Pengesahan Perppu Covid-19 dan RUU Minerba
Jakarta, Visi Muslim- Tanpa banyak diketahui khalayak yang tengah fokus perhatiannya dalam menghadapi pandemi covid-19, pada 12 Mei 2020, DPR telah mensahkan dua RUU sangat kontroversial. Yakni Perppu Covid-19 dan RUU Minerba. Sementara sebelum itu, Presiden melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang diteken pada 5 Mei 2020, telah menaikkan besaran iuran BPJS.
Berkenaan dengan hal diatas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Mengecam keras pengesahan dua RUU tersebut sebagai tindakan yang tidak rasional, dzalim, dan jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Bila selama ini DPR dikatakan sebagai wakil rakyat yang akan melaksanakan kedaulatan rakyat, maka pengesahan itu telah membuktikan sebaliknya. Bahwa DPR telah mengkhianati prinsip yang diyakininya itu sendiri. Dalam pengesahan RUU Minerba, DPR telah jelas-jelas lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, khususnya pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), dengan memberikan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula, berdasar pasal 169 a, b dan c UU Minerba yang baru. Bila mengacu pada ketentuan sebelumnya, yakni pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Tapi ketentuan yang jelas lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan yang mengutamakan pemilik PKP2B. Ini sangat aneh, bagaimana bisa DPR yang hakekatnya adalah wakil rakyat, jutru bertindak merugikan rakyat yang diwakilinya itu. Padahal potensi tambang yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangat besar, dengan rincian PT Tanito Harum 1.869 hektar, PT Arutmin Indonesia 57.107 hektar, PT Kaltim Prima Coal 84.938 hektar, PT Multi Harapan Utama 39.972 hektar, PT Adaro Indonesia 31.380 hektar, PT Kideco Jaya Agung 47.500 hektar, dan PT Berau Coal 108.009 hektar. Sumber daya dan cadangan batubara diwilayah itu adalah 20,7 miliarton dan 3,17 miliarton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp= Rp 14.000 maka nilai aset itu adalah Rp 13.730 triliun. Sedangkan nilai aset cadangan batu bara adalah Rp 2.102 triliun. Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta? Ada apa dibalik ini semua?
2. Pengesahan Perppu Covid-19 lebih tragis lagi. DPR telah jelas-jelas mengebiri sendiri kewenangan yang dimiliknya, dalam hal ini hak budgeting, dan malah memberikannya kepada eksekutif. MelaluiPerppu Covid-19, APBN cukup disusun berdasar Perpres. Bila melalui hak budgeting tersebut DPR bisa secara langsung mengontrol alokasi dan penggunaan anggaran negara yang hakekatnya adalah uang rakyat, mengapa hak itu justru dilepas? Bila demikian lantas apa fungsiDPR? Tam bahan lagi, melalui pengesahan Perppu Covid-19,DPR juga telah jelas-jelas mengebiri kewenangan yudikatif, dimana berdasar Pasal 27 memberikan imunitas bagi pejabat lembaga pemerintah dibidang keuangan. Pasal itu juga menyebutkan setiap pengeluaran negara dengan tujuan penyelamatan ekonomi saat pandemi Covid-19 tak dihitung sebagai kerugian negara, dan keputusan yang diambil berdasarkan perpu, bukan obyek gugatan di PTUN. Pasal ini dibuat untuk mem buat pemerintah kebal hukum, dan jelas merupakan bentuk pengistimewaan hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kesamaan semua orang dimuka hukum (equality before the law )
3. Pembatalan Perpres 75 Tahun 2019 tentang kenaikan iuran BPJS oleh Mahkamah Agung pada 27 Februari 2020 lalu melalui putusan MA No 7 P/HUM /2020, menyebut 3 pertimbangan utama, yakninbahwa Perpres tersebut bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, yakni UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dinilai tidak tepat ditengah situasi kemampuan masyarakat yang belum meningkat, serta layanan BPJS yang belum optimal. Kini Presiden melalui Perpres 64 Tahun 2020 kembali menaikkan iuran BPJS, padahal semua pertimbangan yang disebut MA untuk membatalkan perpres sebelumnya hingga kini masih ada. Tata kelola BPJS belum berubah, sementara kondisi ekonomi masyarakat akibat covid-19 justru sedang terpukul berat mengapa presiden mengabaikan semua pertimbangan putusan MA itu dengan tetap menaikkan BPJS. Di tengah wabah seperti ini, pemerintah bukan memberikan keringanan jutru menambah beban hidup rakyat. Bukankah pemerintah bekerja semestinya untuk rakyat, bukan untuk dirinya, apalagi pihak lain?
4. Semua fakta diatas menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat hanyalah mitos. Yang berjalan adalah kedaulatan ditangan pemilik modal, dimana dengan kekuatan modalnya, mereka dengan cara yang tampak prosedural, bisa merubah undang-undang yang ada sesuai keinginan mereka. Inilah kesalahan mendasar dari sistem demokrasi, yang sangat berbeda dengan sistem Islam, dimana kedaulatan di tangan syariah, yang siapapun tidak bisa merubah ketentuan syariah, termasuk tentang kepemilikan SDA dan kewajiban pemerintah dalam pelayanan kesehatan. Disinilah pentingnya penegakan syariah secara kaffah dilakukan, karena melalui cara itu penataan segala aspek kehidupan masyarakat bisa dilakukan dengan sebagaik-baiknya sehingga rahmatan lil alamin bisa diwujudkan. []
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Posting Komentar untuk "Pengesahan Perppu Covid-19 dan RUU Minerba"