Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pro Kontra Pilkada di Tengah Wabah



 

Oleh: Tia Damayanti, M.Pd. (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)


Entah  apa yang ada dalam benak para elit penguasa negeri ini, di tengah kondisi wabah Covid-19 yang semakin parah, mereka ngotot menggelar Pilkada 2020. Sebagaimana dilansir beritasatu.com Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan untuk tetap menggelar pilkada serentak di 270 daerah, terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Pendaftaran pilkada dibuka 4-6 September 2020. Kemudian, 23 September 2020, penetapan paslon, dan 26 September-5 Desember 2020 ditetapkan sebagai masa kampanye.

Padahal, dalam Perppu No.2 Tahun 2020, pilkada serentak di 270 daerah dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang sedianya diselenggarakan 23 September 2020, ditunda hingga 9 Desember 2020 karena pandemi Covid-19. Anehnya 2 bulan menjelang pilkada, saat jumlah pasien corona meningkat tajam, bahkan beberapa daerah berencana kembali menerapkan PSBB, pemerintah bersikeras mengadakan pilkada. Terbukti ketika beberapa pihak mengusulkan penundaan pilkada hingga berakhirnya wabah, rezim menolak usulan tersebut. 

Desakan penundaan salah satunya dilontarkan oleh Anggota Dewan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang menyatakan jika pemerintah, KPU dan DPR tidak dapat memastikan protokol kesehatan dipenuhi dengan ketat, sebaiknya tahapan pilkada 2020 ditunda terlebih dahulu agar pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran Covid-19.

Katadata.co.id pada 13 september 2020, melansir pernyataan dari Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari yang memperingatkan risiko ledakan kasus Covid-19 jika pemerintah tidak menunda pelaksanaannya. Berdasarkan perhitungan model matematika, Qodari memperkirakan potensi orang tanpa gejala (OTG) yang bergabung dalam masa kampanye 71 hari mencapai 19,8 juta orang. Perhitungan ini berdasarkan asumsi kampanye tatap muka di 1.042.280 titik didatangi 100 orang per titik.

Sedangkan pada hari pencoblosan suara pada 9 Desember 2020, Qodari memperkirakan potensi OTG yang ikut bergabung dan menjadi agen penular Covid-19 mencapai lebih 15,6 juta orang. Angka tersebut berdasarkan asumsi tingkat partisipasi di 306 ribu titik TPS (tempat pemungutan suara) mencapai 77,5%, seperti yang ditargetkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Masih dari Beritasatu.com pada 16 September, Director Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyatakan, memaksakan pilkada tahun ini tidak hanya bertentangan dengan aspirasi publik, namun juga akan menjadi skandal bagi demokrasi karena berpotensi berubah menjadi ritual bunuh diri berjamaah yang justru dipelopori elite politik.

Menanggapi permintaan penundaan pilkada yang dijadwalkan 9 Desember 2020, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan penundaan pilkada hanya bisa dilakukan lewat UU atau perppu. Untuk UU, waktu sudah tidak memungkinkan, sedangkan untuk pembuatan perppu, belum tentu mendapatkan dukungan DPR. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengajukan perppu kepada pemerintah dan selanjutnya pemerintah meminta dukungan DPR. Jika DPR tidak setuju, penerbitan perppu tidak bermanfaat, karena akan dibatalkan pada masa persidangan berikut. Seakan merespon berbagai tuntutan penundaan pilkada, pemerintah dengan sigap akan segera membahas draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk penegakan pelanggaran protokol kesehatan pada Pilkada 2020. Nampaknya benar adanya, pemerintah begitu ngotot pilkada tetap digelar di tengah wabah. 

Beginilah dalam sistem demokrasi, aspirasi hanya sekadar aspirasi, keputusan mutlak ada di tangan penguasa. Maka wajar jika akhirnya aspirasi penundaan pilkada ditolak oleh penguasa karena logika demokrasi yang tak memikirkan nasib rakyat dalam hal kesehatan. Bahkan mengancam keselamatan rakyat, hal ini menampilkan bobroknya pilkada yang lahir dari rahim demokrasi. Menjadi wajar, karena dalam demokrasi politik bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Politik justru sebagai 'lahan bisnis" yang menjadi sumber kekayaan bagi individu atau kelompok, meskipun nyawa rakyat sebagai taruhannya. Karena itu, Pilkada hanya menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada. 

