Kedudukan Kesaksian Dalam Peradilan Islam
Oleh: M. Nur Rakhmad, S.H. (Direktur Advokasi LBH Pelita Umat Korwil Jatim)
Pelaksanaan Hukum di belahan dunia ini potensi kesaksian palsu masih saja sering ditemukan. Walaupun telah diberikan rambu bahwa seorang saksi dihadirkan berdasarkan apa yang dia lihat, apa yang dia dengar dan apa yang diketahui. Tetapi secara tanpa kesadaran dan ketaqwaan yang hanya dapat ditemukan dalam Sistem Hukum Islam maka kesaksian palsu akan sulit ditemukan. Karena filosofi yang ditanamkan pada tiap masyarakatnya adalah tiap jiwa akan mempertanggungjawabkan atas apa yang dilakukannya di dunia dengan dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah.
Dalam Islam, hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8). Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu 'ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.
Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah saw.:
إذَا عَلِمْتَ مِثْلَ الشَّمْسِ فَاشْهَدْ، وَإِلاَّ فَدَعْ
Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dha'if-kannya)
Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah.
Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (al-khâdim) yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. Penetapan layak tidaknya seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qadhi di dalam pengadilan.
Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang saksi laki-laki. Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat saksi; penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan.
Posting Komentar untuk "Kedudukan Kesaksian Dalam Peradilan Islam"