Iuran Tapera, Empati Negara Dipertanyakan?
Oleh: Neng Ranie SN
Usai keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS, kini masyarakat kembali mendapat berita buruk lain. Yakni, adanya rencana program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini ditandai dengan penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
PP tersebut adalah penajaman dari aturan sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Salah satu poin penting yang diatur dalam PP yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Mei lalu adalah poin iuran peserta Tapera. Besaran simpanan peserta ditetapkan sebesar tiga persen, sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja (potong gaji atau upah). Khusus untuk peserta mandiri, iuran dibayarkan sendiri. Adapun lingkup kepesertaan adalah ASN eks peserta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Taperum-PNS), ASN, pekerja di perusahaan BUMN, BUMD, TNI-Polri, pekerja swasta, pekerja mandiri, dan pekerja sektor informal. (kupang.tribunnews.com, 09/05/2020)
Sontak, rencana program Tapera mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak, karena keputusan pemerintah tersebut dinilai tidak tepat dan tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Pasalnya, program Tapera ini akan menambah iuran yang harus dikeluarkan, juga otomatis mengurangi pendapatan yang diterima oleh rakyat. Terlebih, saat ini semua rakyat tengah menghadapi pandemi, meski iuran Tapera baru diwajibkan mulai bulan Januari 2021 bagi eks ASN dan ASN, dan bagi perusahaan memiliki waktu hingga tujuh tahun untuk mendaftarkan pekerjanya.
Hal utama yang membuat kebijakan ini tidak tepat, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial, Harijanto mengatakan adanya tumpang tindih dengan program kepesertaan lain. Misalnya, iuran kepesertaan BP Jamsostek. Dan tak kalah penting, transparansi pengelolaan dana Tapera, Pengamat properti sekaligus Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, berharap dana ini tidak menjadi 'bancakan' oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab lantaran akan mengendap dalam kurun waktu lama.(m cnnindonesia.com, 03/06/2020)
Bahkan, ada kecurigaan bahwa dana Tapera sebagai cara baru pemerintah dalam mencari sumber pendanaan baru di tengah pandemik. Menurut peneliti Institute for Development of Economics (Indef), Bhima Yudistira, tercantum dalam Pasal 27 PP Tapera bahwa dana dapat diinvestasikan ke surat utang pemerintah. Berarti pemerintah boleh memanfaatkan dana kelolaan untuk pendanaan stimulus Covid-19, apalagi saat ini terjadi pelebaran defisit anggaran, akibat penanganan ekonomi yang gagal dan negara terancam bangkrut. (jatim.idntimes.com, 07/06/2020)
Beginilah, karut-marut pengelolaan pengurusan urusan rakyat dalam sistem kapitalis. Melalui program Tapera, pemerintah seolah-oleh lepas tangan dari tanggung jawabnya dalam pemenuhan atas tempat tinggal yang layak bagi rakyatnya. Peran pemerintah sebagai tanggung jawab penyedia rumah menjadi tidak berfungsi. Pemerintah hanya hadir sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan kebutuhan rakyat menjadi ajang komoditas untuk mencari keuntungan.
Bagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam hal pengurusan urusan rakyat?
Pandangan khas Islam bahwa aspek-aspek pemenuhan hajat dasar masyarakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara, tidak boleh dijadikan komoditas. Lingkup kebutuhan dasar rakyat berupa barang, meliputi pangan, sandang, dan papan. Sedangkan lingkup kebutuhan akan jasa, meliputi keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Dengan paradigma yang sama terhadap kedua jenis kebutuhan tersebut dimana negara sebagai penanggung jawab urusan rakyat (riayah as-su’un al-ummah), maka Khilafah menerapkan mekanisme yang berbeda dalam pemenuhannya. Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang, Sistem Ekonomi Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Tahap-tahap strategi tersebut adalah:
Pertama, memerintahkan kepada setiap laki-lak dan kepala keluarga bekerja agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri beserta orang-orang yang menjadi tanggungannya
Kedua, negara menyediakan berbagai fasilitas lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan. Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan, sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara.
Ketiga, bagi yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sesuai jalur penafkahannya. Ketiga, apabila tahap pertama dan kedua tak kunjung mampu menyelesaikannya, maka tanggung jawab berpindah pada negara.
Keempat, memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggung jawab menolong memberikan tempat berteduh.
Kelima, jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, tetapi ternyata tetap tidak mampu bekerja sehingga tidak mampu menyelesaikannya. Maka tanggung jawab dipenuhi langsung oleh negara dan sumber pendanaannya berasal dari Baitul Maal. Sehingga tidak ada seorang rakyat hidup menggelandang atau tinggal di tempat yang tak layak huni, seperti kadang hewan dan sebagainya.
Inilah sedikit gambaran pengelolaan negara khilafah dalam menjalankan fungsinya sebagai riayah as-su’un al-ummah. Berbagai aturan dan dasar yang berkaitan dengan kepentingan rakyat dibuat berlandaskan Alquran dan Sunah. Seorang khalifah harus menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, karena di akhirat pasti akan dituntut tanggung jawab. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kamu adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam (pemimpin negara) adalah pemimpin (pengatur) dan akan ditanya tentang kepemimpinannya...” (HR. Al-Bukhâri, no. 2558)
Wallâh alam bi ash-shawâb.
Posting Komentar untuk "Iuran Tapera, Empati Negara Dipertanyakan?"