Mahasiswa UNS Ditangkap Saat Kunker Presiden. Bukti Negara Represif dan Anti Kritik?
Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Pada tanggal 13 September 2021, polisi menangkap 10 mahasiswa UNS. Pasalnya mahasiswa membentangkan poster berisi kritikan terhadap pemerintah. Hari itu juga Presiden Jokowi sedang melakukan kunker (kunjungan kerja) di Solo.
Dari pihak polisi menjelaskan alasan penangkapan dilakukan. Ke-10 mahasiswa tersebut dianggap menyalahi prosedur penyampaian pendapat di muka umum. Polisi mengklaim tidak ada pemberitahuan sebelumnya atas aksi ke-10 mahasiswa tersebut. Di samping itu polisi beralasan bahwa kerumunan demo mahasiswa itu berpotensi menularkan Covid-19. Walaupun akhirnya polisi membebaskan ke-10 mahasiswa UNS tersebut.
Akan tetapi penangkapan polisi tersebut telah menambah kuat kesan publik bahwa lembaga kepolisian saat ini hanya menjadi alat kekuasaan. Mestinya kepolisian menjadi lembaga pengayom masyarakat dan penjaga keamanan dalam negeri. Tentunya tidak bijak bila dikatakan kunker Jokowi memang berpotensi menjadi kluster baru penyebaran Covid karena bisa menimbulkan kerumunan. Sedangkan demo mahasiswa lebih besar potensinya menjadi kluster penyebaran Covid-19. Kalau memang ini alasan penangkapan, tentunya ditunda saja kunker presiden.
Penangkapan mahasiswa yang memberikan kritik kepada presiden merupakan bentuk pengekangan atas ruang publik. Adanya penghapusan mural yang berisi kritik, termasuk menghindarnya presiden saat ditemui rakyatnya dalam aksi bela Islam 411, menjadi tanda mandulnya kontrol masyarakat atas pemerintahan. Semua bentuk kritikan diawasi dan diancam dengan UU ITE. Sosial media diawasi. Kebebasan berpendapat yang diagungkan dalam pemerintahan demokrasi justru diciderai oleh para penyelenggara negara.
Dalam implementasi pengawasan, alat yang dipakai kekuasaan adalah kepolisian. Padahal reformasi kepolisian telah digulirkan. Polisi sudah dipisahkan dari TNI. Hanya saja dalam perjalanannya, reformasi kepolisian mengalami kemunduran.
Faktor kemunduran reformasi kepolisian berpangkal pada 3 hal utama. Ketiga hal tersebut adalah terseretnya kepolisian dalam politik praktis, imunitas pada anggota kepolisian atas nama hukum, dan sikap represif kepolisian.
Faktor potensi terseretnya polisi dalam politik praktis sulit dielakkan. Sebagai contoh, pernyataan Jenderal Tito Karnavian mengenai kasus kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Saat itu, Jenderal Tito mensinyalir ada kelompok yang menggunakan isu Rohingya untuk menyerang pemerintahan Jokowi. Jadi Jenderal Tito Karnavian saat menjadi kapolri menempatkan dirinya seperti seorang pengamat politik.
Begitu pula waktu terjadi aksi demo hasil pemilu 2019, polisi jelas terseret kepentingan politik mendukung salah satu kontestan pemilu. Bahkan hal demikian terlihat menjelang Pemilu 2019. Waktu itu masyarakat terbelah menjadi kelompok kecebong dan kampret. Polisi dengan sigap melakukan penangkapan terhadap mereka yang membuat tulisan "2019, Ganti Presiden".
Ini sebagian contoh polisi nimbrung dalam politik praktis. Adapun faktor imunitas anggota kepolisian menjadi legalitas melakukan tindakan represif. Dengan alibi demi menjaga hukum, polisi terlibat sejumlah kasus kekerasan. Menurut catatan Kontras, ada 651 tindakan represif polisi sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021. 399 kasus di polres, 135 kasus di Polda dan 117 kasus di Polsek. Artinya kekerasan aparat kepolisian meningkat 54 persen sepanjang 2020.
Dari 651 kasus tersebut, ada 390 kasus penembakan oleh polisi. Kasus penangkapan ada 75 kasus dan 66 kasus penganiayaan. Polisi melakukan pembubaran paksa sebanyak 58 kali dan kasus lainnya.
