F-PAN kritik penerapan "presidential threshold" dalam RUU Pemilu


Jakarta, Visi Muslim- Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus mengkritik penerapan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu, karena terkesan sebagai upaya membatasi pertarungan dalam Pemilu Presiden (Pilpres).

"Sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi agar pertarungan di Pilpres yang menyebabkan semakin kecil peluang mengusung calon yang mengarah kepada terciptanya polarisasi yang hanya menghadirkan dua paslon," kata Guspardi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Dia menilai penerapan presidential threshold tersebut juga tidak logis karena acuannya menggunakan patokan ambang batas hasil pemilu sebelumnya.

Menurut dia, Undang-Undang Pemilu no 7 tahun 2017 yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan presiden pada Pasal 222 yang berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."

"Jika aturan mengenai presidential threshold tidak berubah, maka pada Pilpres 2024 dimungkinkan jumlah pasangan calon yang akan diusung juga hanya dua pasang," ujarnya.

Hal tersebut menurut dia didasari hasil rekapitulasi Pemilu Legislatif 2019, yaitu dari sembilan partai yang berhasil melampaui ambang batas parlemen atau parliamentary threshold tidak ada satu pun yang mencapai perolehan 20 persen.

Karena itu menurut dia sangat dimungkinkan setiap partai politik membentuk sebuah koalisi untuk mencapai presidential threshold 20 persen dan koalisi tersebut dimungkinkan hanya melahirkan dua pasang calon.

"Penetapan presidential threshold ini tidak sesuai dengan semangat reformasi dan mencerminkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Sebaiknya dihapuskan saja dan paling tidak partai yang lolos ke Senayan seharusnya diberikan hak mengajukan calon presiden dan wakil presiden," katanya.

Politisi PAN itu menilai semakin banyak calon di Pilpres akan semakin memperbanyak pilihan bagi rakyat yang akan menentukan siapa Kepala Negara pilihannya ke depan.

Menurut dia, rakyat punya hak untuk memilih mana calon terbaik, tidak perlu direkayasa dan kalau parpol yang baru pertama kali itu tidak punya hak untuk mengusung calon Presiden, itu cara pandang dalam demokrasi yang tidak pas.

"Kontestasi Pilpres 2019 seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat kita terkotak menjadi dua kubu yang saling berhadapan. Pada masa kampanye Pilpres 2019 masih terngiang dalam ingatan kita panas dinginnya suasana politik saat itu," katanya.

Guspardi menjelaskan, setiap kelompok masyarakat yang memiliki preferensi maupun berafiliasi dengan paslon menganggap bahwa paslon yang mereka dukung adalah paslon yang paling baik dan seharusnya dijadikan acuan publik.

Menurut dia, kedua kubu paslon saling berhadapan membela paslon masing-masing, akibatnya terjadi berbagai persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan.

"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," katanya.

Dia menilai Pilpres seharusnya menjadi arena kontestasi politik yang fungsinya bukan hanya untuk mencari siapa menang siapa kalah, lebih dari itu, pemilu adalah sarana untuk melihat potensi dan kemungkinan munculnya calon-calon pemimpin bangsa alternatif.

Karena itu menurut dia, semakin banyak calon, maka makin baik sehingga dihapuskannya aturan mengenai presidential threshold dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi masyarakat.

"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Partai NasDem Saan Mustopa mengatakan beberapa isu krusial yang ada dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu
yang akan dibahas secara mendalam, salah satunya terkait ambang batas pencalonan presiden.

Saan mengatakan untuk ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, ada usulan 20 persen kursi parlemen dan 25 persen dari suara sah nasional.

Namun menurut dia ada yang menginginkan agar presidential threshold tersebut berubah yaitu minimal 10 persen suara nasional dan sekitar 15 persen suara sah nasional. [] Sumber: AntaraNews

Posting Komentar untuk "F-PAN kritik penerapan "presidential threshold" dalam RUU Pemilu"