Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilkada, Menggali Cluster Baru




Oleh : Elfia Prihastuti, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Member AMK)

Pemerintah berkukuh melaksanakan Pemilihan  Kepala Daerah (Pilkada) pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang. Selaku penyelenggara Pemilu KPU pun menyiapkan sejumlah hal, mengingat perhelatan Pilkada kali ini di tengah pandemi Covid-19. 

Sebagaimana dituturkan Komisioner KPU Ilham Saputra,  di antaranya akan disiapkan TPS khusus bagi pemilih yang memiliki suhu tubuh tinggi saat mencoblos. (Kumparan, 18/6/2020)

Melihat kondisi melesatnya jumlah kasus terpapar virus Covid-19 beberapa minggu terakhir ini membuat masyarakat khawatir. Virus Corona yang terbukti mengundang banyak kematian dan memorakporandakan perekonomian seharusnya membuat pemerintah berpikir ulang. 

Setidaknya itulah pemikiran yang mengemuka guna menekan laju penularan Covid-19 yang kian mengganas. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari dalam webinar yang dimoderatori Maruarar Sirait, merekomendasikan untuk menunda Pilkada. Waktu yang tersedia untuk melakukan revisi UU Pilkada dinilai tidak cukup guna melaksanakan syarat-syarat ketat. Seperti, membagikan masker ke seluruh Indonesia, merevisi UU untuk menghapus semua bentuk kampanye dengan kerumunan, kemudian sanksi calon kepala daerah yang membuat kerumunan. (Gantanews.co, 13/9/2020)

Gelaran Pilkada di tengah pandemi seperti bom waktu yang membuat ledakan jumlah terkonfirmasinya Covid-19. Sebab Pilkada sangat berpotensi menjadi cluster baru. Hal ini sama dengan menggali kuburan orang-orang terpaparnya virus Corona. Virus ini tak mengenal mangsanya. Siapapun bisa diterkam. Ketua KPU Arief Budiman pun tak luput dari serangan virus ini. (Detiknews.com 18/9/2020)

Namun apa mau dikata, tampaknya pemerintah tetap ngotot tidak akan menunda Pilkada. Meskipun aspirasi penundaan Pilkada sudah disampaikan. Alasannya, pertama, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, sampai kapan? Sampai kapan Covid-19 berhenti dan tidak lagi berbahaya? Toh, sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menanjak.

Sungguh tak dapat dipercaya, nyawa manusia tidak lebih penting dari nyawa kerusakan dan kezaliman demokrasi yang diperpanjang melalui Pilkada.

Inilah sistem demokrasi. Sejak lahir, aktivitas politik demokrasi bukanlah untuk melayani rakyatnya. Namun tertuju pada kepentingan materi semata demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Pilkada adalah salah satu mekanisme penting agar sistem ini bisa bertahan. Oleh karena itu, berbagai cara dan alasan akan digunakan agar pelaksanaan Pilkada tetap berjalan sekalipun mengancam kesehatan rakyat.

Padahal setiap Pemilu yang terjadi di sistem demokrasi melibatkan emosi massa yang sulit dikendalikan. Terutama bagi simpatisan yang fanatik terhadap calon yang akan dipilih di Pilkada. Maka jangan berharap mereka akan mudah diarahkan untuk mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan. 

Sejatinya ada mekanisme lebih sederhana tanpa perhelatan yang rumit dan tak mengundang bahaya serta menghabiskan dana besar. Itu hanya bisa terjadi saat sebuah negara menerapkan sistem Islam dalam bingkai khilafah.

Segala aktivitas bernegara dalam Islam senantiasa disandarkan pada aturan yang berasal dari Allah Swt. Termasuk urusan politik. Islam memandang politik sebagai upaya memelihara urusan rakyat berdasarkan ketentuan-ketentuan syara' yang rinci. Maka pemimpin dalam Islam diangkat dalam rangka menjalankan tugas sebagai pelayan dalam kepengurusan rakyat.

Pemilu juga menjadi uslub pemilihan pemimpin dalam sistem khilafah. Hanya saja dana yang dikeluarkan tidak sefantastis sistem demokrasi. Karena amat simpel dan sederhana. Melalui pemilu rakyat dapat memilih seorang kepala negara dan wakil mereka di Majelis Umat untuk menyampaikan aspirasi dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. 

Wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat Bupati) diangkat oleh khalifah. Sehingga tak perlu lagi ada Pilkada. Mereka dipilih didasarkan ketaatannya kepada syariat. Sehingga praktik rusak yang kerap terjadi pada sistem demokrasi seperti suap, money politik kesepakatan kotor saat berkuasa dapat terhindarkan.

Masa jabatan khalifah berlaku seumur hidup, kecuali ada pelanggaran yang dilakukan hingga diberhentikan dari jabatannya sebagai khalifah. Hal ini menyebabkan pemilihan khalifah tidak terjadi berulang-ulang. 

Metode khas dalam pengangkatan khalifah adalah baiat. Baiat merupakan aqad (kontrak politik) antara umat Islam atau wakil umat (Ahlul Halli Wal Aqdi) dengan calon khalifah. Baiat mengandung unsur komitmen yang harus dipenuhi baik oleh umat maupun kandidat khalifah. Bagi umat komitmennya adalah ketaatan pada khalifah yang dibaiat sedang bagi khalifah, ia harus selalu berpegang teguh pada syariat dalam pelaksanaan kepemimpinannya. 

Batas kekosongan kekuasaan negara atas pemimpin hanya boleh berlangsung selama 3 hari saja. Sehingga dalam waktu 3 hari harus sudah terpilih pemimpin. Oleh karena itu pelaksanaan  dilakukan secara simpel dan tidak rumit. Kondisi yang demikian memungkinkan hemat biaya. Begitu pula di masa pandemi seperti saat ini, tentu tak akan menjadi polemik panjang dan akhirnya tetap melaksanakan Pilkada dengan mengabaikan keselamatan masyarakat.


Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar untuk "Pilkada, Menggali Cluster Baru "

close