Balada Perceraian Saat Wabah Melanda
Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Generasi)
Sudah jatuh tertimpa tangga
Begitulah kiranya pribahasa yang mewakili kondisi keluarga Indonesia saat ini. Saat wabah melanda, banyak kepala rumah tangga yang kehilangan pekerjaan, baik karena PHK atau pun karena kelesuan perekonomian. Sudahlah duka itu menyelimuti hati, ditambah lagi percekcokan di tengah keluarga yang berujung perceraian.
Seperti yang dilansir Jawapos Group, Radar Bromo (10/06/2020) sejak Maret hingga 9 Mei 2020, ada 295 kasus perceraian yang ditangani PA Kota Probolinggo. Dari 295 kasus tersebut, yang dikabulkan sebanyak 110 kasus. Maka, selama tiga bulan di Kota Probolinggo ada tambahan 110 janda dan duda baru.
Selama tiga bulan lebih, rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan pokoknya, belum lagi harus ekstra mawas diri dari intaian corona. Ditambah keuangan yang tak menentu, bahkan tak ada penghasilan yang cukup bisa menyulut pertikaian pasangan suami istri yang banyak beraktivitas di rumah saja.
Maka jika sudah perselisihan sering terjadi, balada perceraian otomatis sudah dimulai. Sementara negara tutup mata dengan kondisi individu rakyatnya. Jangankan menyelamatkan keutuhan keluarga, negara justru menafikkan untuk mensejahterakan individu rakyat.
Balada perceraian tak dapat dihindari karena alasan klise, terpuruknya ekonomi keluarga. Keterpurukan ekonomi keluarga tak lepas dari pandangan hidup negara yang menganut sistem kapitalisme. Di mana asas manfaat menjadi landasannya, sehingga segala sesuatu diukur dengan materi.
Belum lagi suasana keimanan yang hampir lenyap di tengah kehidupan keluarga. Apalagi negara tak ikut serta dalam merawat suasana keimanan. Maka semakin berat bagi rakyat untuk menjaga keutuhan keluarga, karena turut berpandangan yang berasaskan manfaat.
Sistem kapitalisme yang diusung justru menjerumuskan keluarga pada jurang perceraian yang menganga lebar. Jika pasangan sudah dianggap tidak produktif dan menghasilkan materi, tak perlu lagi dipertahankan ikatan suci pernikahan. Sistem kapitalisme membiatkan rakyat kelimpungan dalam menyelamatkan keutuhan rumah tangganya.
Berbeda sekali dengan sistem Islam, perceraian jelas perkara yang boleh namun dibenci Allah SWT. Islam menjaga suasana keimanan. Islam mendorong individu untuk mentaati semua aturan Islam dengan ringan. Kewajiban nafkah atas suami tetap berlaki meski terjadi pandemi. Islam mewajibkan istri menerima rezqi dengan perantara nafkah suami dengan rasa syukur dan harus dijaga.
Islam akan mewajibkan kholifah sebagai peminpin negara untuk tetap memberikan lapangan kerja kepada para laki-laki di saat wabah melanda. Belum lagi Islam akan mendorong kholifah melayani individu rakyat, terlebih saat wabah, agar tak seorang pun terancam nyawanya karena kelaparan dan wabah itu sendiri. Sehingga tak ada lagi cerita balada perceraian.
Kholifah wajib memelihara urusan rakyat sampai terpenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagaimana kisah masyhur Kholifah Umar bin Khoththob yang rela menahan lapar sampai melihat seluruh rakyatnya kenyang.
Begitulah Islam menjaga nyawa, jiwa dan keutuhan keluarga individu rakyat. Saatnya negara kembali pada aturan yang lebih baik yang berasal dari Dzat Yang Mahabaik, yakni aturan Islam di seluruh aspek kehidupan. []
Posting Komentar untuk "Balada Perceraian Saat Wabah Melanda"