Sense of Crisis Hilang, Memicu Nyawa Melayang


 


Oleh: Afiyah Rasyad

Pandemi virus corona masih merajai dunia. Namun sayang, masyarakat sudah tak sabar hidup normal layaknya virus itu tiada. Berbagai aktivitas masyarakat sudah mulai kembali seperti sedia kala. Sementara protokol kesehatan tak dijaga.

Di tengah kasus pisitif yang terus meningkat. Banyak gelaran acara yang dilaksanakan para pejabat. Hilang sudah sense of crisis terhadap kondisi rakyat. Kepentingan pribadi atau kelompok mendominasi dengan kuat.

Di masa pandemi ini, seharusnya masyarakat menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di kuar rumah. Masker harus senantiasa dipakai, cuci tangan pakai sabun harus sering dilakukan, menjaga jarak dan hindari kerumunan harus digalakkan agar memutus mata rantai penyebaran covid-19.

Penerapan Prokes harus muncul dari kesadaran. Namun meski kondisi pandemi, acara konser dangdut yang dihadiri ribuan warga di lapangan Tegal Selatan, Kota Tegal, Jawa Tengah, Rabu (23/09/2020) tetap diselenggarakan. Konsor tersebut justru menimbulkan keprihatinan publik.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pancasakti Tegak, Hamidah Abdurrachman menilai, pejabat yang menggelar pesta pernikahan dengan hiburan megah itu tidak memiliki kepekaan terhadap persoalan masyarakat (Kompas.com, 24/09/2020).

Ironi sekali, gelaran konser yang mendatangkan kerumunan masyarakat yang sudah tak sabar menjalani hidup normal, jelas mendatang mudhorot. Bukan tidak mungkin virus corona akan menyusup di antara lagu-lagu di konser dangdut itu. Terlebih lagi konser tersebut dilakukan pejabat yang seharusnya memberi keteladanan yang baik pada masyarakat untuk hindari kerumunan.

Sense of crisis di tengah masyarakat telah hilang, tak ayal masyarakat akan beraktivitas dan berkerumun tanpa perasaan was-was. Tentu saja virus corona tak perlu bersusah payah menyerang manusia. Walhasil, nyawa akan melayang sia-sia.

Individu masyarakat seharusnya senantiasa dibangun kesadaran dan kepekaannya akan wabah yang melanda, terlebih pejabat. Selain itu, edukasi menyeluruh dan sosialisasi Prokes terus menerus dilakukan jika memang harus beraktivitas di luar rumah. Empati pejabat dan penguasa harus lebih besar lagi saat negeri ini berselimut pandemi.

Sayang beribu sayang, sense of crisis yang hilang menunjukkan betapa menghujamnya dalih liberalisme dalam diri pejabat dan juga rakyat. Kapitalisme yang mengajarkan tatanan kebebasan sudah berhasil mencabut kepekaan sosial dan rasa kemanusiaan. Meski konser hanya sekali, bukan berarti virus sedang cuti.

Kapitalisme juga senantiasa mengarahkan individu masyarakat untuk menjadi masyarakat yang individualistik. Maka hilanglah muhasabah/koreksi dan kritik membangun dari masyarakat ke pejabat atau dari sesama pejabat. Senang-senang di atas penderitaan rakyat dan nakes yang positif sungguh sangat disayangkan.

Berbeda halnya dalam sistem Islam, empati dan rasa kemanusiaan akan senantiasa ada, terlebih saat wabah melanda. Suasana keimanan yang dijaga oleh kholifah akan membawa kepatuhan dengan penuh kerelaan pada individu rakyat. 

Kebijakan yang ditetapkan oleh kholifah untuk memutus mata rantai penyebaran adalah dengan karantina wilayah total sejak awal kedatangan wabah. Karantina yang dilakukan disertai dengan pemenuhan pokok tiap individu yang memadai. APD, Alkes, tim medis dan ahli akan disediakan dan dibiayai dengan memadai agar wabah segera teratasi. Sehingga masyarakat terdampak wabah akan tenang menjalani takdir di hadapan. 

Muhasabah dan nasehat akan berjalan jika ada penguasa, pejabat ataupun rakyat yang melanggar karantina dan protokol kesehatan yang diberlakukan. Polisi dan qodhi hisbah akan berpatroli untuk merazia rakyat yang melanggar aturan. Kholifah akan senantiasa memberi edukasi dan sosialisasi pada masyarakat untuk taat aturan yang diberlakukan. Selain itu, masyarakat dimotivasi untuk lebih mendekatkan diri pada Allah SWT dan siap menghadapi semua ketentuan Allah.


Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar untuk "Sense of Crisis Hilang, Memicu Nyawa Melayang"