Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Polemik Biaya SPP Saat Belajar Daring, Tanggung Jawab Siapa?


Oleh: Anggun Permatasari

Setelah pemerintah memberlakukan masa karantina wilayah, seluruh kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah praktis dihentikan. KBM dilakukan secara daring menggunakan whatsapp atau video call. 

Belum sampai sebulan, keluhan mulai muncul. Sebagian orang tua menganggap sistem belajar daring memberatkan. Salah satunya adalah masalah finansial. Untuk bisa belajar dengan sistem daring, orang tua harus menyiapkan instrumen berupa gawai yang memadai, kuota dan pulsa. Bagi wali murid yang anaknya belajar di sekolah swasta sangat terbebani dengan biaya SPP yang masih harus dibayarkan setiap bulannya.

Sejumlah wali murid di wilayah Jakarta dan sekitarnya meminta sekolah swasta memberikan keringanan pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama pandemi covid-19. Dampak corona tidak hanya bersifat ekonomi melainkan juga mempengaruhi kegiatan belajar mengajar yang kebanyakan dilakukan di rumah. Tidak sedikit para bunda yang mengungkapkan unek-uneknya di media sosial perihal kewajiban SPP. Ada juga yang sampai mengirimkan surat pembaca ke media cetak atau menuliskan surat terbuka yang ditujukan kepada pemerintah terkait. 

Adalah Evin salah satu orang tua murid di Jakarta mengatakan bahwa seharusnya sekolah memberikan keringanan SPP selama pandemi covid-19, baik berupa potongan ataupun penundaan pembayaran SPP, (15/4). Evin merasa keberatan kalau setiap bulan harus mengeluarkan biaya SPP sebesar Rp.500.000,. Dia yang merupakan orang tua tunggal sangat kesulitan membayar SPP karena tidak bisa keluar rumah untuk mencari nafkah. Menurutnya, pembayaran penuh SPP terasa tidak adil bagi wali murid. Hal ini disebabkan selama pandemi pembelajaran lebih banyak dilakukan di rumah. Otomatis orang tua yang menjadi guru bagi ananda di rumah. Sementara guru di sekolah hanya memberikan tugas. (Inews.id)

Hal senada diungkapkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Komisioner KPAI bidang pendidikan Retno Listyarti. Melalui keterangan tertulis yang dikirim ke kompas.com., dia mengusulkan supaya pembayaran SPP dapat dikurangi selama pandemi Covid-19. Hal tersebut mengingat sudah hampir dua bulan seluruh sekolah menerapkan sistem pendidikan jarak jauh akibat wabah.

Sebaliknya, pihak sekolah dan guru sangat khawatir dengan pembayaran SPP yang mandek. Mereka memohon kepada wali murid memahami urgensi pembayaran SPP selama masa karantina. Hal tersebut disebabkan para guru tetap harus bekerja menyiapkan materi, mengoreksi dan menyusun nilai walau hanya dilakukan di rumah. Para pengajar juga masih melakukan rapat dan evaluasi efek sistem belajar daring terhadap semangat para siswanya. Gaji yang dibayarkan setiap bulan murni bersumber dari swadaya SPP para siswa. Sehingga apabila terhambat, akan sangat berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup para guru. 

Tentunya masalah tersebut merupakan salah satu imbas pandemi yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Pro-kontra terkait SPP harus segera diselesaikan. Hal ini dirasa urgent agar polemik tidak membuat relasi antara orang tua murid dan guru menjadi renggang.

Efek pandemi memang sangat dahsyat, oleh sebab itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi semua permasalahan ini. Kondisi ekonomi orang tua siswa dan guru sama-sama terdampak akibat wabah yang belum kunjung pergi. Masa karantina yang rentang waktunya terus diperpanjang membuat semua masyarakat sulit mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Faktanya, pemerintah seperti tutup mata terhadap keluhan masyarakat mengenai masalah ini. Polemik yang kian bergulir diperburuk seiring dengan kebijakan yang tidak bersinergi dan tepat sasaran dalam penanganan pandemi.

Sejatinya hal ini lumrah terjadi di negeri yang dipimpin oleh sistem sekuler kapitalis liberal. Penguasa setengah hati mengurusi rakyatnya, salah satunya dalam masalah pendidikan. Apalagi untuk sekolah swasta yang memang pemerintah merasa tidak memiliki porsi penuh untuk menyelesaikan berbagai kendalanya. Pemerintah hanya mengeluarkan retorika semu seperti menghimbau tanpa memberi solusi praktis.

Pastinya, kenyataan di atas adalah mimpi buruk yang tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem Islam menetapkan, negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah dan kampus, buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta tunjangan penghidupan yang layak, baik bagi pengajar maupun kepada para pelajar disediakan oleh negara.

Daulah Islam sangat memperhatikan kesejahteraan guru. Sejarah mencatat, saat itu di kota Madinah terdapat tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khaththab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas atau sekitar 31 juta rupiah dengan kurs sekarang).

Pada masa Kekhilafahan Abbasiyah, tunjangan guru begitu tinggi seperti yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Al-Muqtadir menggaji Ibnu Duraid sebesar 50 dinar perbulan. 

Dengan suasana kehidupan yang telah terjamin tentunya guru lebih fokus melakukan tugasnya tanpa harus membagi waktunya dengan pekerjaan sampingan untuk memenuhi pundi-pundi keluarga. Para guru amat menyadari tugasnya sebagai pendidik, bahwa mengajar adalah amanah Allah Swt. Sistem Islam menjaga atmosfer keimanan di tengah masyarakat. Sehingga, marwah guru tetap terjaga dan siapa pun akan menghargai profesi guru. 

Oleh sebab itu, selama negeri ini masih menganut kapitalisme sebagai asas untuk mengelola negara dan pendidikan, maka guru akan terus menderita. Agar kesejahteraan guru, siswa dan orang tua bisa terwujud, umat Islam harus sadar akan kebutuhan terhadap penerapan Islam secara kaffah. Semoga dengan selesainya pandemi, berakhir pula keberadaan sistem rusak sekuler kapitalis di muka bumi ini. Wallahualam

Posting Komentar untuk "Polemik Biaya SPP Saat Belajar Daring, Tanggung Jawab Siapa? "

close