Gonjang-Ganjing Haluan Negara: Mau Dibawa Kemana Negara Kita?



Oleh: Tia Damayanti, M. Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik)

Konon, negara kita Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Ideologi negara pun sudah ditetapkan yaitu Pancasila. Namun hari ini, setelah 74 tahun merdeka, muncul gonjang ganjing tentang haluan negara. Belum jelas siapa yang mengusulkan, namun ini cukup membuat rakyat bingung. Wabah belum berakhir, namun masalah demi masalah muncul di negeri ini bak jamur di musim hujan. Baru saja muncul kasus kenaikan iuran BPJS dan listrik, masalah Tapera, kini muncul kasus mengenai haluan negara.

Inisiatifnews.com dalam rilisnya pada 24 Juni, memuat kronologi RUU HIP melalui keterangan Menko Polhukam, Prof. Mahfud MD, dalam sebuah Webinar oleh Asosiasi Profesor Indonesia. Bahwa pada 22 Mei 2020, Pemerintah menerima surat dari DPR terkait usulan (baru taraf usulan) RUU HIP. Draftnya telah disahkan oleh Paripurna DPR dan akan dimasukkan (belum dimasukkan) ke Program Legislasi Nasional atau Prolegnas. Tanggal 8 Juni, Presiden Jokowi mengirim surat kepada Menko Polhukam untuk membahas RUU HIP tersebut. 

Seraya Presiden mengirim surat penugasan, saat itu pulalah polemik mulai ramai. Sudah ada penolakan agak keras dari Majelis Ulama Indonesia dengan Maklumat Nomor 7 pada 12 Juni 2020. Diikuti kemudian oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, GP Ansor dan Organisasi serta kelompok Islam lainnya. Termasuk FPI dan PA 212.

Dalam Webinar tersebut, Mahfud MD menegaskan bahwa Pemerintah sendiri sebetulnya sangat berkeberatan dengan RUU HIP ini, terutama dalam hal tidak dicantumkannya TAP MPRS No 25 Tahun 1966 tentang PKI sebagai organisasi terlarang. Dan juga pada pasal 7 RUU HIP yang intinya menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila hanyalah trisila. Sedangkan dari Trisila itu, ciri pokokinya hanya Ekasila. Dan Pemerintah pun menunda RUU HIP tersebut.

Menjadi menarik bagi kita semua untuk menelisik dengan lebih cermat dan seksama, apa dan bagaimana sebetulnya RUU HIP ini bisa menjadi haluan yang antah berantah?

Refly Harun, pakar Tata Negara, dalam Channel Youtubenya yang bertajuk JALAN LURUS, secara tegas menyatakan bahwa RUU HIP ini tak ada gunanya bagi rakyat Indonesia. Apalagi dalam pasalnya ada dicantumkan bahwa Presiden adalah pemegang tertinggi Haluan Ideologi Pancasila. Jelas pasal ini sangat rentan terhadap kesewenang-wenangan penguasa untuk bersikap represif dengan mengatasnamakan Pancasila.
Tidak dicantumkannya TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang PKI sebagai organisasi terlarang juga menyulut kemarahan publik. Publik kemudian berspekulasi dengan asumsi, bahwa ada upaya politisasi dan terselubung untuk melindungi keberadaan PKI yang nyata Komunis atau bahkan membangkitkannya kembali.

Kemudian yang mengenai hal mengkeremus Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Konsep Trisila dan Ekasila sebetulnya adalah Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Tetapi, saat itu, Bung Karno dalam isi pidatonya, bersifat menawarkan pada sidang. Apakah akan memilih Panca, Tri atau Eka sila sebagai Dasar negara. Sidang kemudian memilih Pancasila.

Dalam RUU HIP, konsep tersebut, dimunculkan kembali. Namun tidak sebagai bentuk proposisi sebagaimana halnya dilakukan Bung Karno. Inilah yang menjadi masalah. Kompas.com pada 16 Juni, memuat keterangan dari Sekjen MUI Anwar Abas. Menurut Abas, memeras Pancasila sebgai Trisila dan Ekasila adalah sebuah bentuk pengkhianatan. Justru jiwa Pancasila terletak pada sila pertamanya yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.Dalam RUU HIP, pasal 7, konsepnya adalah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Padahal, makhluk yang berkebudayaan hanyalah manusia. Jadi, ini dimaknai bahwa Ketuhanan malahan harus tunduk pada manusia.

