Sengkarut Perizinan Reklamasi Teluk Jakarta
Oleh: Anggun Permatasari
Polemik proyek reklamasi Teluk Jakarta belum juga selesai. Penimbunan laut menjadi daratan masih berlanjut. Protes yang disuarakan masyarakat tidak digubris. Bahkan, himbauan dan pendapat para ahli dianggap angin lalu.
Berdasarkan berita dari laman mahkamahagung.go.id, 10/12/2020, pada 26 November 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terkait izin reklamasi Pulau G. Dengan diketoknya keputusan ini, Pemprov DKI Jakarta harus mematuhi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta bernomor perkara 4/P/FP/2020/PTUN yang dikeluarkan 30 April lalu. Putusan itu menerbitkan perpanjangan izin reklamasi di pulau tersebut, yang dimohonkan PT. Muara Wisesa Samudera selaku pengembang, juga berstatus anak usaha PT. Agung Podomoro Land.
Publik sangat menyesalkan keputusan itu. Penolakan tersebut juga membuat koalisi Selamatkan Teluk Jakarta kecewa. Anggota dari Koalisi tersebut, Nelson Nikodemus mengatakan bahwa seharusnya Mahkamah Agung mempertimbangkan dampak buruk yang ditimbulkan reklamasi, terutama di Teluk Jakarta (Tempo.co, 11/12/2020).
Kebijakan gubernur melarang reklamasi dibuat berdasar kajian ahli. Menurut jurnal yang ditulis Alan. F. Koropitan, Koordinator Bidang Kajian Strategis, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Wakil Ketua (bidang Sains dan Kebijakan), Akademi Ilmuan Muda Indonesia (ALMI), reklamasi Teluk Jakarta menyebabkan sedimentasi dan pencemaran logam berat di sedimen dasar. Parahnya, terjadi konversi vegetasi menjadi daerah perkotaan sebesar 80% dalam kurun 1976‐2004. Selain itu, reklamasi pulau mengakibatkan sirkulasi arus di tengah teluk melemah dan menurunkan waktu retensi teluk dalam mencuci bahan pecemar yang masuk dari daratan.
Sungguh ironis. Padahal, permohonan peninjauan kembali yang diajukan Gubernur DKI Jakarta mengakomodir aspirasi rakyat, terutama masyarakat Pesisir Laut Jakarta. Nelayan mengeluhkan, pembangunan di Pesisir Laut Jakarta mengakibatkan pencemaran air laut. Sehingga, banyak ikan mati. Selain itu, reklamasi membuat nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapat tangkapan yang banyak.
Secara kronologis, awal sengketa perizinan reklamasi pulau G yang diajukan oleh PT. Muara Wisesa Samudera menggugat Anies karena tidak kunjung menerbitkan perpanjangan izin reklamasi Pulau G. Namun, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Tubagus Soleh Ahmadi menyatakan bahwa seharusnya lembaga peradilan melihat permasalahan reklamasi bukan hanya sebagai persoalan administrasi. Tetapi, lebih kepada kepentingan lingkungan hidup, sesuai dengan harapan warga Jakarta untuk pulihnya Teluk Jakarta (Republika.co.id, 14/12/2020)
Di sisi lain, kalau Pemprov DKI Jakarta benar-benar serius menghentikan reklamasi. Pemprov harus mengupayakan menghapus reklamasi dari kebijakan tata ruang. Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan bahwa Perpres Nomor 60 Tahun 2020 yang mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007. Muatan Perpres ini seharusnya ditujukan untuk penataan ruang darat pulau utama.
Sehingga, pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi menjadi tidak tepat. Karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil diatur dalam UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Seandainya dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam RZWP3K DKI Jakarta. Hanya saja, janji tidak melanjutkan Reklamasi merupakan salah satu program yang ditawarkan Anies Baswedan saat kampanye Pilkada. Oleh sebab itu, pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum.
Penyusunan tata ruang idealnya harus dijalankan berdasarkan asas kepentingan umum dan keberlanjutan. Contoh pulau G, izinnya pernah digugat di pengadilan. Menurut pertimbangan hakim menyatakan bahwa pulau G melanggar asas kepentingan umum dan bisa menyebabkan kerusakan lingkungan. Sesuai Surat Keputusan Izin Reklamasi Pulau G telah terbukti melanggar pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Izin reklamasi Pulau G melanggar prosedur formal dalam penerbitan izin lingkungan yang tidak melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan, tidak adanya penetapan wakil masyarakat dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengatakan Perpres Nomor 60 tahun 2020 itu harus dikritisi dan dibatalkan lantaran isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya pulau C, D, G, dan N. Menurut Susan, proyek tersebut diduga melanggar hukum, merusak sumber daya kelautan dan perikanan, serta merusak kehidupan lebih dari 25 ribu nelayan di Teluk Jakarta dan 3.500 nelayan di Kepulauan Seribu.
Keputusan Mahkamah Agung memperlihatkan betapa karut-marutnya sistem peradilan di negeri ini. Peninjauan kembali yang diajukan Gubernur melarang reklamasi dilakukan berdasarkan pengamatan dan pendapat ahli serta keluhan masyarakat. Namun, justru dibatalkan oleh lembaga yudikatif.
Padahal, ketentuan dan batasan-batasannya mengenai pemanfaatan wilayah pesisir sudah jelas diatur dalam Undang-Undang. Hal tersebut menunjukkan pembagian kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dalam sistem demokrasi saat ini tidak memberi solusi terhadap persoalan hukum. Lembaga yang diklaim untuk menghindari penyalahgunaan wewenang, justru menjadi salah satu jalan memastikan tercapainya kepentingan para korporat.
Sebenarnya hal itu lumrah dalam sistem demokrasi. Siapa memiliki kuasa dan modal yang cukup, dialah yang akan menang. Perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha marak terjadi untuk memuluskan kepentingan para komprador.
Tentu, peristiwa seperti itu tidak akan terjadi jika negara diatur dengan Islam. Aturan Islam menghasilkan mekanisme bernegara yang menjamin lahirnya kebijakan bebas kepentingan individu atau korporasi. Pemimpin dalam sistem Islam tidak anti kritik. Masukan dari rakyat diterima selama tidak melenceng dari Al Quran, assunnah, ijma dan qiyas.
Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah Saw. dan meminta diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul Saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).
Islam tidak hanya menjamin kesejahteraan manusia tapi juga melindungi kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem. Andai saja penguasa mau belajar dari sejarah bagaimana Islam menjalankan pemerintahan. In syaa Allah, tidak ada lagi rakyat yang dizalimi akibat kebijakan salah kaprah dan penyalahgunaan wewenang, wallahualam.
Posting Komentar untuk "Sengkarut Perizinan Reklamasi Teluk Jakarta"