Tingginya Tagihan Listrik, Pemalak Sistemik
Oleh : Ati Solihati,S.TP (Aktivis Muslimah, Pemerhati Kebijakan Publik)
Derita tanpa akhir. Narasi satir yang menggambarkan keadaan yang menimpa mayoritas rakyat di negeri ini. Kurva Pandemi Covid-19 belum juga nampak tanda-tanda akan segera melandai. Buah dari lamban dan tidak efektifnya regulasi penanggulangan. Hari demi hari kasus terus bertambah. Tidak ada kebijakan negara yang secara efektif berhasil menekan laju kasus dan lonjakan korban. Rasa was-was senantiasa menyelimuti warga. Semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup yang merupakan dampak pandemi, tidak mengetuk belas kasihan penguasa untuk memberikan subsidi yang cukup, agar beban rakyat lebih ringan.
Salah satu kebutuhan dasar rakyat yang terdampak pandemi adalah listrik. Tagihan listrik yang melonjak, terutama untuk bulan Juni 2020, dikeluhkan oleh sebagian besar rakyat. PT PLN berdalih bahwa lonjakan tagihan ini bukan karena kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Kenaikan tagihan lebih disebabkan ada selisih dan kenaikan konsumsi listrik saat Work From Home (WFH), saat belajar “daring”, dan lain-lain. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan, Bob Saril mengatakan, “Lonjakan terjadi semata-mata karena pencatatan rata-rata rekening sebagai basis pada tagihan bulan mei, kemudian pada bulan Juni ketika dilakukan pencatatan meter aktual selisihnya cukup besar. Itulah yang menyebabkan adanya lonjakan (SindoNews.com,7/6/2020).
Namun sebenarnya, apapun alasannya, tetap tidak menyentuh permasalahan mendasar yang dirasakan rakyat. Derita tanpa akhir. Permasalahan ini melengkapi buah busuk yang dituai dari kelambanan dan ketidakefektifan penanggulangan pandemi. Selama pandemi seakan rakyat dibiarkan sendiri dalam hutan rimba, tanpa bekal dan tanpa perlindungan apapun. Rakyat diminta mandiri dalam melindungi diri dari infeksi virus corona. Yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi, tidak terlalu sulit menjalaninya. Walaupun dalam selang waktu lama, kelabakan juga karena tabungan pun menipis. Sementara rakyat lemah tidak ada pilihan lain kecuali harus siap berhadapan langsung dengan ancaman maut, bisa ancaman maut karena terinfeksi, karena sangat minimnya fasilitas perlindungan diri, namun bisa juga ancaman maut karena tidak terpenuhinya kebutuhan asasi. Tingginya tagihan listrik, sekalipun bukan karena naiknya TDL, tetap dirasakan bagi rakyat sebagai pelengkap derita tanpa akhir.
Permasalahan tingginya tagihan listrik menjadi permasalahan yang klasik. Ironisnya, hal ini ini terjadi di negeri yang sangat kaya sumber energi. Misalnya saja sumber energi fosil: minyak, gas, dan batu bara. Namun sayangnya sebagian besar sumber energi ini tidak diutamakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, sehingga rakyat dapat memperolehnya secara gratis atau dengan harga yang semurah-murahnya. Tetapi dikuasakan kepada swasta dan asing, yang keuntungannya tidak dinikmati oleh rakyat yang menjadi pemilik hakiki dari SDA ini. Dan pengolahan energi ini pun lebih mengutamakan kebutuhan negara lain. Seperti produksi minyak bumi dan gas bumi, hampir 60% diekspor, LNG sekitar 99%, dan batu bara sekitar 65%.
Permasalahan listrik yang tiada kunjung usai ini, sebagaimana halnya segenap permasalahan kehidupan yang lain, yang saling terpilin bagai benang kusut, tidak lepas dari buah diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal yang telah mencengkeram setiap sendi kehidupan kita saat ini. Sistem ini telah menyebabkan liberalisasi pada tata kelola kelistrikan, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.
Liberalisasi energi ini menjadi suatu hal yang legal di negeri ini, karena memiliki payung hukum. Liberalisasi sumber energi primer, memiliki payung hukum UU no.22 tahun 2001. Dengan UU tersebut, telah terjadi legalisasi perampokan ladang minyak dan gas di Indonesia. UU Minerba, UU No.04 Tahun 2009, sekalipun telah mengalami revisi pada tahun 2020 ini, namun tidak menghilangkan esensinya sebagai bentuk liberalisasi pengelolaan mineral dan batu bara. Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengelolaan diserahkan pada mekanisme bisnis.
Liberalisasi listrik semakin terasa sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik, dengan dikeluarkannya Kepres No.37 Tahun 1992. Sejak itu berdirilah pembangkit swasta untuk “membantu” suplai listrik PLN, karena saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik dari PLN. Liberalisasi ini diperkuat dengan UU No.30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikkan. Dilakukan unbundling vertikal, yaitu pemecahan secara fungsi : fungsi pembangkit, transmisi, dan distribusi, yang semuanya dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta. Sehingga meski saat ini PT PLN berstatus perusahaan listrik negara, namun akibat unbundling, semua fungsi dilakukan secara komersil.
Akibat liberalisasi ini, maka harga listrik menjadi tinggi, bahkan akan terus-menerus naik. Namun karena listrik merupakan kebutuhan mendasar, merupakan hajat hidup orang banyak, maka berapapun harganya, orang terpaksa mengupayakan membelinya. Dan hal ini menjadi lebih memberatkan bagi rakyat, yang telah dibebani beragam kesulitan hidup sebagai dampak pandemi.
Hal ini sangat berbeda sekali dengan Sistem Islam. Islam memiliki aturan yang paripurna (baca: kaffah) di dalam menyelesaikan semua permasalahan kehidupan, dengan penyelesaian yang bukan hanya menyelesaikan masalah secara tuntas, namun juga sesuai dengan fitrah manusia. Karena aturan Islam adalah dari Allah SWT, Pencipta manusia, seluruh makhluk, dan seisi alam ini. Allah SWT Maha Mengetahui aturan yang terbaik bagi segenap makhluknya.
Dalam Islam, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar, masuk dalam kategori “api” (energi), yang merupakan salah satu milik umum. Nabi Muhammad SAW bersabda : “Kaum muslimin berserikat dalam 3 perkara : padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi)”(HR.Ahmad). Termasuk dalam kategori “api” tersebut juga adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik, seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebaginya.
Selain itu, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik, sebagian besar adalah dari barang tambang yang depositnya besar, seperti migas dan batu bara. Dimana, jika barang tambang tersebut depositnya besar dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka statusnya dalam Islam, adalah menjadi milik umum.
Dengan demikian, listrik merupakan bagian dari milik umum. Sehingga tidak boleh dimiliki oleh swasta apalagi asing. Negara bertanggungjawab penuh untuk mengelolanya dengan baik, yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, karena hakikatnya listrik merupakan milik umum (rakyat). Sehingga setiap individu rakyat harus terpenuhi kebutuhan listriknya, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, dengan gratis atau dengan harga yang murah yang terjangkau oleh seluruh rakyat.
Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik yang sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah SWT dan Rasulullaah SAW, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah akan terhindar dari permasalahan listrik yang berkepanjangan, dan rakyat pun tidak akan tercekik dengan tingginya tagihan listrik, terutama di masa pandemi ini.
Wallaahu’alam bishshowab.
Tangerang, 12 Juni 2020
Posting Komentar untuk "Tingginya Tagihan Listrik, Pemalak Sistemik"