Membedah Frasa Jahat Ketuhanan yang Berkebudayaan



Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

RUU HIP mulai menuai penolakan dan tantangan dari banyak pihak. Aksi penolakan ini beragam mulai dari rakyat biasa hingga para ahli hukum.

Bahkan organisasi besar pun menolak dengan tegas seperti MUI, NU dan Muhammadiyah. Bagi Umat Islam RUU ini tak pantas disahkan menjadi UU karena diduga akan menjadi alat represifme rezim.

Organisasi lain, GP Ansor, melihat banyaknya perdebatan dari RUU HIP. Salah satu perdebatan yang timbul adalah RUU itu terkesan sebagai upaya terselubung eks PKI dan kelompoknya untuk balas dendam sejarah yang menimpa mereka. Untuk itu, dibutuhkan diskusi dan masukan dari berbagai kalangan sebelum dimulainya pembahasan RUU HIP. (Republika.co.id, 13/6).

Selain itu, dalam draft RUU HIP, pasal 7, terdapat frasa yang kontroversial yakni "Ketuhanan yang Berkebudayaan". Frasa ini menimbulkan banyak tafsiran yang bisa saja menyesatkan.

Benarkah Tuhan memiliki kebudayaan sedangkan budaya itu adalah produk buatan manusia? Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT.

Pengertian kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" menunjukkan posisi Tuhan itu sama dengan manusia yang melakukan suatu kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.

Adanya upaya untuk menjadikan Tuhan adalah layaknya manusia yang biasa menjalankan suatu budaya. Tentu ini frasa yang menyesatkan menurut akidah Islam.

Tuhan bukan makhluk yang serba terbatas. Tuhan tak serupa dengan manusia. Tuhan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 

Sebab Tuhan lah yang menciptakan langit dan bumi dan miliaran galaksi di ruang angkasa. Ini sesuai dengan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ma'idah [5] : 120

لِلَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌۢ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Berkebudayaan berarti Tuhan melakukan aktivitas budaya.

Bahkan ada ahli hukum yang mengatakan akibat frasa ini bisa saja menyebabkan semakin banyaknya sikap anti Tuhan di masyarakat. Seperti pagelaran ketoprak salahsatu kelompok mahasiswa. 

Dalam pagelaran itu, Tuhan digambarkan memakai pakaian adat, bisa mengikuti pesta dan Tuhan pun bisa mati.

Tentu ini kejahiliaan tingkat tinggi. Tuhan tidak mungkin berubah menjadi makhluk. 

Tuhan tak memerlukan budaya, penghormatan dan pertolongan. Bahkan Tuhan lah yang menolong manusia yang serba lemah dan terbatas. Dan patut diduga ada unsur komunisme dalam frasa draft RUU tersebut.

Patut diduga adanya semangat dan upaya komunisme untuk meniadakan Tuhan dalam frasa tersebut. Yang diharapkan bisa membangkitkan komunisme lewat RUU.

Oleh karena itu, wajib bagi Kaum Muslimin untuk menolak draft RUU ini. Di dalamnya ada frasa yang menyesatkan selain banyak alasan penolakan seperti tidak mencantumkan Tap MPRS No XXV/MPRS/ Tahun 1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Komunisme. 

Jika RUU ini lolos menjadi UU diduga akan menguatkan kebangkitan kaum Komunis dan menghilangkan unsur agama dalam kehidupan. RUU ini diduga juga akan mereduksi arti Ketuhanan yang sebenarnya. Semoga Umat bisa bersatu untuk membalas setiap makar kelompok jahat tertentu. []

Bumi Allah SWT, 16 Juni 2020


Posting Komentar untuk "Membedah Frasa Jahat Ketuhanan yang Berkebudayaan"