Kritik Dispensasi Nikah: Pemikiran Irasional Sistem Liberal
Ilustrasi |
Oleh: Anggun Mustanir
Selama pandemi covid-19, angka pernikahan dini di Indonesia melonjak. Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional tahun 2020 menunjukkan bahwa salah satu provinsi penyumbang angka perkawinan bawah umur tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat.
Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Susilowati Suparto mengatakan, "Peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga". (Kompas.com., 8/7/2020)
Kesibukan dan lemahnya pengawasan orang tua terkait kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) juga menjadi salah satu pemicu maraknya pernikahan dini. Susilowati menuturkan, aktivitas belajar di rumah mengakibatkan remaja memiliki keleluasaan dalam bergaul di lingkungan sekitar.
Sementara itu, berdasarkan catatan Pengadilan Agama Jepara, terdapat 240 pemohon dispensasi nikah. Diantaranya 50 persen karena hamil terlebih dahulu. Sedangkan, selebihnya karena faktor usia yang belum sesuai aturan, namun sudah berkeinginan menikah." (JawaPos.com., 26/07/2020)
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tertulis bahwa batas usia minimal calon mempelai wanita adalah 19 tahun. Batasan ini berubah dari aturan sebelumnya yaitu 16 tahun. Sehingga, warga yang berencana menikah namun usianya belum genap 19 tahun harus mengajukan dispensasi nikah.
Awalnya, pemerintah menjalankan program dispensasi nikah bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka pernikahan dini. Pasalnya, pernikahan di usia belia dituduh menjadi sebab banyaknya masalah rumah tangga seperti KDRT, Anak stunting, kasus gizi buruk akibat orang tua yang minim ilmu, masalah ekonomi hingga perceraian.
Namun, kenyataan berbicara bahwa dispensasi nikah dan adanya pembatasan usia calon mempelai untuk menikah justru menjadi ‘jalan keluar’ untuk memaklumi fenomena seks bebas di kalangan remaja. Dispensasi nikah karena seks bebas tidak hanya berdampak individual tapi berpotensi melahirkan keluarga tanpa ketahanan dan generasi lemah. Fakta di atas menegaskan bahwa problema yang lahir dari kebijakan dispensasi nikah ini sejatinya tidak menekan angka kehamilan di luar nikah.
Kasus-kasus tersebut bukan merupakan sumber masalah, namun imbas dari rusaknya moral generasi muda saat ini. Pendidikan sekuler menjauhkan muda-mudi dari aturan agama. Butanya mereka pada hukum Al Quran dan Assunnah membuat mereka kehilangan jati diri dan tidak memiliki pedoman hidup. Gaya hidup liberal membuat muda-mudi memilih hidup bebas. Tidak mau diatur dan dibimbing.
Mahalnya biaya pendidikan membuat generasi saat ini masih banyak yang belum merasakan bangku sekolah. Tentunya, level pendidikan yang minim sarat kebodohan dan kejumudan.
Keluarga yang jauh dari syariat Islam fondasinya rapuh. Sehingga, sulit membentengi manusia di dalamnya dari serangan pemikiran yang bathil. Orang tua yang materialistis tidak mengutamakan pendidikan akidah sebagai landasan berpikir dan pembentuk akhlakul karimah. Oleh sebab itu, anak-anak pun tidak diarahkan pada pendidikan agama.
Peran media yang harusnya memberi inspirasi kebaikan dan membangun kesadaran umat akan ilmu pengetahuan justru sebaliknya. Media justru menyajikan tontonan tidak mendidik dan tayangan mengumbar khayalan. Tidak heran kalau saat ini bukannya nabi atau sejarahwan tapi, artis dan selebritas yang menjadi tren setter di kalangan remaja. Remaja hanya disibukkan dengan urusan asmara. Padahal, mereka adalah tonggak mengguncang dunia dengan berbagai inovasi dan teknologi untuk membangun peradaban gemilang.
Dan yang paling menyesakan adalah payung hukum yang lemah dan tidak memiliki kekuatan melindungi rakyat atau justru membuka peluang terjadinya perilaku cacat di masyarakat. Contohnya; RUU-PKS, Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang tentang perkawinan yang malah membuat orang terjerumus pada kemaksiatan dan zina.
Uraian di atas tentunya menggambarkan fenomena yang menyedihkan. Betapa tidak masuk akal, negeri yang katanya terkenal sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia justru memiliki masalah dengan perkawinan. Padahal, perkara perkawinan sudah sangat rinci diatur dalam agama Islam.
Kalau saja penguasa dan masyarakat mau berbesar hati membuka mata dan hati. Sesungguhnya bangsa ini hanya membutuhkan pemberlakuan sistem ijtimai (sistem pergaulan) Islam agar generasi siap memasuki gerbang keluarga dan mencegah seks bebas remaja. Karena selama sekulerisme dan liberalisme masih memeluk erat sistem hidup umat Muslim, problematika tersebut akan terus mengantui.
Dalam pandangan syariat Islam menikah merupakan ibadah dan bagian dari sunnah Rasulullah Saw. Tidak ada batasan umur untuk menikah. Asalkan laki-laki dan perempuan sudah baligh dan merasa mampu serta siap menikah. “Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Bisa disimpulkan bahwa dengan menikah, maka akan terjaga pandangan, pergaulan dan kehidupan laki-laki dan perempuan. Siap dan mampu tidak melulu dilihat dari banyak harta. Kematangan spiritual yang sudah dibentuk sejak dini oleh pendidikan Islam adalah bekal untuk membangun fondasi keluarga Muslim yang kokoh.
Sejatinya, untuk memperbaiki kualitas generasi, tidak cukup hanya dengan membatasi usia pernikahan. Hal tersebut bukan solusi tanpa perbaikan sistem hidup yang diadopsi masyarakat. Sinergi keunggulan sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, kesehatan dan lainnya, justru yang utama. Hanya sistem Islam yang mampu mencetak generasi cemerlang dan cerdas serta berakhlakul karimah. Tanpa Islam pemuda-pemudi akan sulit melawan arus globalisasi liberal yang menjauhkannya dari Allah Swt. dan RasulNya. Wallahualam
Posting Komentar untuk "Kritik Dispensasi Nikah: Pemikiran Irasional Sistem Liberal"