Undang-Undang Corona: Imunitas Absolut Penguasa



Oleh: Anggun Permatasari


Skandal konflik kepentingan yang menyeret nama staf khusus presiden beberapa waktu lalu, membuka tabir betapa kuatnya belenggu oligarki di negeri ini. 

Pikiran Rakyat.com., melansir bahwa pada selasa, 12/5/2020 telah dilakukan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pertemuan tersebut diselenggarakan untuk mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020. Perppu Nomor 1 tahun 2020 ini tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19.

Isi Perppu tersebut mengatur penggunaan uang negara untuk penanganan pandemi. Dalam aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun.

Sejak awal diterbitkan, publik mencium keganjilan dan aroma abuse of power pada butir-butir pasal yang terkandung. Hal itu disebabkan pasal-pasalnya membuat pemerintah kebal dari tuntutan hukum dan tidak boleh digugat baik secara perdata, secara pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya partai yang menolak Perppu tersebut disahkan. Meski begitu, Perppu nomor 1 tahun 2020 ini akhirnya tetap disahkan karena ada 8 fraksi lain yang menyetujuinya.

Keberatan datang dari beberapa elit politik, salah satunya Fadli Zon. Dalam pandangannya, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terdapat cacat bawaan yang berpotensi memunculkan krisis hukum dan kenegaraan. Secara politis, Perppu ini telah meletakkan parlemen hanya sekadar embel-embel eksekutif, dan secara praksis Perppu ini rentan ditunggangi oleh kepentingan tertentu dengan dalih krisis. Itu sebabnya, dia mengajak anggota parlemen yang lain untuk meninjau kembali Perppu ini secara kritis dan hati-hati. (Sindonews.com., 12/5/2020) 

Mirisnya, di saat yang sama para pejabat negara di sektor keuangan dan Investasi justru mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada pemanfaatan momentum wabah untuk melakukan reformasi besar-besaran di pemerintahan. Dilansir dari Tempo.co., 12/5/2020 diberitakan bahwa Sri Mulyani meminta semua pihak memanfaatkan pandemi untuk melakukan reformasi di berbagai bidang. 

Menurut Menkeu, upaya pemulihan dan reformasi bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi harus dimulai bersama dengan penanganan pandemi dan diperkirakan berlangsung hingga 2021. Karenanya, kebijakan ekonomi makro dan arah kebijakan fiskal di tahun 2021 akan berfokus pada upaya-upaya pemulihan ekonomi sekaligus upaya reformasi untuk mengatasi masalah fundamental ekonomi jangka menengah hingga jangka panjang.

Maksud hati melakukan pemulihan ekonomi, yang terjadi justru keberadaan Perppu ini sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Pasal-pasalnya kian memuluskan nafsu korporasi dan elit pemilik kursi. Karena faktanya, proyek kartu pra kerja dan pengadaan alat bantu program penanggulangan virus corona yang dilakukan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dikuasai dayang-dayang istana. 

Pernyataan bahwa pandemi bisa dijadikan momen reformasi hanyalah khayalan.  Sebab, sebelum terjadinya wabah, Indonesia sudah dihantam krisis ekonomi yang membuat masyarakat sengsara sebagai dampak terjadinya resesi global sejak 2019 lalu. Sebaliknya, pandemi ini membuat kebobrokan sistem demokrasi dan kondisi sesungguhnya negara yang karut-marut terkuak. Pandemi ini juga membuat pemimpin negeri ini semakin kewalahan dalam menjaga kestabilan dan ketahanan negara terutama di bidang ekonomi.

Alih-alih meringankan beban rakyat di masa pandemi, penguasa justru semakin mengokohkan identitasnya yang mengekor pada korporat dan para kapital. Rakyat seolah dibiarkan berjuang sendiri mempertahankan hidup atau harus rela mati begitu saja karena ketidakpedulian rezim kapitalis yang neolib.

Berbagai kebijakan pencitraan yang dilahirkan terbukti tidak efektif menyelesaikan problematika negeri. Penetapan prioritas alokasi anggaran yang karut-marut menjadi bukti bahwa penguasa gagap dan tidak peduli pada pemenuhan kebutuhan rakyat terutama dalam masa pandemi seperti saat ini. Idealnya, semakin terbukanya borok rezim kapitalis yang zalim pada rakyat, harusnya membuat publik membuka mata dan sadar akan kecurangan-kecurangannya. Sesungguhnya reformasi di era wabah bisa membawa negara pada semakin kuatnya cengkeraman kapitalis.

Memang, menjabarkan tingkah polah pemimpin yang lahir dari sistem rusak demokrasi pasti membuat geleng-geleng kepala. Karena sejatinya, pemimpin yang memiliki integritas, amanah dan peduli pada rakyat hanya ada di dalam sistem shahih yang berasal dari Sang Pemilik Hidup. Sistem Islam yang sempurna dan memiliki solusi paripurna.

Pemimpin negara yang berkuasa di bawah naungan sistem Islam memiliki ketakwaan kepada Allah Swt. Sehingga undang-undang dan kebijakan yang dibuat tidak akan melenceng dari aturan Al Quran dan assunnah. Tentunya standar hukum Islam mengatur bahwa manusia tidak punya hak mengubah hukum Allah yang ada dalam Al Quran dan sunnah serta Ijma sahabat.

Sistem Islam menjadikan negara dan pemimpinnya memiliki kedaulatan penuh dan integritas. Sehingga tidak akan bergantung pada makhluk (negara-negara adikuasa). Kebijakan dan Undang-Undang yang lahir pastinya tidak akan berat sebelah membela kepentingan pihak tertentu. Ketaatan pada hukum Allah Swt. secara otomatis akan membawa umat pada kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus”. (HR. Bukhari dan Ahmad).
Wallahualam

Posting Komentar untuk "Undang-Undang Corona: Imunitas Absolut Penguasa"