Harga Mahal Demokratisasi
Oleh: Nurmilati (Sahabat Visi Muslim Media)
Pemilihan Umum presiden dan Legislatif serta pemungutan suara pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah disepakati akan diselenggarakan serentak pada Rabu, 28 Februari 2024 mendatang. Keputusan tersebut berdasarkan hasil rapat Komisi II DPR RI, pemerintah dan penyelenggara pemilihan umum pada Juli lalu. Kompas.com (7/6/2021)
Komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi menuturkan pihaknya mengusulkan anggaran sebanyak 80 triliun untuk mendanai penyelenggaraan Pemilu 2024, sedangkan untuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diusulkan sebesar 26,2 triliun. Sehingga total biaya yang diajukan untuk pesta demokrasi tersebut mencapai 112,2 triliun. BeritaSatu (13/9/2021).
Adapun rinciannya, 70 persen untuk honorarium panitia mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) sesuai dengan daerah yang bersangkutan, selain itu ada anggaran untuk pengadaan infrastruktur kantor baru senilai 3,4 triliun serta penyediaan mobilitas sekitar 287 miliar.
Menyoroti hal ini, Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin menyebut biaya Pemilu yang selalu meningkat merupakan perangkap dari sistem demokrasi liberal.
"Kedepannya dana Pemilu pasti makin membengkak, ini jebakan demokrasi liberal yang mesti dihindari. Saatnya kembali pada mekanisme demokrasi Pancasila yang lebih berkualitas dan ekonomis," tuturnya, BeritaSatu (19/9/2021).
Lebih lanjut Sultan memaparkan, Pemilu langsung hanya sebagai panggung adu kuat modal politik yang sumbernya dari sponsor dan oligarki. Namun, jika rendahnya kualitas Pemilu dan memicu konflik horizontal, maka justru pesta demokrasi hanya akan membawa kemunduran demokrasi itu sendiri.
"Jika Pemilu dibiayai dari utang, sungguh ironi. Dalam kondisi negeri yang masih terpuruk akibat Covid-19, seharusnya anggaran diprioritaskan untuk pembiayaan kesehatan, pendidikan dan upaya pemulihan perekonomian negara," Pungkasnya
Ciri Negara Demokrasi dan Beragam Permasalahannya
Para ahli sepakat dalam mendefinisikan demokrasi. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan suatu negara di mana rakyat diberi kewenangan untuk terlibat dalam setiap pembuatan hukum baik langsung maupun lewat perwakilan. Negara memberikan kebebasan kepada rakyat dalam menyampaikan pendapat. Adapun pelaksananya melalui para wakil rakyat yang terpilih dan rakyat percaya bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaannya. Selain itu ada pengakuan, penghargaan, perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara. Dan jika terdapat suatu proses perkembangan menuju keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, benarkah faktanya demikian,? mengingat Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, tapi gambaran tersebut tidak terealisasi.
Ya, apa yang disebutkan dalam negara demokrasi faktanya tidak terbukti baik di Indonesia maupun negara lainnya, hal ini terbukti dengan tidak adanya keberhasilan yang didapat dari sistem ini. Di Tanah Air, sebut saja dalam hal melibatkan warga negara dalam pengambilan keputusan politik, alih-alih rakyat diberi porsi untuk menentukan pilihannya, namun sebaliknya, rakyat dipaksa menerima kebijakan pemerintah tanpa diberi pilihan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi individu maupun kelompok yang didengungkan penganutnya justru membungkam suara dan memasung kepentingan rakyat. Contoh terbaru, ketika masyarakat menyampaikan aspirasinya lewat mural, negara menanggapinya secara represif dengan menghapus lukisan di dinding yang menurut penguasa tindak itu bagian mengkritisi kinerja pemerintah. Padahal jika diamati, fenomena kemunculan karya seni lengkap dengan tulisannya adalah salah satu bukti bahwa itu bentuk dari demokrasi itu sendiri. Lantas mengapa, tindakan tersebut harus dilarang oleh negara? Dari sini bisa dilihat, bahwa negara dengan sistem demokrasi nyatanya tidak sesuai dengan pengertian demokrasi yang sesungguhnya.
