Momentum Maulid: Saatnya Meneladani Sistem Pendidikan Ala Nabi
Oleh: Rianti Kareem S.Pd.I (Praktisi Pendidikan)
Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tak hanya sekedar mengingat dan merayakan hari kelahiran Rasulullah. Namun lebih dari pada itu ialah bagaimana sikap kita terhadap segala hal yang Rasulullah perintahkan pada ummatnya.
Peringatan Maulid Nabi adalah momentum terbaik untuk meneladani Rasulullah dalam segala aspek kehidupan tak terkecuali dalam aspek pendidikan, momentum maulid bukan sekadar kegiatan seremonial dan rutinitas tahunan yang akan berlalu begitu saja tanpa memberikan perubahan sosial dan politik kepada umat Islam.
Momentum Peringatan Maulid Nabi Saw. hendaknya memberikan bekas dan pengaruh yang nyata dalam memperbaiki masyarakat menuju umat terbaik (khaira ummah) terkhusus dalam bidang pendidikan, sebab melalui pendidikan inilah yang akan membentuk generasi pewaris peradaban yang berakhlakul karimah sebagai wujud keteladanan terhadap Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah SWT:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (QS Al-Ahzab: 21).
Namun sayangnya dari tahun ke tahun momentum maulid nabi hanya menjadi seremonial belaka tanpa perubahan bermakna bagi kaum muslim, nampak jelas dari kondisi kaum muslim saat ini yang dilanda sejumlah persoalan berat dan kompleks.
Mulai dari aspek pemikiran, benak umat Islam masih dikuasai oleh paham sekularisme; paham yang menihilkan peran agama (Islam) dalam kehidupan.
Akibatnya, Islam hanya ada dalam tataran ritual dan spiritual belaka; sama persis dengan agama-agama lain. Praktis, dalam kehidupan umum (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dll.) ajaran dan hukum-hukum Islam tidak dipakai.
Kemudian secara hukum dan politik, saat ini yang diterapkan di negeri-negeri Islam, khususnya di negeri ini, bukanlah syariat Islam, tetapi hukum-hukum sekuler yang bahkan merupakan warisan penjajah, dibidang politik kaum muslim senantiasa menjadi bulan-bulanan negara kafir penjajah, bahkan Indonesia sendiri berada dalam cengkraman hegemoni AS VS China.
Sedangkan secara sosial, akibat penerapan hukum sekuler, negeri ini dilanda berbagai persoalan sosial yang sangat berat dan kompleks seperti membudayanya korupsi; maraknya perselingkuhan dan seks bebas dan penyimpangan sosial yang bahkan melibatkan para remaja usia sekolah; merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba; merajalelanya kasus kriminal lain seperti pencurian pembunuhan, bunuh diri; munculnya ragam konflik sosial dan upaya disintegrasi; dll.
Tidak berbeda dalam aspek pendidikan, kaum Muslim tertinggal jauh dari negara-negara adidaya, ditambah lagi dengan wabah Covid-19 semakin memperparah carut-marut dunia pendidikan, mulai dari kurikulum yang tidak jelas, masalah pembelajaran daring yang sulit akses internet, hingga sistem pembelajaran jarak jauh yang sudah memakan korban.
Seluruh permasalahan diatas merupakan akibat dari jauhnya ummat terhadap aturan-aturan yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw serta tidak diterapkannya syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) oleh negara.
Lantas bagaimana caranya meneladani Rasulullah terkhusus dalam aspek pendidikan?
Sistem pendidikan Islam pada masa Rasulullah SAW mempunyai tujuan membentuk pribadi anak didik agar dapat menjadi pribadi muslim yang baik di dalam kehidupannya sehingga ia mendapatkan kesejahteraan hidup.
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Sedangkan kurikulum pendidikan Islam secara struktural dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami; (2) penguasaan tsaqâfah Islam; (3) penguasaan ilmu kehidupan (PITEK, keahlian, dan keterampilan).
Kurikulum dibangun berlandaskan akidah Islam, sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya.
Sementara itu materi ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan cacat-celanya dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Dalam proses pendidikan, keberadaan peranan guru menjadi sangat penting; bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (transfer of knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan (uswah) yang baik (transfer of values).
Agar profesional, guru harus mendapatkan: (a) pengayaan guru dari sisi metodologi; (b) sarana dan prasarana yang memadai; (c) jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.
Tentunya meneladani Rasul dalam Aspek Pendidikan ini tidak akan bisa terlaksana tanpa ditopang oleh penerapan syariah islam secara kaffah (menyeluruh) oleh negara. Oleh sebab itu, kaum muslim terkhusus para praktisi pendidikan sudah selayaknya meneladani Rasulullah dan bersatu memperjuangkan penerapan syariah islam kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagai wujud cinta kita terhadap Nabi Muhammad SAW.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
*Dikutip dari berbagai sumber
1 komentar untuk "Momentum Maulid: Saatnya Meneladani Sistem Pendidikan Ala Nabi"