Utang Negara Tak Terkendali, Siapa Terbebani?



Oleh : Hanimatul Umah

Sebagian masyarakat pada umumnya mengatakan "Tidak semangat hidup jika tidak berutang," ketika kebutuhan seseorang melebihi dari pendapatan maka jalan yang ditempuh adalah melakukan pinjaman dikarenakan tidak adanya sumber pendapatan lainnya untuk menutupi kebutuhannya. Pun dapat dilakukan oleh Negara.

Utang artinya barang atau uang tunai yang dipinjam oleh seseorang dari orang lain. Ada dua pihak yaitu orang yang memberi utang (meminjamkan) dan pihak yang diberikan utang (mendapat pinjaman) dengan kesepakatan waktu tertentu untuk membayarnya.

Bicara mengenai utang, di masa pandemi membuat negara RI (Republik Indonesia) menempuh cara dengan menambah utang.

Perekonomian nyaris mandeg, keadaan ini diperparah dengan macetnya pendapatan negara dari berbagai sektor beriringan dengan krisis pandemi yang berkepanjangan. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan utang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan perekonomian dan masyarakat di masa pandemi covid 19, pasalnya APBN mengalami defisit, maka sumber keuangan tertutupi dengan salahsatunya melakukan utang.

APBN menanggung beban berat di antaranya anggaran belanja untuk penanganan kesehatan, pemberian bansos kepada masyarakat yang terdampak, bantuan kepada dunia usaha dan lainnya imbuh bendahara Negara tersebut, CNN.Indonesia (24/4/2021).

Sementara BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mengkhawatirkan kemampuan pemerintah dalam membayar utang karena peningkatan utang dan bungaya melampaui pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) selama pandemi ini dan penerimaan negara. Ratio debt service penerimaan negara berada pada level 46,77 persen, ini di atas ketentuan IMF 25-30 persen.

Menurut Didik J. Rachbini (Econom senior Institute for Development of Economic and Finance / Indef), bahwa utang Indonesia bukan hanya Rp 6.554,56 triliun seperti dilaporkan dalam APBN, melainkan utang BUMN yang dibebani tugas pembangunan infrastruktur Rp 2.000 triliun, maka total utang yang ditanggung negara Rp 8.000 triliun, CNN.Indonesia (24/6/2021).

Memang benar, untuk menangani kasus pandemi dibutuhkan biaya yang besar, seperti alat kesehatan, obat- obatan dan tenaga medis dan fasilitas lain yang menunjang pengobatan rakyat, dan menanggung lemahnya perekonomian dengan program bansos untuk rakyat, namun lagi- lagi rakyat tidak semuanya merata dapat merasakan keadilan dan nikmatnya mendapatkan bansos, kalaupun mereka mendapatkan itupun hanya untuk sesekali bertahan hidup. 

Pada dasarnya masyarakat jatuh bangun, mandiri dalam mengatasi musibah pandemi dengan ikhtiar dan tawakkal sepenuh hati. 

Sungguh ironis! Indonesia negara yang kaya potensi sumber daya alam dan melimpah ini harus mengalami penderitaan beban utang yang menggunung, dan ini diperparah bayar bunga utang yang sangat tinggi. "Gali lubang tutup lubang, pinjam uang bayar utang," inilah kalimat yang tak asing kita dengar, membayar utang dengan menambah utang untuk menutup bunga utang. Mengapa ini terjadi? Siapakah yang menanggung utang ini?

Beginilah nasib rakyat kecil dalam kubangan sistem kapitalisme, harus tertatih- tatih menanggung beban hidup sementara pandemi belum menunjukkan tanda selesai. 

Penanganan bidang kesehatan belum sempurna seluruhnya, bahkan tunggakan hotel yang menampung pasien covid belum terbayar, insentif nakes tersendat- sendat tak semua mulus dan ekonomi masih belum normal, pemerintah malah mengadakan anggaran 17,42 triliun untuk laptop merah putih.

Inilah karut marut kapitalisme dengan tanpa meninggalkan kepentingan korporasi di berbagai bidangnya.

Setiap pergantian pemimpin negara semakin menambah utang negara, dan mewariskan kepada pemimpin selanjutnya hingga entah sampai kapan, dan pahitnya negara terintervensi oleh piutang ( kreditur) sangat berpotensi untuk ikut campur urusan dalam negeri.

Hingga cengkeraman hegemoni Barat dan asing terjadi.

Utang Negara dalam Sistem Islam

Tidak seperti sistem sekarang, pembayarannya dalam jangka waktu tertentu dihitung sebagai bunga berjalan, jika lama debitur belum dapat melunasi utangnya maka harus membayar bunga hingga nilainya jauh lebih besar dari utang pokoknya, sedangkan Islam tidak mengenal riba dan mengharamkan ribawi.

Utang dalam Islam adalah kewajiban yang harus dibayar, maka pemimpin dalam Islam tidak sembarang berutang, apalagi utang yang memgandung riba.

"Hai orang- orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya mendapat keberuntungan (Qs. Ali Imron 130).

Dalam sistem Islam, negara memiliki kas yang dinamakan baitul mal yang berasal dari pos-pos penerimaan seperti fa'i, jizyah, zakat mal, khoroj, pajak yang hanya dipungut khusus orang kaya ketika kas negara sudah terpenuhi pajak dihentikan, mencakup harta yang dipungut dari kantor cukai di sepanjang perbatasan negara, dari harta waris bagi orang yang tidak memiliki ahli waris, sumber harta kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Kebutuhan primer rakyat harus dipenuhi seutuhnya oleh negara tak terkecuali kesehatan dan pendidikan. Negara dalam Islam tidak bekerja sama dengan korporasi seperti saat ini, dan memiliki wewenang kuat untuk mengatur dalam aturan sesuai syari'at Sang Pencipta, dengan ketaqwaan sepenuhnya, menjunjung tinggi aturan dengan Hukum Islam berstandar halal dan haram. Seperti pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tak satupun ada sebagai mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).

Negara juga memberikan dan mencarikan lapangan pekerjaan bagi warganya. Tidak seperti saat ini, pengangguran meraja lela, lapangan pekerjaan yang sempit sehingga beban negara terasa sangat parah.

Padahal Allah telah memberikan karunia di daratan dan di lautan untuk dikelola manusia sesuai garis yang Allah tunjukkan, apabila mau melakukan aturan secara totalitas tentu tidak akan terjadi kesulitan seperti ini.

Kesadaran ini hendaknya dimiliki bukan hanya masyarakat tetapi para pemangku jabatan.

Terbukti selama 1300 tahun Islam mengalami masa kejayaan dan bukan hanya sebuah agama tetapi ideologi yang mampu memecahkan dan mengatasi problematika kehidupan termasuk menyelesaikan utang negara.

Masihkah ragu dengan aturan dalam Islam?. 

Posting Komentar untuk "Utang Negara Tak Terkendali, Siapa Terbebani?"