Kasus Masih Meningkat, Apa Penyebabnya?
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Member Revowriter dan WCWH)
"...Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (TQS. An-Nahl: 89)
Awal Juni lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah memberikan lampu hijau bagi sembilan sektor ekonomi untuk kembali beroperasi di tengah penerapan kenormalan baru atau new normal. Kebijakan ini diambil dalam rangka menekan dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. Adapun, sembilan sektor yang ditetapkan untuk dibuka kembali meliputi pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik dan transportasi barang.
Namun, sejumlah pakar dan praktisi kesehatan menduga pembukaan sembilan sektor ekonomi dan wacana adaptasi kebiasaan baru atau AKB di tengah masyarakat menyebabkan kenaikan kasus covid-19 di atas seribu per hari pada sepekan terakhir (Bisnis.com, 21/06/20). Berdasarkan data pemerintah ada penambahan 1.447 kasus baru covid-19 di Indonesia, sehingga total kasus 62.142 (Kompas.com, 04/07/20).
Dilansir dari CNN Indonesia, pemberlakuan new normal atau kenormalan baru selama pandemi virus corona yang direncanakan pemerintah dinilai belum tepat. Sebab Indonesia masih belum aman dari penyebaran Covid-19. Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr. Iwan Ariawan menyampaikan, dengan jumlah kasus yang masih terbilang tinggi maka penerapan new normal beresiko tinggi terhadap makin masifnya penyebaran virus corona (22/06/20).
Sekalipun saat ini pemerintah mulai melonggarkan sejumlah aturan, tapi Iwan menyarankan tindakan pencegahan seperti cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak harus tetap dijalankan. Ini pun sebenarnya tidak menjamin, karena pemahaman yang masih kurang di tengah masyarakat. Untuk sebagian besar, aturan itu hanya dianggap sebagai larangan yang kalau tidak dilakukan akan kena denda bukan risiko terinfeksi penyakit. Karena itu, angka kasus ini bisa naik lagi, bahkan bukan sebagai gelombang kedua. Senada dengan Iwan, pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dr. Panji Fortuna Hadisoemarto juga menilai pemerintah seharusnya fokus pada menekan angka kasus virus corona dahulu ketimbang berpikir melonggarkan aturan demi ekonomi.
Menurut Panji, "Agenda pemberantasan penyakitnya tidak ada, narasi yang dibawa malah hidup berdampingan, berdamai dengan covid-19. Kebijakan yang terkesan amburadul karena arahnya bukan memberantas, kalau agendanya kuat untuk memberantas covid-19 baru kita bisa menemukan jalan. Prekonomian Indonesia pun akan sulit berjalan kalau wabah belum diatasi karena kesehatan masyarakat perlu diperkuat lebih dulu."
Sepakat dengan hal itu, Iwan menambahkan, pemerintah seharusnya memikirkan kesehatan masyarakat terlebih dulu ketimbang ekonomi. Kesehatan harus aman dulu baru ekonomi bisa tumbuh. Pedomannya harus aman dan produktif, jangan terbalik produktif dulu baru nanti aman. Untuk itu, Panji dan Iwan sama-sama berharap agar pemerintah mengutamakan mengatasi covid-19 secara benar. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah berkata jujur dan transparan dengan situasi yang sebenarnya terjadi.
"Sekarang bukan saatnya menyerah, dan jangan mengubah narasi kalau ini baik-baik saja. Sekarang waktunya menempatkan ilmu pengetahuan sebagai nahkoda, lakukan komunikasi yang baik, dan perkuat leadership jangan hanya gunakan empati tapi jujur, tidak menutup-nutupi," kata Panji.
Wajar jika para pakar kesehatan mengatakan demikian. Karena dalam Islam, kesehatan, keselamatan dan keamanan skala prioritas dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam kondis apapun apalagi saat pandemi. Solusi pandemi atau saat ada wabah, Rasul sudah mencontohkan isolasi segera di tempat wabah. Hadisnya sudah familiar di kalangan kaum muslim bahkan di luar Islam. Negeri yang bukan background agama sudah membuktikan seperti Italia, sempat menempati peringkat tinggi dalam kasus covid-19 akhirnya bisa ditekan ketika melakukan lockdown.
Negara menjamin dan memfasilitasi warga negara untuk tes positif virus atau tidak. Memfasilitasi semua keperluan tenaga medis, APD dan sebagainya. Memberi tunjangan atau insentif bagi tenaga medis karena mereka sudah berkorban dan berjuang memerangi virus di garda terdepan.
Adapun pemenuhan kebutuhan primer warga negara di daerah wabah menjadi tanggung jawab negara. Karena di dalam Islam, pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Pengelolaan keuangan di dalam Islam ada di Baitul Mal, yang mengelola pemasukan dan pengeluaran negara. Negara berdaulat dan mandiri bebas dari intervensi asing, karena pengelolaan kepemilikan di dalam Islam diatur dengan begitu rapih, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Selain itu, dari zakat, fa'i, khumus, kharaj, jizyah, dan sebagainya.
Pos pengeluaran ketika paceklik atau wabah diambil sesuai kebijakan pemimpin. Bisa dari kepemilikan umum atau negara, atau pos lain selain yang sudah ditentukan oleh syariah. Sehingga ketika ada wabah, negara fokus pada pengurangan kasus virus dan penemuan vaksin. Ekonomi di daerah wabah dijamin oleh negara, sementara di tempat lain yang aman dari wabah bisa beraktifitas seperti biasa dan bisa saling membantu daerah yang terkena wabah. Konsep ta'awun atau saling menolong bagian dari syariah, sehingga umat Islam saling berlomba dalam kebaikan.
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al Maidah: 50).
Allahu A'lam Bi Ash Shawab.
Posting Komentar untuk "Kasus Masih Meningkat, Apa Penyebabnya?"