Muslim Uyghur Tidak Butuh Kecaman Internasional, Tapi Khilafah!
Oleh: Ummu Rufaida ALB (Pegiat Literasi dan Sahabat Visi Muslim Media)
Bisu. Sekadar memberi kecaman pun tidak, Indonesia menempuh cara lain untuk menunjukkan rasa prihatin terhadap etnis muslim Uighur, yaitu dengan upaya pelaporan instrumen-instrumen HAM (Universal Periodic Review). Seperti yang disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri: "Indonesia menyampaikan melalui mekanisme seperti Universal Periodic Review atau pelaporan instrumen-instrumen HAM," tegas Teuku Faizasyah. (Merdeka.com, 24/10/2021)
Padahal dunia internasional sudah melakukan kecaman atas tindakan keras pemerintah Cina tersebut. PBB juga memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uighur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut Cina sejak 2017.
Mirisnya, bukan hanya Indonesia yang bungkam, negeri-negeri muslim lainnya nyaris tak juga bersuara. Termasuk diantaranya Kuba, Kuwait, Saudi Arabia, Rusia, Maladewa, Maroko, Ghana dan Pakistan. Menurut para pengamat, pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri menjadi kesamaan motif dibalik kebisuan mereka.
Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi Cina dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim. "Kita menghadapai salah satu negara paling kuat di dunia," kata Dr Clarke. (Kompas.com, 24/12/2018).
Ya, lagi-lagi karena pertimbangan ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia. Akhirnya pemerintah tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain. Pemerintah memilih menutup mata atas kezaliman yang menimpa saudaranya sendiri, sesama muslim. Sungguh sangat egois, disaat 43 negara, yang mayoritas adalah negara Eropa dan Amerika Utara, mengecam tindakan ini, pada Sidang Komite III Majelis Umum ke-76 PBB di New York, 21/10/2021. (Merdeka.com, 24/10/2021).
Tentu harus diakui bahwa Cina telah menjadi negara yang dukungannya begitu besar terhadap pembangunan ekonomi negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Investasi Cina di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005—2018 saja telah mencapai AU$144,8 miliar. Di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$121,6 miliar. (Tempo, 2018). Inilah yang membuat negeri-negeri muslim mati rasa atas perilaku sadis Cina pada Uighur.
Sungguh, sikap penolakan untuk membantu saudara sesama muslim adalah pengkhianatan nyata yang diharamkan dalam Islam. Bagaimana mungkin Ia rela membiarkan saudaranya terjajah, sementara Ia mampu memberi pertolongan serta perlindungan. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaan kaum muslimin dalam urusan kasih sayang dan tolong-menolong bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh badan hingga tidak dapat tidur dan (merasa) panas.” (HR Bukhari Muslim).
Jika kecaman saja tidak keluar, bagaimana mungkin pembelaan yang lebih besar akan diupayakan. Tentu pelaporan terhadap tindakan pelanggaran HAM bukanlah pembelaan nyata. Sebab, jamak diketahui HAM lahir dari rahim kapitalisme sekular serta memiliki standar ganda yang sangat tidak berpihak pada kaum muslim. HAM hanyalah salah satu alat untuk terus melanggengkan hegemoni negara adidaya atas negeri-negeri muslim.
Lihatlah apa yang menimpa muslim Palestina. Meski seluruh dunia bersuara mengecam Israel atas pelanggaran HAM terhadap Palestina, nyatanya tidak lantas menghentikan penyerangan Israel. Pun yang terjadi pada muslim Uighur. Meski Amerika dan sekutunya mengecam serta menyebutnya sebagai genosida dan pelanggaran HAM terberat, pada saat yang sama Amerika tetap terus melakukan hal serupa pada negeri muslim lainnya.
Maka, sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, seharusnya Indonesia bersuara lantang membela hak-hak muslim Uighur. Bukan hanya kecaman, akan tetapi harus ada pembelaan nyata sesuai ajaran Islam, yakni memutus hubungan politik dan ekonomi dengan Cina, negara komunis.
Selanjutnya, hendaknya Indonesia mengirimkan pasukan untuk menolong dan membebaskan muslim Uighur yang tengah berjuang melawan penjajahan di tanahnya sendiri. Lantas, mampukah Indonesia melakukan hal tersebut? Tentu saja tidak bisa, sebab Indonesia masih menerapkan sistem politik demokrasi sekular, yang sarat kepentingan.
Solusi ini hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam, yang asasnya bersumber dari Al-quran dan Assunnah. Yang kedigdayaannya terukir dalam tinta sejarah selama hampir 13 abad. Karenanya, perwujudan untuk membela kaum muslim yang terjajah adalah dengan melakukan upaya perjuangan menerapkan syariah Islam dalam naungan khilafah. Wallahu a'lam. []
Posting Komentar untuk "Muslim Uyghur Tidak Butuh Kecaman Internasional, Tapi Khilafah!"