Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perlawanan Terhadap UU Ciptaker Digembosi, Masihkah Percaya pada Demokrasi?

 



Oleh: Ragil Rahayu, SE

Perlawanan terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) kian meredup. Salah satu pemohon uji materi UU Ciptaker mencabut gugatan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada kamis (12/11/2020).

Gugatan itu diajukan oleh Zakarias Horota, Agustinus R. Kambuaya, dan Elias Patege (cnnindonesia, 12/11/2020). Ketiganya berpandangan, UU Ciptaker telah merenggut hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebab UU ini mengurangi partisipasi publik dalam proses penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Melalui UU Cipta Kerja, penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup.

Padahal dalam Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur, Amdal disusun dengan melibatkan pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Menurut pemohon, UU Ciptaker juga menghapus ketentuan yang menyebutkan bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen Amdal.

UU Ciptaker juga dinilai mengkomersialisasikan pendidikan. Hal ini dilihat dari bunyi Pasal 65 Ayat (1) yang menyebut bahwa perizinan usaha tidak berlaku pada sektor pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus. Menurut pemohon, hal ini bisa diartikan komersialisasi pendidikan (kompas.com, 25/11/2020).

Demokrasi,  "PHP"

Perlawanan rakyat terhadap UU Ciptaker tidaklah mudah, ibarat jalan nan terjal penuh rintangan. Ironisnya, rintangan itu diletakkan sendiri oleh penguasa. Perjuangan rakyat digembosi. 

Disarikan dari tulisan Abdil Mughis Mudhoffir, di Indoprogress.com (13/10/2020), ada tiga strategi manipulasi yang dilakukan penguasa untuk menjegal perlawanan terhadap UU Ciptaker. 

Yang pertama, memanipulasi kesadaran publik dengan menciptakan disinformasi. Dengan disinformasi, publik akan kebingungan karena berhadapan dengan banyaknya ragam kebenaran. Disinformasi juga diciptakan agar publik hanya mengakui kebenaran versi penguasa. 

Yang kedua, mengerdilkan perlawanan publik dan gerakan sosial. Ini dilakukan dengan mendorong agar penyelesaian masalah dilakukan dengan menempuh jalur hukum.

Yang ketiga, mendorong agar pembatalan UU Cipta Kerja dilakukan dengan mendesak presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Padahal, belum ada preseden mengenai pembatalan undang-undang melalui Perppu.

Demokrasi memang menjanjikan mekanisme untuk menolak dan melawan UU zalim. Namun, kesempatan ini sekadar basa-basi pemanis birokrasi. Karena ternyata Mahkamah Konstitusi bermain mata dengan eksekutif, setelah disepakati "deal" berupa tambahan masa kerja hakim konstitusi. 

Trias Politika pun ambyar! Legislatif dan Yudikatif telah berselingkuh dengan eksekutif. Sehingga rakyat harus menanggung perihnya kebijakan zalim yang kian menjadi-jadi. 

Perlawanan rakyat pun makin redup karena kelelahan. Lelah psikis karena terus di-PHP oleh sistem demokrasi. Juga lelah fisik karena tuntutan perut yang tak bisa ditunda lagi, sementara upaya meminta keadilan tak kunjung menemui titik terang. 

Jelas, demokrasi adalah pemberi harapan palsu (PHP). Menjanjikan konstitusi yang manis, tapi ternyata bengis. Menjanjikan keterbukaan menerima aspirasi, ternyata hukum "dikekepin" sendiri.

Ketika demokrasi mengkhianati kredo-nya sendiri, apa artinya dia telah mati? Secata de jure, demokrasi memang masih tegak dan kokoh. Tapi secara de facto, demokrasi telah mati. 

Merancang Perubahan Hakiki

Sulitnya melawan UU Ciptaker yang zalim hendaknya bisa membuat kita introspeksi diri. Bahwa mengharapkan perubahan dalam sistem demokrasi adalah  musykil. Demokrasi telah menghambakan dirinya di ketiak korporasi. 

Apa pun yang diinginkan para kapitalis, demokrasi sigap merealisasi. Rakyat hanya diposisikan sebagai "backsound" untuk mengikuti orkestrasi para pemegang modal. 

Sudahlah, sakit raga dan hati rakyat jika terus menanti janji demokrasi. Cukup, cukup sudah sekian puluh tahun dizalimi di negeri sendiri. Kini saatnya bangkit dengan sistem Islam yang memberi bukti, bukan sekadar janji. 

Allah SWT telah menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang diridai. Allah SWT berfirman, 

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ 

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." (QS Ali Imran: 19) 

Konstitusi Islam terbukti selama berabad-abad menaungi umat manusia dalam keadilan dan kesejahteraan. 

Peneliti barat, Will Durant, mengatakan: “Para khalifah telah berhasil memberikan perlindungan yang ideal terhadap kehidupan dan tenaga kerja; senantiasa membuka peluang bagi setiap bakat; menciptakan kemakmuran selama tiga sampai enam abad di wilayah yang dulunya tidak begitu makmur; mendorong dan mendukung perkembangan pendidikan, sastra, sains, filsafat dan seni hingga membuat Asia Barat selama lima abad, menjadi wilayah paling beradab di dunia.” (The Story of Civilization, 4/227).

Demikianlah konstitusi Islam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat selama berabad-abad. Inilah sistem hidup dambaan. Mari kita perjuangkan. Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar untuk "Perlawanan Terhadap UU Ciptaker Digembosi, Masihkah Percaya pada Demokrasi? "

close