Sementara itu, pemilu merupakan salah satu alat demokrasi dan secara prinsip pelaksanaannya tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum. Di dalamnya ditegaskan pemilu dilakukan berdasar asas langsung, umum, bebas, adil, jujur dan rahasia. Namun, acapkali pemilu diwarnai dengan berbagai kecurangan, persoalan itu ada lantaran pemilihan umum maupun pemilihan Kepala Daerah memerlukan anggaran hingga mencapai triliunan. Maka tak ayal, untuk menyediakan pembiayaan tersebut dibutuhkan donatur untuk memfasilitasinya, sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak mampu menanggung biaya sebesar itu, walhasil pinjaman luar negeri menjadi alternatif, sedangkan utang berikut bunganya dibebankan kepada rakyat. Sementara para pemodal tentu berharap pengembalian uang yang telah dikeluarkannya dengan cara meminta jatah kursi di pemerintahan demi meraih kekuasaan. Alhasil politik transaksional terjadi di sana.
Dengan demikian, tidak bisa dinafikan penguasa yang dihasilkan adalah mereka yang punya andil dalam Pemilu bukan sosok pemimpin negarawan yang mampu menyelesaikan problematika pemerintahan dan rakyatnya. Begitulah demokrasi, senantiasa dilangkahi oleh kepentingan oligarki. Sehingga inti bisnis dari demokrasi adalah politik uang dan korupsi sesuai tujuan para oligarki. Kondisi demikian menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, konsep demokrasi akhirnya menjadi permainan kekuasaan demi melanggengkan kekuasaannya. Siapa yang kuat, dia yang menang dan berkuasa sedangkan yang lemah akan terdepak. Maka demokrasi bergantung pada kekuatan uang dan modal, jika demikian negara akan hancur.
Begitulah negara dengan sistem demokrasi, tidak pernah sepi dari beragam persoalan yang menyertainya, biaya fantastis tidak menjamin bisa menghasilkan kebijakan yang berpihak terhadap rakyat tapi malah demi kepentingan kaum kapitalis yang mendanai pesta demokrasi tersebut dan hal itu tidak berbeda antara demokrasi versi dunia maupun Pancasila. Sejarah demokrasi selalu menceritakan kesengsaraan rakyat yang menjadi korban. Dengan demikian, demokrasi merupakan sistem rusak dan merusak yang harus diganti dengan aturan yang memberikan keberkahan untuk seluruh warga negara.
Sistem Paripurna Pengganti Demokrasi
Islam adalah solusi yang menjawab berbagai persoalan pemerintahan dengan hukum-hukumnya yang berbeda dengan demokrasi. Islam menentukan metode pengangkatan yang harus dilaksanakan untuk mengangkat kepala negara. Metode itu adalah baiat yang ditetapkan melalui al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Dengan demikian pengangkatan Khalifah dilakukan dengan baiat kaum Muslim dan memberikan wewenang mutlak kepada pemimpin yang terpilih oleh rakyat secara ikhlas untuk melaksanakan hukum syara. Selain itu Islam mempunyai sistem politik yang unggul. Proses dalam pemilihan kepala negara tidak membutuhkan waktu begitu lama dan tidak memerlukan biaya luar biasa lantaran Islam menjamin keimanan, kemampuan dan kapabilitas penguasanya, sebab mereka memimpin berdasarkan tuntutan hukum syariah.
Dengan demikian, sudah terbukti demokratisasi memberikan dampak sangat buruk kepada kaum Muslim baik ekonomi, politik, sosial, keamanan bahkan keyakinan. Orientasi politik ekonomi keduniaan semata yang diajarkan oleh ideologi demokrasi telah mengabaikan tujuan akhirat sehingga yang terjadi kerusakan di berbagai lini kehidupan. Jika demikian, masihkah kita berharap kepada demokrasi buatan manusia dan melupakan sistem paripurna dari Allah Swt?
Posting Komentar untuk "Harga Mahal Demokratisasi"