Yang lebih menarik lagi adalah, siapa sesungguhnya pencetus ide RUU HIP ini. Pikiranrakyat-depok.com pada 22 Juni menayangkan reportase bahwa tuduhan penggagas ide RUU HIP adalah Megawati, Hoax yang menyesatkan. Pidato Megawati dalam HUT PDIP di Senayan yang menjadi pusat isyu (isu) sudah disunting dan dipelesetkan sedemikian rupa. Isu tersebut pertama kali berhembus melalui  viva.com di tanggal yang sama.

Tirto.id pada 16 Juni sudah merilis proses RUU HIP. Anehnya, Ketua Panitia Kerja RUU HIP Rieke Dyah Pitaloka, enggan menyebutkan siapa sebetulnya penggagas RUU HIP ini. Terlepas dari siapa penggagasnya, yang menjadi keprihatinan adalah bahwa haluan negara, oleh berbagai kepentingan, sudah dibelokkan malahan menjadi haluan dengan arah antah berantah yang membingungkan. Menunjukkan pula bahwa lembaga legislasi kita sudah sangat miskin ide dan narasi, sehingga mengobok-obok sebuah konsensus kesepakatan nasional yakni Pancasila. Juga ada upaya sekularisasi masif, agar urusan keTuhanan diserahkan dalam ranah budaya. Ada pula kekaburan narasi akan sikap terhadap komunisme.

Ke depan, bisa saja semua keberatan tersebut dianulir dan dibatalkan. Bahkan bisa saja bahwa RUU HIP itu sendiri juga dibatalkan. Namun bukan itu permasalahannya. Satu masalah krusial yang utama adalah sebuah ideologi negara yang berdiri atas hukum, kaidah dan aturan buatan manusia, rentan sekali oleh manipulasi kepentingan.

Menyoal Ideologi

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Katanya sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide.” Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme).

Ideologi juga dapat didefinisikan sebagai aqidah ‘aqliyyah (akidah yang sampai melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan. Di sini akidah ialah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup; serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Dari definisi di atas, sesuatu bisa disebut ideologi jika memiliki dua syarat, yakni:

1. Ide yang meliputi aqidah ‘aqliyyah dan penyelesaian masalah hidup. Jadi, ideologi harus unik, karena harus bisa memecahkan problematika kehidupan.

2. Metode yang meliputi metode penerapan, penjagaan, dan penyebarluasan ideologi. Jadi, ideologi harus khas karena harus disebarluaskan ke luar wilayah lahirnya ideologi itu. Jadi, suatu ideologi bukan semata berupa pemikiran teoretis seperti filsafat, melainkan dapat dijelmakan secara operasional dalam kehidupan.

Menurut definisi kedua tersebut, apabila sesuatu tidak memiliki dua hal di atas, maka tidak bisa disebut ideologi, melainkan sekedar paham. Menurut Al ‘Alamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy, di dunia ini hanya ada tiga yang layak disebut ideologi. Yaitu ideologi Islam, Kapitalisme-Sekulerisme, dan Sosialisme-Komunisme. 

Dunia secara umum hari ini berpijak pada dua ideologi besar, ideologi Kapitalisme-Liberalisme dan ideologi Sosialisme-Komunisme. Ideologi lainnya, yakni ideologi Islam, belum begitu tampak. Ideologi Islam masih berada dalam individu-individu muslim dan belum diwujudkan dalam satu pun negara di dunia.

Dalam Kamus Oxford, Kapitalisme (Capitalism) dimaknai sebagai sistem ekonomi ketika perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar.

Kapitalisme mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M, lalu menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776) diakui sebagai tonggak utama rujukan Kapitalisme.

