Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jakarta, Visi Muslim- Pengakuan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang telah menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam sebagai bagian dari program penguatan moderasi beragama (baca: moderasi Islam), mendapat kecaman keras dari Ustadz Muhammad Ismail Yusanto.

“Moderasi Islam itu sebenarnya pesanan dari musuh-musuh Islam untuk memperlemah umat Islam sendiri. Lha kok kita mau? Ini kan bodohnya kita. Apalagi kemudian secara resmi dilakukan dengan menggusur materi itu dari pelajaran agama,” ujar Ismail kepada Mediaumat.news, Jumat (3/7/2020).

Ismail pun mempertanyakan epistemologis moderasi Islam tersebut. “Apa dasar tuntunan di dalam Islam kita itu harus menjadi seorang Muslim yang moderat atau kita harus melakukan moderasi Islam? Dasarnya apa? Dalil Qur’an Haditsnya itu mana?” ujarnya.

Karena, dalam ajaran Islam, seorang Muslim itu dituntunkan untuk menjadi seorang Muslim yang sebenarnya, Muslim yang kaffah. Itu ada dalilnya. “Tapi kalau Muslim yang moderat atau moderasi Islam itu apa?” tanyanya lagi.

Memang orang biasanya menyebut Islam yang washathiyah itu. “Tapi kan ummatan washathan dalam Al-Qur’an (surah al-Baqarah ayat 143) itu tafsirnya adalah umat yang adil, bukan umat yang moderat!” tegasnya.

Apalagi kemudian kenyataannya yang dimaksud dengan moderasi Islam itu adalah menyingkirkan ajaran Islam yang dianggap radikal, yang dianggap tidak moderat. Jadi pertanyaannya, apa dasarnya ajaran Islam itu dianggap radikal dan sebagian lainnya dikatakan moderat? Lalu dikatakan bahwa ajaran Islam tentang jihad dan dan ajaran Islam tentang khilafah itu dianggap radikal dan bertentangan dengan moderasi Islam sehingga harus dihapuskan. “Bagaimana mungkin seorang Muslim seperti itu?” tanyanya retoris.

Padahal, jihadlah yang telah membuat Islam berkembang di seluruh penjuru dunia termasuk juga di Indonesia. Dengan semangat jihad, para pahlawan dulu berjuang melawan Belanda. Karena jihad pulalah para pemuda di Surabaya itu berani berhadap-hadapan dengan Belanda.

“Bagaimana bisa, sekarang setelah kita merdeka yang merdekanya itu disebut ‘Berkat Rahmat Allah’ lalu kita menggusur ajaran Islam yang telah mengantarkan kita pada kemerdekaan?” gugahnya.

Menurutnya, apakah kalau tidak ada ajaran Islam tentang jihad, para pahlawan dahulu itu berani? Mereka berani itu karena ada ajaran jihad. Mereka tahu jihad itu apa dan apa konsekuensinya atau pahalanya jikalau karena jihad itu mereka meninggal dunia.

“Karena itu menurut saya, ini tidak pantas sama sekali. Apalagi itu dilakukan oleh Menteri Agama. Menteri yang dianggap paling paham tentang agama. Memang dia pernah mengatakan dia bukan ‘menteri agama Islam’, betul. Tetapi kan mayoritas penduduknya Muslim dan dia juga Muslim. Karena itu dia terikat juga dengan kemusliman dia,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan, tidak ada yang didapat dengan menyingkirkan ajaran Islam itu kecuali itu menguntungkan musuh-musuh Islam. Sebab tanpa jihad, tanpa khilafah, umat Islam itu sudah kehilangan sebagian besar dari kekuatannya. Dan mereka (musuh-musuh Islam) tahu bahwa kekuatan vital dari umat Islam itu ketika umat Islam itu sadar kewajiban jihad dan kewajiban khilafah.

Ismail juga khawatir suatu hari nanti lahirlah anak-anak muda yang lembek. Ketika negeri ini diserang, mereka tidak bergerak apa-apa. Disuruh bergerak, atas dasar apa bergerak? Ini jihad! Apa itu jihad? Mereka enggak paham.

“Mengapa mereka enggak paham? Karena enggak pernah dipahamkan. Mengapa enggak dipahamkan? Karena di buku pelajarannya enggak ada itu jihad. Kalau sudah seperti itu siapa yang paling bertanggung jawab? Yang paling bertanggung jawab adalah menteri agama!” katanya.

Tudingan Serius

Dalam buku hasil revisi itu, menurut Menteri Agama masih terdapat materi soal khilafah. Meski demikian, buku itu akan memberi penjelasan bahwa khilafah tak lagi relevan di Indonesia.

“Menyatakan khilafah ‘tak lagi relevan di Indonesia’ dasarnya apa? Dalil Qur’an Haditsnya apa? Yang pasti bahwa Islam termasuk di dalamnya ajaran jihad dan ajaran khilafah, itu bagian dari risalah Islam dan risalah Islam itu untuk seluruh umat manusia, di mana pun manusia berada termasuk di negeri ini!” tegasnya.

Lalu bagaimana bisa dikatakan tidak relevan untuk Indonesia? Indonesia bisa menerima Islam itu karena khilafah kok. Kesultanan-kesultanan di Nusantara zaman dulu itu link-up-nya kepada khilafah. Kok bisa bilang tidak relevan? “Islam itu akan selalu relevan dalam setiap waktu dan tempat!” tegasnya lagi.

Jadi ketika seseorang mengatakan bahwa khilafah tak relevan lagi di Indonesia, itu berarti dengan secara langsung menuduh bahwa Allah SWT mengeluarkan risalah yang tidak pas untuk manusia di satu tempat, di suatu waktu. Artinya, orang tersebut menganggap Allah itu memiliki kelemahan. “Itu tudingan serius! Itu kalau benar begitu, bisa membatalkan akidah mereka,” pungkasnya[] Joko Prasetyo

Posting Komentar untuk " "

close