahan rakyatnya. 

Jika saja saat ini kita hidup dalam khilafah, sang khalifah akan mengurusi satu persatu rakyatnya dan memastikan semua dalam kondisi terurusi oleh negara. Sungguh bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, rakyat dikorbankan karena kelalaian penguasa. Semoga Allah SWT menganugerahi kita kepemimpinan yang bertanggungjawab pada rakyatnya. Aamiin... 

Posting Komentar untuk "Pelonggaran Sosial Berujung Bisnis"

close