Mestinya anggota kepolisian yang melakukan tindakan represif mendapatkan sangsi. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang sangsi disiplin, etika dan pidana bagi anggota polisi yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi yang terjadi adalah kepolisian seolah memiliki imunitas hukum.
Dari paparan di atas jelas terlihat bahwa penguasa yang establish adalah anti kritik bahkan cenderung represif. Kecenderungan mengamankan kekuasaannya lebih menonjol. Indikasi yang paling kuat adalah terus bergulirnya wacana Radikalisme dan Terorisme. Apalagi dalam menanganinya digawangi oleh BPIP. Sedangkan Kemenag dijadikan alat untuk menjadikan umat Islam Indonesia agar lebih terbuka terhadap modernisasi pemikiran dari dunia barat. Program moderasi beragama (baca Islam) menjadi unggulan guna mewujudkannya. Padahal jika mau jujur, apakah dengan memerangi Radikalisme, Terorisme, dan intoleransi, maka bangsa Indonesia bisa maju dan terlepas dari kemiskinan? Apakah dengan wacana radikalisme maupun terorisme, Indonesia bisa terbebas dari penjajahan di semua sektor kehidupan?
Faktanya yang menjadi masalah mendasar keterpurukan negeri ini bukanlah paham radikalisme ataupun aksi terorisme. Utang luar negeri yang menumpuk, angka kemiskinan yang sangat tinggi, pengerukan kekayaan alam oleh korporasi, keterpurukan ekonomi dan lainnya adalah masalah nyata yang membelit bangsa dan negeri Indonesia. Artinya, telah terjadi kesalahan paradigma antara persoalan yang terjadi dengan upaya menyelesaikannya.
Maka sudah menjadi jelas bahwa persoalan yang membelit Indonesia bukanlah paham radikalisme maupun terorisme. Oleh karena itu seharusnya pemerintah bisa lebih mendengar suara jeritan rakyat. Kritikan rakyat atas berbagai persoalan hidup yang terjadi, tidak ada yang mengulas paham radikal ataupun aksi terorisme. Ataukah sikap resistensinya pemerintah terhadap berbagai persoalan bangsa adalah bentuk lepas tangannya pemerintah dari tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Pandangan Islam
Penguasa di dalam Islam adalah pelayan bagi rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab atas kesejahteraan lahir maupun batin rakyatnya. Penguasa menyadari bahwa mereka adalah pihak yang bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyatnya. Setiap kedholiman yang diperbuatnya akan menjadi penyesalan baginya di sisi Allah swt.
Dengan pola berpikir sedemikian, penguasa tidak akan melihat kritikan dan masukan rakyatnya sebagai ancaman bagi kekuasaannya. Mereka menyadari bahwa rakyat itu sebagai pemilik kekuasaan. Rakyat melakukan koreksi demi lurusnya riayah penguasa dan penerapan Islam di dalam pemerintahannya.
Penguasa yang dholim kepada rakyatnya hanya akan menuai kebencian dari rakyatnya. Bahkan Rasul saw mendoakan atas pemimpin yang dholim agar Allah swt menyempitkan hidup mereka. Tentunya doa Rasul saw menjadi tanda akan larangan bagi umat mengangkat penguasa yang dholim, apalagi mereka cenderung dan mendukung kedholiman penguasa.
Sedangkan aparat kepolisian bukanlah alat untuk melanggengkan kekuasaan. Islam telah menempatkan kepolisian sebagai alat untuk menjaga keamanan dalam negeri. Secara struktural, lembaga kepolisian berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Sedangkan dari aspek teknis, lembaga kepolisian membantu penguasa dalam menjaga keamanan. Mengenai faktor-faktor yang mengganggu keamanan dalam negeri telah diatur oleh Islam baik dari segi gangguan maupun sangsinya. Jadi wewenang kepolisian tidak mengikuti interes politik. Dengan begitu, lembaga kepolisian akan bersih dari potensi penyalahgunaan kewenangannya.
Demikianlah arahan Islam dalam menjaga keharmonisan antara para penguasa dengan rakyatnya. Pihak kepolisian betul-betul murni bertugas dalam menjaga keharmonisan hidup berbangsa dan bermasyarakat. []
Posting Komentar untuk "Mahasiswa UNS Ditangkap Saat Kunker Presiden. Bukti Negara Represif dan Anti Kritik? "