Antara Jilbab dan Sepak bola di Inggris



Oleh: Ragil Rahayu, SE

Bicara tentang sepak bola, tentu tidak bisa dipisahkan dari negara Inggris. Apa kunci kesuksesan Inggris dalam olah raga ini? 

Salah satunya adalah regenerasi pemain. Inggris memiliki lebih dari 40.000 klub sepak bola. Hal ini menjadikan Inggris sebagai negara terbanyak yang mempunyai klub berpartisipasi.

Klub-klub profesional sepakbola Inggris seolah tak pernah kekurangan pemain berbakat. Calon pemain disupai dari klub-klub amatiran tingkat akar rumput. 

Klub-klub itu mempunyai tim sejak di bawah usia 7 tahun hingga 17 tahun. Ribuan klub yang ada ini kemudian mengelompok berdasar daerah dan membuat kompetisi mereka sendiri berdasar lapis umur. Banyaknya kompetisi amatiran ini memudahkan klub-klub profesional untuk memantau anak-anak berbakat (detik.com, 15/3/2013).

Proses regenerasi pemain sejak dini ini menjadikan sepakbola bagian penting dari kehidupan rakyat Inggris. Bahkan sepak bola adalah bagian dari budaya Inggris. 

Sejak kecil, anak-anak ini diarahkan untuk lihai menggocek bola. Bahkan menjadi pemain bola profesional adalah mimpi dari jutaan anak Inggris. 

Namun, tak ada satu pun tudingan negatif terhadap hal ini. Para orang tua di Inggris tidak dianggap memaksa anak bermain bola. Apakah anak-anak yang ikut klub bola itu memiliki pilihan atas apa yang mereka lakukan? 

Respons yang berbeda ditujukan pada pembiasaan jilbab. Wawancara DW Indonesia dengan seorang feminis menuduh adanya pemaksaan para orang tua terhadap anaknya untuk berjilbab. 

Dia mempertanyakan, "Apakah anak-anak yang dikenakan jilbab itu memiliki pilihan atas apa yang mereka kenakan?"

Para orang tua dituding akan menjadikan anak eksklusif karena memakaikan jilbab sejak kecil. 

Standar Ganda

Seandainya konsisten dengan tudingan terhadap jilbab ini, seharusnya semua orang tua di Inggris juga dituding sebagai "memaksakan kehendak".

Nyatanya tidak. Regenerasi pemain bola dianggap sebagai tindakan visioner, karena menabur benih "bintang dunia" sejak dini. Hal ini membawa maslahat bagi masa depan anak dan ekonomi negara. 

Sedangkan ketika para orang tua muslim membiasakan anak perempuannya berjilbab, dianggap sedang menyemai sikap eksklusif. 

Padahal, kewajiban berjilbab ditegaskan langsung oleh Sang Pencipta Manusia dan Seluruh Alam Semesta. Yakni kewajiban mengenakan khimar di QS An Nuur : 21 dan jilbab di QS Al Ahzab : 59. Banyak hadis Rasulullah Saw. juga menyerukan kewajiban menutup aurat. 

Maslahat berjilbab bukan hanya untuk masa depan dunia, tapi juga masa depan akhirat. Jilbab tidak sekadar mendukung ekonomi negara tapi menentukan corak peradaban manusia. 

Jika kita mau "berselancar" tentang pengaruh hijab di era khilafah, kita akan mendapatkan temuan yang mencengangkan. Di masa itu, menutup aurat adalah tren fashion dunia. 

Jilbab tidak hanya viral di Arab, timur tengah, Turki dan Mesir. Namun bangsawan Eropa, suku Indian di Amerika, para eonni Korea dan muslimah nusantara pun ikut tren menutup aurat ini. 

Ada di antara mereka yang muslim, ada juga yang tetap dalam kekafirannya. Jika kini ada hallyu wave, saat itu terjadi "jilbab wave".

Jilbab Memuliakan 

Demikian besar pengaruh hijab pada peradaban dunia. Wajar saja barat sebagai penguasa dunia saat ini berusaha untuk menyerang kewajiban ini. 

Berbagai tuduhan dialamatkan pada jilbab. Mulai dari puritan, pengekangan kebebasan hingga radikalisme. Barat seolah lupa, bahwa gaya fashion serba terbuka yang diusungnya telah mendikte perempuan untuk fokus pada ukuran tubuhnya. 

Sementara sejak ribuan tahun yang lalu, Islam telah membebaskan perempuan dari doktrin pandangan fisik. Dalam Islam, seorang muslimah menjadi mulia karena ketakwaannya, bukan ukuran tubuhnya. Muslimah dielu-elukan karena sumbangsihnya bagi umat, bukan karena lekuk auratnya. 

Lalu, di era yang katanya modern ini para muslimah didikte barat untuk kembali membuka auratnya. Semua atas dalih kebebasan. Sebuah dalih semu yang telah dikhianati sendiri oleh barat. Dalih ini mengungkap baper-nya Barat akan segera munculnya kebangkitan peradaban Islam. 

Kekhawatiran barat ini beralasan, karena di Eropa sendiri banyak warganya yang masuk Islam. Gelombang mualaf di Eropa menjadi bukti, bahwa perempuan di benua biru itu justru lebih nyaman dengan Islam dan syariat jilbabnya. Lantas, ketika kini di Indonesia ada feminis yang nyinyir pada jilbab, bukankah itu ketinggalan zaman? []

Posting Komentar untuk "Antara Jilbab dan Sepak bola di Inggris"