Konten Media Masif, Mengapa Semakin Ngeri
Oleh: Azrina Fauziah (Pegiat Literasi Komunitas Pena Langit)
Pasca pandemi menyerang dunia, interaksi yang biasa dilakukan dengan kegiatan fisik kini beralih ke dunia maya. Kondisi ini pun menjadikan masyarakat semakin sering menggunakan internet. Alih-alih aman dari kejahatan, ternyata penggunaan internet memiliki dampak negatif dari beberapa konten yang dikonsumsi publik.
Terkait hal tersebut, Menkominfo Jhonny G. Plate menyampaikan bahwa Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung hampir dua tahun, telah memunculkan seluruh aktivitas manusia bermigrasi. Dari interaksi secara fisik menjadi media komunikasi daring. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konten negatif di ruang digital. Maka ia kemudian melakukan tiga pendekatan untuk meredam sebaran konten negatif di internet yaitu di tingkat hulu, menengah, dan hilir. Untuk hulu contohnya, Kominfo telah menggandeng 108 komunitas, akademisi, lembaga pemerintah, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memberikan literasi digital ke masyarakat.
Dikutip dari viva.co.id, Kemenkominfo telah menghapus berbagai konten seperti 214 kasus konten pornografi anak, 22.103 konten terorisme, 1.895 kasus konten misinformasi COVID-19, serta 319 konten misinformasi vaksin COVID-19. Namun sayang dibalik pengakuan tersebut masih banyak konten negatif yang lain terus bermunculan.
Langkah penanganan pemerintah dalam mengatasi konten negatif tentu tak sepenuhnya salah. Namun selayaknya pemberantasan konten negatif tak hanya berfokus kepada penghapusan dan memblokir situs web semata. Melainkan fokus kepada akar masalah mengapa konten negatif itu masif dihasilkan?
Ini tidak lain adalah buah dari kebebasan berekspresi yang digaungkan oleh sistem pemerintahan sekuler. Sistem sekuler demokrasi menjamin empat kebebasan yakni kebebasan berpendapat, beragama, berkepemilikan dan kebebasan berekspresi. Efeknya setiap individu bebas membuat konten yang menurut mereka itu sah-sah saja dipublish. Bahkan jika itu melanggar nilai moral dan agama akan tetap dilanjutkan sebab menghasilkan pundi-pundi uang bagi kantong mereka. Selain itu sistem sanksi disistem pemerintahan sekuler tidak mudah menjerat para pembuat konten negatif. Alhasil konten negatif terus bermunculan dan mudah kita temui. Sehingga solusi yang ditawarkan pemerintah sesungguhnya telah gagal melindungi warganya dari paparan konten negatif. Negara seharusnya membutuh solusi yang lebih handal untuk dapat menghentikan penyebaran konten negatif secara total.
Islam sebagai dien sekaligus sistem aturan kehidupan memandang bahwa antisipasi konten negatif dapat dilakukan melalui penanaman aqidah mendasar yakni dengan ketakwaan. Islam medorong penggunaan media teknologi hanya untuk mempermudah aktivitas manusia dalam hal kebaikan seperti memberikan informasi yang benar bukan gosip apalagi konten pornografi. Islam juga memfilter konten-konten yang akan dikonsumsi publik, hanya konten positif yang bisa diakses. lalu bagi siapa saja yang memposting konten negatif seperti konten syirik yang mendangkalkan aqidah umat maka akan ada sanksi tegas yang akan diberikan.
Dalam Islam, media teknologi memiliki peran yang strategis dalam memberikan informasi dan edukasi secara cepat kepada umat. Ia berperan menyebarkan syiar Islam untuk menunjukkan keagungan Islam dan membongkar kebobrokan ideologi kufur. Hal demikian berbeda dengan sistem sekuler demokrasi yang menjadikan media sebagai alat untuk mengumpulkan keuntungan, merusak moral generasi manusia dan mesin penghancur Islam . Maka jika ingin menghentikan penyebaran konten negatif tak ada cara lain selain umat Islam menggantinya dengan solusi yang ditawarkan oleh sistem Islam itu sendiri. Waallahu ’alam
Posting Komentar untuk "Konten Media Masif, Mengapa Semakin Ngeri "