Kapitalisme-Liberalisme lahir dari prinsip sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Dalam pandangan Kapitalisme, manusia berhak menentukan aturan main kehidupannya. Pemahaman ini lahir atas kejumudan tingkah pola kaum gerejawan yang berkongsi dengan bangsawan, sehingga seakan-akan titah mereka adalah titah Tuhan.

Adapun dalam Komunisme, perubahan sosial harus dimulai dari pengambilalihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar. Secara umum Komunisme berlandaskan pada teori Dialektika Materialisme dan Materialisme Historis sehingga tidak bersandar pada kepercayaan mitos, takhayul dan agama. Jadi, tidak ada penanaman doktrin agama pada rakyat. Prinsip dalam Komunisme, “Agama adalah Candu” membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain yang dianggap tidak rasional dan keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi).

Baik Komunisme maupun Kapitalisme, dalam segi akidah, tentu menyalahi Islam. Komunisme bukan sekadar mengesampingkan aspek spritual, bahkan menyebut aspek spritual sebagai tidak ada. Penganutnya banyak yang agnostik (tidak mempercayai agama) atau bahkan atheis (tidak mempercayai Tuhan). 

Adapun Kapitalisme, yang terikat dengan sekularisme, mengingkari urusan agama dalam perkara mengatur sesama manusia.

Berbeda dengan keduanya, ideologi Islam dibangun di atas satu dasar, yaitu akidah Islam (tauhid). Akidah ini menjelaskan bahwa di balik alam semesta, manusia dan hidup, terdapat Pencipta (Al-Khalik) yang telah meciptakan ketiganya, serta yang telah meciptakan segala sesuatu lainnya. Dialah Allah Swt. Allah Swt. telah menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Oleh karea itu, ideologi Islam akan terhubung dan terkoneksikan dengan aturan-Nya, baik berasal dari al-Quran maupun as-Sunnah.

Dengan penelaahan yang mendalam, akan didapati bahwa dari tiga ideologi tersebut, hanya Islam lah yang benar (sahih). Karena Islam berasal dari wahyu Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir. Sedangkan Kapitalisme-Sekulerisme dan Sosialisme-Komunisme adalah buatan akal manusia. Sebagaimana penegasan Allah Swt., “Sesungguhnya Diin (agama) di sisi Allah adalah Islam...”(QS. Ali Imran [3]: 19).

Sebagai mukmin, wajib meyakini Islam dan hanya mengadopsi ideologi Islam. Yaitu akidah Islam dan seluruh sistem aturan kehidupan yang terpancar dari akidah Islam. Dan ideologi tersebut wajib dijadikan landasan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam masalah individu, bermasyarakat dan bernegara. Itulah hakikat dari berIslam secara total (kaffah), sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. 

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semuanya ke dalam Islam secara kaffah (total), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu adalah musuh nyata bagi kalian.” (QS. Al Baqaraah [2]: 208).

Lalu bagaimana dengan Pancasila -paham yang dijadikan ideologi negara ini? Akan terus memunculkan perdebatan, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa Pancasila itu telah ditafsirkan sesuai dengan arah yang diinginkan rezim yang sedang berkuasa. Meskipun pembahasan RUU HIP saat ini ditunda, tidak berarti pembahasannya sudah selesai. Suatu saat akan diangkat kembali oleh para pengusung idenya. Jalan satu-satunya untuk mengakhiri polemik ini adalah dengan menerapkan Islam sebagai ideologi negara. In sya Allah rakyat dan negara akan selamat di dunia dan akhirat. 

Oleh karena itu, harus ada upaya mencerdaskan umat tentang pentingnya Islam kaffah agar umat mengenal ideologi Islam. Dapat memahami hakikat ideologi Islam, dengan seluruh sistem aturannya secara komprehensif. Umat juga harus dipahamkan tentang gambaran pelaksanaan seluruh sistem aturan Islam itu, yaitu dalam sistem kehidupan Islam. Sistem kehidupan Islam yang ditegakkan oleh negara sebagai institusi penerap Islam secara kaffah.

Wallahua'lam bishshawab

Posting Komentar untuk "Gonjang-Ganjing Haluan Negara: Mau Dibawa Kemana Negara Kita?"