Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mirisnya Dunia Penerbangan Nasional





Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) 


Dunia penerbangan nasional kembali berduka. Pasalnya pada 9 Januari 2021 terjadi kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di Kepulauan Seribu. Pesawat tersebut membawa 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 bayi dan 12 kru.

Sebelumnya juga pernah terjadi kecelakaan besar pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018. Artinya selama 10 tahun terakhir dunia penerbangan nasional memakan korban 697 orang, termasuk pesawat pribadi maupun militer.

Tidak bisa dikatakan bahwa jumlah korban penerbangan nasional itu masih di peringkat 8 dunia. Sementara itu ada 7 negara yang dunia penerbangannya memakan korban jauh lebih banyak dibanding Indonesia. Padahal berapapun jumlah korban penerbangan, itu menyangkut nyawa manusia yang tidak bisa diremehkan. Jadi peristiwa kecelakaan penerbangan adalah sesuatu yang sangat miris.

Betul, kecelakaan dan kematian adalah takdir Allah SWT. Tugas manusia melakukan pengelolaan dengan sebaik-baiknya. Karena jangan sampai justru alat transportasi menjadi mesin-mesin pembunuh bagi warga negara. Dalam hal inilah perlu adanya evaluasi terhadap dunia penerbangan nasional. Jangan sampai insiden serupa terjadi lagi di masa yang akan datang. Begitu pula takdir itu diketahui setelah terjadi. Artinya faktor pengelolaan manusia memegang peranan penting. 

Menilik dari segi usianya, pesawat Sriwijaya Air SJ-182 ini sudah memasuki 26 tahun. Artinya lebih tua 6 tahun dari batasan maksimal usia pesawat niaga penumpang dalam Permenhub No.115 Tahun 2020 yang menetapkan 20 tahun. Sebelumnya batasan usia pesawat ditetapkan 15 tahun dalam Permenhub No. 155 Tahun 2016. Pertanyaannya kok bisa pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang melebihi batas usia diijinkan terbang? 

Menhub Budi Karya telah mengesahkan pencabutan aturan batas usia pesawat. Melalui Permenhub No 27/2020, tidak ada lagi aturan batas usia pesawat di Indonesia. 

Padahal faktor usia pesawat ikut menyumbang terjadinya kecelakaan pesawat, di samping faktor-faktor yang lain. Demi efisiensi pembiayaan lantas dengan mencabut aturan batas usia pesawat. Sungguh ironis. Nyawa warga negara pun menjadi korban kebijakan yang berbasis Kapitalisme. Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 adalah bukti kecerobohan aturan.

Menurut AP (Associated Press), penyebab kecelakaan pesawat itu merupakan kombinasi dari aspek ekonomi, sosial dan geografi. Lagi-lagi pertimbangan ekonomi menjadi hal yang mendasar dalam melihat fenomena kecelakaan penerbangan. 

Maraknya penerbangan LCC (Low Cost Carrier) untuk dalam negeri seringkali tanpa memperhitungkan aspek infrastruktur yang dimiliki oleh suatu daerah. Sebelum pandemi, tidak jarang pilot terpaksa harus menerbangkan armada pesawat yang sebenarnya tidak layak terbang. 

Belum lagi biaya perawatan pesawat yang mahal. Biaya maintenance pesawat tipe boing 737 sekitar 500 ribu US dollar. Sedangkan biaya overhaul pesawat bisa mencapai 2 hingga 3 juta US dollar. 

Di Indonesia sendiri, bengkel pesawat yang bersertifikat internasional hanya GMF (Garuda Maintenance Facility). Tentu tidak mengherankan bila sekitar 80 persen pesawat nasional dibawa ke bengkel luar negeri. 

Adapun keberadaan armada pesawat nasional, sebagian besarnya dari sewa. Maskapai harus membayar biaya sewa kepada para lessor. Di samping itu, para lessor menuntut maskapai untuk membawa pesawat sewa tersebut ke bengkel luar negeri dalam perawatannya. Jadinya semakin besar biaya yang ditanggung oleh maskapai.

Sebagai contoh, di tahun 2018, Maskapai Garuda harus membayar sewa Rp 733 milyar kepada Export Development Canada. Garuda juga membayar Rp 3,3 milyar untuk 46 unit pesawat yang disewanya dari Mitsuis Leasing Capital, dan IBJ Verena Finance sebesar Rp 7 milyar untuk 50 unit pesawat.

Apalagi di masa pandemi ini, Maskapai penerbangan nasional merugi hingga sekitar 113 milyar US dollar. Kebijakan yang diambil guna menekan biaya adalah dengan memotong gaji karyawan, mengurangi jumlah karyawan dan beberapa hal teknis lainnya.

Maskapai Sriwijaya Air sendiri di akhir 2019 mengakhiri kemitraan setahun dengan Garuda. Sriwijaya Air melakukan penerbangan independen. 

Bahkan sudah setahun lebih separuh dari armada Sriwijaya Air dikandangkan oleh Menteri Perhubungan. Belum lagi kebanyakan para pilot merasa terbang pertama kali setelah sebulan off. Para karyawan termasuk pilot merasa terpukul dengan kebijakan pemotongan gaji di masa pandemi.

Demikianlah potret penerbangan di era Kapitalisme. Keuangan menjadi pertimbangan utama. Bahkan sampai mengorbankan aspek keselamatan penerbangan.

Pandangan Islam

Keselamatan menjadi asas utama dalam penerbangan. Islam memandang bahwa membunuh satu nyawa sama dengan membunuh semua manusia. Sebaliknya menghidupkan satu nyawa manusia, seperti menghidupkan manusia semuanya. Bahkan Islam menempatkan nyawa seorang muslim dalam posisi yang mulia. Hancurnya dunia masih lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim tanpa hak.

Kebijakan penerbangan Islam akan menjadikan semua penerbangan dalam kondisi prima. Ini dilakukan demi memberikan jaminan keselamatan penerbangan. 

Industri pembuatan pesawat niaga penumpang dengan teknologi terbaru akan digalakkan. Negara akan memback-up pembiayaan seberapa pun besarnya. Bahkan dalam rangka revolusi industri, bila diperlukan, negara akan mendatangkan ahli dari luar negeri. 

Dalam pelaksanaan revolusi industri penerbangan ini, semua potensi akan dikerahkan. Para hartawan, ilmuwan, pengusaha dan lainnya di bawah koordinasi negara bekerja mewujudkan berhasilnya revolusi industri penerbangan. Termasuk negara akan mendirikan bengkel-bengkel dengan teknologi canggih. 

Dengan kata lain, industri penerbangan termasuk industri alat berat. Biaya yang dikeluarkan sangatlah besar. Oleh karena itu, negara yang akan menanganinya langsung. 

Negara yang akan langsung menangani industri penerbangan dan semua perangkatnya. Bahan bakar avtur itu diolah dari minyak bumi. Sedangkan minyak bumi itu termasuk bagian dari kepemilikan umum. Walhasil harga avtur sangatlah terjangkau, bila tidak bisa gratis. 

Maskapai penerbangan yang ada tidak merasa terbebani dengan berbagai biaya yang memberatkan. Dengan begitu para karyawannya betul-betul bisa bekerja dengan tenang dan profesional. 

Potret kebijakan demikian hanya bisa ditemukan dalam pengelolaan penerbangan berdasarkan Islam. Selanjutnya institusi al-Khilafah yang akan mewujudkannya dengan sebaik-baiknya. 


# 16 Januari 2021

Posting Komentar untuk "Mirisnya Dunia Penerbangan Nasional"

close