Maka perlu ada perubahan sistem politik yang diterapkan di negeri ini, sistem politik yang lebih manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat yakni Islam, yang berasal dari al Khaliq, Allah Swt. Islam memandang politik sebagai pemeliharaan urusan rakyat berdasarkan ketentuan hukum syara'. Seseorang dipilih oleh rakyat menjadi penguasa bukan untuk meraih kepentingan dirinya dan kelompoknya yang bersifat materi. Tapi sebagai penanggung jawab kepengurusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Sistem politik ini hanya terealisasi dalam institusi Khilafah Islam.

Khilafah meniscayakan adanya pemilu. Hanya saja biaya yang dibutuhkan sangat rendah. Pemilu diperuntukkan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendak rakyat dalam memimpin mereka sesuai Al Qur'an dan as Sunnah. Mereka (baca : rakyat) dapat memilih kepala negara dan wakil mereka di Majelis Umat melalui pemilu. Tugas Majelis Umat menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sedangkan kepala daerah, baik wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati) diangkat langsung oleh khalifah. Sehingga tidak dibutuhkan adanya pilkada. Sistem seperti ini sangat hemat biaya.

Penunjukan kepala Daerah yang diusulkan Wakil rakyat secara filosofis pemerintahan sangat logis. Dimana hanya Khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik Gubernur (Wali) maupun Kepala Daerah Kab/Kota (Amil). Hal ini didasarkan atas wajibnya mengangkat Khalifah dengan metode Bai'at. Selanjutnya Khalifah yang sudah dibai’at, mendapat Mandat dari rakyat untuk mengurus segala urusannya, bisa mengangkat orang lain untuk membantunya mengurus rakyat. Jadi ketika rakyat sudah menyerahkan kekuasaannya kepada Khalifah melalui Bai’at, maka hanya Khalifah yang berwenang mengangkat pembantunya. Termasuk mengangkat para kepala daerah. Namun, seorang wali juga bisa langsung diberhentikan oleh khalifah jika terdapat penyimpangan dan jika rakyat di suatu daerah itu melakukan pengaduan. Sebagaimana Rasulullah pernah memberhentikan Muaz Bin Jabal ketika menjadi wali di Aman karena adanya aduan dari rakyat. 

Islam pun  telah menetapkan batas maksimal kekosongan kekuasaan hanya selama 3 hari.  Dalil yang jelas adalah ijma' sahabat ketika memilih Abu Bakar As-Shiddiq sebagai pengganti Rasul saw. ketika beliau wafat. Hal inilah yang akan membatasi kampanye akbar yang panjang dan memakan biaya yang sangat besar. Teknis pemilihan dibuat sederhana sehingga dalam waktu 3 hari, pemilu telah selesai. Jikapun diadakan di tengah pandemi maka tidak akan menimbulkan mudharat yang mengancam keselamatan masyarakat.

Maka, mekanisme pemilihan khalifah dan kepala daerah dalam Islam adalah sebaik-baik acuan untuk sebuah sistem pemerintahan. Selain praktis, mekanismenya syar'i dan dengan biaya yang sangat murah. Sehingga tidak akan berujung pada pemborosan uang negara terlebih-lebih saat menghadapi musibah wabah corona.

Walhasil, pemilihan kepala daerah dalam sistem Khilafah jauh lebih efisien dan efektif. Ketika tuntunan Islam dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah itu diterapkan, tentu dalam kerangka sistem pemerintahan Islam, maka kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara, kemudharatan akan hilang, cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud serta keberkahan akan digelontorkan oleh Allah Swt. dari langit dan bumi atas penduduk negeri, tentu selama mereka menerapkan syariah-Nya secara kâffah.


Wallahua'lam bishshowwab.

Posting Komentar untuk "Pro Kontra Pilkada di Tengah Wabah"

close