Ketika Persekusi Diapresiasi dalam Demokrasi
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag (Pegiat literasi)
Dilansir dari Jpnn.com, Pengurus Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur menepis anggapan yang menganggap Barisan Ansor Serbaguna (Banser) telah memersekusi ataupun mengintimidasi Abdul Halim dan Ustaz Zainullah yang dianggap sebagai dedengkot Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setempat. Anggapan itu muncul setelah video Banser melabrak Zainullah menjadi viral di media sosial. Dalam video itu, Ketua PC GP Anspr Bangil Saad Muafi memimpin ratusan Banser mendatangi rumah Abdul Halim dan Yayasan Al Hamidy Al Islamiyah pimpinan Ustaz Zainulloh (24/8/20).
Semula Banser melabrak Abdul Halim yang membuat unggahan di Facebook berisi penghinaan terhadap Nahdlatul Ulama (NU) dan Habib Lutfhi bin Yahya. Aksi Banser berlanjut ke Yayasan Al Hamidy Al Islamiyah di Desa Kalisat, Rembang, Pasuruan yang dianggap sebagai tempat HTI menyebarkan paham khilafah. Namun, Muafi menyatakan aksinya bersama Banser bukanlah persekusi. Sebab, dirinya dan Banser berupaya meminta klarifikasi dari Abdul Halim maupun Zainulloh dalam pertemuan yang juga dihadiri unsur muspika.
Apapun alasan yang disampaikan oleh Muafi dalam aksinya kala itu, siapapun yang melihat video tersebut dan berfikir jernih akan menilai bahwa aksi yang dilakukan Muafi tetap tidak tepat. Tabayun atau klarifikasai berbeda dengan persekusi, jika memang klarifikasi maka sebaiknya dilakukan dengan ahsan atau makruf. Tak perlu ngotot, apalagi yang didatanginya adalah seorang ulama yang seakan dipaksa untuk menandatangani sesuatu yang tidak dia yakini. Bahkan sangat tendensius menilai ulama tersebut sebagai dedengkot HTI dan menyebarkan faham khilafah ala HTI.
Namun, Menag sangat menghargai partisipasi masyarakat, seperti ditunjukkan oleh Banser Bangil, dalam menjaga kerukunan dan mengawal komitmen kebangsaan, dengan tetap berpegang pada koridor hukum. “Ini tentu contoh yang baik. Kalau ada pelanggaran dan penyimpangan, memang seyogyanya diserahkan pada proses hukum yang berlaku, hindari aksi kekerasan,” ujarnya. Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengapresiasi langkah tabayyun yang dilakukan Banser PC Anspr Bangil.
“Saya memberi apresiasi atas langkah tabayyun yang dilakukan oleh Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan yang terjadi di masyarakat terkait masalah keagamaan,” tutur Menag di Jakarta. Pujian Menteri Agama kepada Banser mendapat kritikan dari sejumlah kalangan. Salah satunya dari Sekum FPI Munarman. Menurut Munarman, tindakan Banser tersebut bukan tabayyun melainkan persekusi dan intimidasi (Pojoksatu.id, 24/8/20).
Rektor Universitas Ibnu Chaldun (UIC), Prof Musni Umar mengecam tindakan puluhan anggota Banser intimidasi ulama di Rembang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. “Memalukan sekali. Melakukan intimidasi dan memaksa ulama (Pojok.id, 22/8/20). Padahal dia anggota DPR yang terhormat,” kata Prof Musni Umar mengomentari video Banser persekusi ulama. Musni Umar menyayangkan sikap Menteri Agama yang mengapresiasi tindakan Banser. Bukankah Islam mengajarkan adab terlebih dahulu dari pada ilmu dan mengapa persekusi diapresiasi?
Inilah bukti dalam demokrasi standar benar dan salah bukan berdasar syariat tapi aturan buatan manusia berdasar suara mayoritas yang belum tentu benar. Persekusi jika didukung banyak orang dianggap benar walau dilakukan terhadap ulama dan menegaskan bahwa itu proses tabayun. Lalu, dilindungi pemerintah yang notabene pelaku demokrasi di negeri ini. Padahal di dalam Islam jelas, benar dan salah berdasar syariat saja bukan yang lain. Islam mengajarkan manusia agar beradab, bagaimana bersikap pada yang lebih muda dan tua, dan bagaimana memperlakukan ulama.
Ibnul Mubarok berkata, “Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” "Al adab artinya menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama juga mendefinsikan, adab adalah menerapkan akhlak-akhlak yang mulia” (Fathul Bari, 10/400).
"Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).
"Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh” (Adabul Imla’ wal Istimla’ [2], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [10]).
Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan: “Dengan adab, engkau akan memahami ilmu” (Iqtidhaul Ilmi Al ‘Amal [31], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17]).
Sehingga belajar adab sangat penting bagi orang yang mau menuntut ilmu syar’i. Oleh karena itulah Imam Malik rahimahullah mengatakan:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Belajarlah adab sebelum belajar ilmu” (Hilyatul Auliya [6/330], dinukil dari Min Washaya Al Ulama liThalabatil Ilmi [17])
Rasul memuliakan ulama dan tidak menjelekkan atau merendahkannya. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit, Rasul bersabda, “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang lebih besar di antara ka mi, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR Ahmad dan Thabrani).
Ikrimah seorang tabi’in mengatakan, “Janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa menyakitinya, berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebab, kedudukan ulama se bagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti. Etika yang baik dalam mendebat ulama adalah mendebat dengan retorika yang diajarkan Allah.
Jika Rasul saja begitu memuliakan ulama, maka pantaskah yang mengaku umat Baginda Nabi Saw. tidak meneladaninya? Atau memang hanya mengaku-ngaku umat Nabi Saw. tapi perilaku tidak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Saw. Kami berlindung pada-Mu dari hal yang demikian.
Allahu A'lam Bi Ash Shawab.
Posting Komentar untuk "Ketika Persekusi Diapresiasi dalam Demokrasi"