Anak - Anak Palestina Mendapatkan Pelajaran Tentang Penderitaan Ketika Dunia Muslim Tidak Berani Melawan AS dan Israel!
Oleh: Ahmad Rizal (Direktur ELFIKRA)
Sejak Israel diklaim berdiri tahun 1948, pasukan Zionis telah meluluhlantakkan sejumlah desa di Palestina dan negara Arab tetangganya dengan berbagai tragedi pembunuhan. Yang terbaru dilakukan Israel adalah pembantaian anak-anak di Libanon dan Ghaza.
Jumlah yang gugur di kota Ghaza, sejak Israel melancarkan operasi menjelang Syawal 1442 H pasca penindasan terhadap warga Palestina di Masjidil Aqsa mencapai angka ratusan meninggal dan ribuan orang terluka karena efek ledakan bom yang mengenai manusia dan gedung-gedung.
Sementara itu, jumlah korban terluka di Ghaza kini masih terus bertambah, di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Jatuhnya korban dari kalangan anak-anak dan wanita jelas-jelas melanggar kesepakatan Jenewa nomor 53 dan 147 soal larangan keras membunuh warga sipil dan anak-anak dalam perang. Ironisnya, masyarakat dunia seolah gagap terhadap apa yang terjadi. PBB mandul, lumpuh dan tak berdaya menghadapi negeri kecil yang kedaulatannya pun masih dipertanyakan itu.
Dunia tidak pernah menggiring Israel ke mahkamah internasional sebagai penjahat perang. Terlebih karena adanya restu AS atas seluruh tindak biadab yang dilakukan Israel. Lalu dimana para pejuang hak asasi manusia yang paling lantang menyerukan perdamaian dan penghormatan atas kemanusiaan?
Dalam situasi konflik bersenjata, masyarakat sipil terutama anak-anak dan perempuan, merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban karena tidak memiliki senjata untuk membela diri dari serangan lawan. Akibatnya, mereka cenderung berada dalam situasi ketakutan, kebingungan dan ketidakmenentuan untuk mengakses informasi keamanan.
Anak-anak dan perempuan juga sering mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan, baik fisik, mental maupun seksual. Pada beberapa kasus, anak-anak dilibatkan sebagai utusan (messengers), juru masak (cooks), pengangkut barang (porters), mata-mata (spies), atau bahkan dilibatkan sebagai tentara anak (children soldiers). Hal ini tentu sangat membahayakan keselamatan mereka.
Padahal anak-anak adalah zona netral, bukan bagian dari permusuhan dan bukan ‘peserta’ perang dari pihak yang bertikai. Idealnya, keamanan dan perlindungan dari berbagai pihak menjadi prioritas utama bagi anak-anak.
Dari beberapa laporan, konflik bersenjata berdampak buruk dan permanen terhadap anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk anak-anak UNICEF dalam State of the World’s Children 1996 melaporkan, dalam periode 1985-1995 konflik bersenjata telah mengakibatkan dampak buruk dan permanen pada anak-anak. Melanie Gow dalam The Right to Peace-Children and Armed Conflict memaparkan 2 juta anak-anak terbunuh, 6 juta mengalami luka serius atau cacat permanen, 12 juta kehilangan rumah. Selain itu 1 juta anak menjadi yatim piatu atau terpisah dari orang tuanya, 10 juta menderita trauma psikologis yang serius sebagai dampak perang, 300 ribu anak menjadi serdadu.
Sekitar 90 persen korban perang adalah masyarakat sipil, utamanya anak dan perempuan. Separuh dari 21 juta pengungsi di seluruh dunia adalah anak-anak, dan setiap tahun antara 8.000 hingga 10.000 anak menjadi korban ranjau darat. Apalagi, dewasa ini perang menggunakan teknologi modern, sehingga risiko yang membayangi anak-anak semakin kuat.
Selain itu, perang dan konflik bersenjata membawa dampak buruk terhadap proses tumbuh kembang anak. Anak mengalami tekanan psikologis yang sangat berat. Dalam ketidakmengertian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung di sekitarnya, mereka dipaksa menyaksikan pembantaian dan kematian orangtua, saudara, tetangga dan orang terdekat lainnya. Bahkan, setiap saat mereka juga dapat merasakan jiwanya terancam. Dengan kerentanan fisik dan mental yang masih memerlukan perlindungan, mereka malah dibiarkan tumbuh dan ‘bersahabat’ dengan perasaan takut, cemas, curiga, dan kebencian yang dalam.
Dari rentetan kekerasan, pembantaian dan pengalaman buruk lainnya yang dialami anak akhirnya dapat menaburkan benih perilaku anarkis, curiga, kasar, tertutup (introvert), penuh dendam, atau agresif dan selalu ingin mencari musuh. Bahkan, dampak yang lebih buruk lagi, mereka memiliki perasaan ‘wajar’ meniru berbagai kekerasan dan sifat anarkis yang dilakukan militer. Dampak psikologis seperti itu jelas berbahaya bagi suatu bangsa, dibanding sekadar kerusakan fisik. Kerusakan infrstruktur bisa dibangun kembali 1-2 tahun kemudian, namun ‘kerusakan’ mental anak tidak bisa dipulihkan, bahkan sepanjang hayatnya. Padahal, di tangan merekalah masa depan dan identitas suatu bangsa ditentukan. Bagaimana jika pelajaran kekerasan yang terpaksa ia terima di waktu kecil menjadi bekalnya untuk memimpin bangsa tersebut kelak?
Posting Komentar untuk "Anak - Anak Palestina Mendapatkan Pelajaran Tentang Penderitaan Ketika Dunia Muslim Tidak Berani Melawan AS dan Israel!"