Darurat Kekerasan Anak, Butuh Solusi Mendasar
Oleh: Sitti Amina, S.Pd (Tenaga Pendidik dan Aktivis BMI Co Jambi)
Sebagian besar anak Indonesia dibeberapa daerah dihadapkan pada ancaman ganda saat pendemi covid 19 akan siap mengintai mereka kapanpun saat beraktivitas diluar rumah, namun berada didalam rumah belum tentu membuat mereka merasa aman. Belum genap 2020 berakhir kasus kekerasan pada anak kian meningkat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 3.000 kasus kekerasan terhadap anak terjadi dalam kurun waktu 5 bulan yaitu pada maret hingga agustus 2020. Menurut kepala divisi pengaduan KPAI Susiana Alfandy tantangan dimasa pendemi covid 19 bukan masalah kesehatan saja, tetapi berimplikasi kepada permasalahan ekonomi keluarga.
Sedikit berbeda dengan data yang dihimpun oleh sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (Simponi PPA) pada bulan januari hingga juli 2020 mereka mencatat sebanyak 1.100 anak mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis, 2556 menderita kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban eksploitasi, 73 anak menjadi korban perdagangan orang, dan 46 anak menjadi korban penelantaran.
Menanggapi hal itu dosen departemen ilmu keluarga dan Konsumen IPB Yulina Eva Riany mengatakan perubahan kondisi finansial keluarga akibat pandemi covid 19 akan semakin memperburuk tekanan psikologi pada keluarga yang berdampak fatal pada anak. Anak menjadi korban ledakan emosi orang tua sebagai pihak terdekat dan kecil kemungkinannya melakukan perlawanan balik. Penelitian menunjukkan mayoritas tidak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, tekanan sosial ekonomi yang rendah seperti terlilit hutang dan kemampuan ekonomi yang rendah menjadi penyebab stres pada orang tua (Antara, senin 19 oktober 2020).
Sebenarnya sebelum pendemi melanda kasus kekerasan anak di Indonesia sudah tinggi dalam laporan Global Report 2017 Ending Violence in Childhood mencatat 73,7 % anak Indonesia berusia 1-14 tahun mengalami kekerasan fisik di rumah sebagai upaya pendisplinan. Hal ini diprkuat data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat sebanyak 4.294 kasus kekerasan pada anak dilakukan oleh keluarga dan pengasuh. Semua angka kasus kekerasan pada anak tadi tidaklah cukup menggambarkan fakta yang sesungguhnya yang sangat mungkin jauh lebih tinggi, karena tidak semua korban mau melaporkan kekerasan pada pihak berwajib karena yang dilaporkan merupakan keluarganya sendiri.
Fenomena kekerasan pada anak masih saja kita dengar, lebih mirisnya lagi hal itu dilakukan oleh keluarganya sendiri. Ternyata kata jaminan negara bagi setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Dalam UUD 1945 pasal 28 B ayat 2 hanya aksesoris bernegara yang tiada guna, UU perlidungan anak pun tidak mampu menjadi payung hukum bagi anak. Kesenjangan dan kesempitan ekonomi akibat sistem ekonomi kapitalis hari ini membuat masyarakat kebingungan bagaimana bertahan hidup, apalagi disaat PHK besar-besar an karen pandemi. Kondisi ini membuka peluang besat eksploitasi anak seperti anak jalanan, anak mengemis, putus sekolah dan terlantar.
Semua ini karena pemerintah yang abai akan kesejahteraan rakyat dan memindahkan tanggung jawab kebutuhan dasar kepada tiap individu. Inilah gambaran pemerintah menjungjung tinggi kapitalisme. Mereka hanya memikirkan segala sesuatu demi materi. Pemerintah sibuk membangun insfrastruktur dan mencari investasi yang ujung-ujungnya bagaimana mereka, keluarga dan golongannya dapat layak hidup. Mereka enggan memenuhi kebutuhan rakyat secara cuma-cuma dan sukarela tanpa mengambil untung didalamnya. Maka wajar jika nasib anak dalam negara demokrasi kapitalis tidak akan pernah cerah dan menjadi generasi perubahan bangsa. Maka saatnya kembali kepada aturan islam yang mampu memberikan solusi sempurna.
Islam memiliki paradigma yang khas dalam penyelesaian kasus kekerasan dan kejahatan anak. Berikut ketentuan Islam terkait masalah tersebut:
Islam menangani masalah ini dengan penerapan aturan yagn integral dan komprehensif.
Pilar pelaksana aturan Islam adalah negara, masyarakat, dan individu/keluarga.
Tidak mungkin kita bisa menyelesaikan masalah kekerasan dan kejahatan anak jika yang melakukannya hanya individu atau keluarga. Negara memiliki beban sebagai pengayom, pelindung, dan benteng bagi keselamatan seluruh rakyatnya, demikian juga anak. Nasib anak menjadi kewajiban Negara untuk menjaminnya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yagn memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Negara adalah benteng sesungguhnya yang melindungi anak-anak dari kejahatan. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, melalui penerapan berbagai aturan. []
Posting Komentar untuk "Darurat Kekerasan Anak, Butuh Solusi Mendasar"