Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bukan Salah Hujan tapi Kapitalisme





Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd (Sahabat Visi Muslim Media)


Sudah jadi pemandangan yang lumrah di setiap musim penghujan akan hadir bencana banjir. Baik itu level banjir semata kaki hingga banjir bandang di berbagai belahan Indonesia. Termasuk yang terjadi kini, beberapa bagian Indonesia sudah merasakan bencana rendaman air ini. Salahkah hujan yang turun? 

Alih Fungsi Lahan

"Baru pertama kali semenjak saya hidup di Batu. " 

Begitu ujar seorang teman yang sejak kecil tinggal di Batu, Malang, dan kemarin adalah kali pertama ia merasakan banjir bandang yang luar biasa. Dilansir dari laman kompas (9/11/2021), banjir bandang di Kota Batu terjadi pada Kamis (4/11/2021) sekitar pukul 15.15 WIB dan mengakibatkan 7 orang tewas, puluhan rumah terendam lumpur dan puluhan kendaraan rusak.

Tak hanya Batu, Kabupaten Sintang, Malawi, Sanggau, dan Sekadau, di Kalimantan Barat pun ikut merasakan banjir hingga saat ini. Dilansir dari laman BBC (12/11/2021) menurut data BNPB, banjir menggenangi di 12 kecamatan. Sebanyak 140.468 jiwa terdampak banjir dan dua warga dilaporkan meninggal dunia. Tiga pekan belum surut, banjir masih setinggi leher. 

Tak hanya Batu dan Kalimantan Barat, wilayah lain Indonesia pun tak luput dari bencana banjir. Kerusakan bangunan, jalan, hingga korban berjatuhan akibat banjir yang terjadi. Bukan karena hujan yang turun semua ini hadir. Tapi ketamakan manusialah biang keladi. 

Hutan tropis yang dibanggakan bumi pertiwi kini terkikis habis. Alih fungsi kawasan hutan di Kalimantan Barat 'secara masif dan berlebihan' untuk kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan, mengancam keselamatan manusia dari potensi bencana ekologis.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jumlah luas kawasan hutan produksi untuk investasi di Kalimantan Barat (Kalbar) mencapai 12 juta hektare, dari total wilayah 14,7 juta hektare, meningkat lebih dari 100% dibandingkan rencana tata ruang hutan produksi sebesar 6,4 juta hektare. (Bbc.com, 12/11/2021)

Sementara di Batu, berdasarkan data ProFauna, 90% kawasan tutupan hutan lindung di area lereng Gunung Arjuno telah habis akibat alih fungsi. Walhi Jatim menyebut, 150 hektar kawasan hutan di hulu Brantas berubah menjadi pertanian. Hal ini mengakibatkan wilayah resapan dan tangkapan air menurun sehingga berdampak pada meluapnya aliran sungai dan berakhir banjir. (detik.com, 11/11/2021)

Demi Pembangunan

"Pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. " Menteri Lingkungan Hidup Indonesia 

Pembangunan infrastruktur, alih fungsi lahan, deforestasi semuanya halal dilakukan demi target pembangunan pemerintah. Atas nama rakyat semuanya dilakukan, padahal faktanya kala lingkungan dihabisi atas nama pembangunan demi rakyat, rakyatlah korban nyata atas bencana yang hadir. 

Intensifikasi pembangunan demi menggenjot roda perekonomian yang katanya untuk menyejahterakan rakyat terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hotel, vila, perumahan dan infrastruktur penunjang lainnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber mata air. Apalagi monopoli mata air halal dilakukan dalam sistem saat ini selama dana tersedia. 

Wajar jika rakyat justru kesulitan air bersih padahal di dekat mereka ada mata air yang Allah berikan. Karena monopoli hotel atau perusahaan lain. Juga buruknya tata kelola ruang. 

Bukti Sayang Allah

Hujan Allah turunkan sebagai bentuk kasih sayang Nya kepada seluruh makhluk di muka bumi. Ia adalah berkah. Waktu turunnya termasuk waktu diijabahnya doa. Tak pantas menyalahkan hujan atas bencana ini, padahal ketamakan manusialah biang keroknya. 

Demi keuntungan kapitalis, pemerintah yang bermesra dengannya rela mengeluarkan kebijakan walau melukai lingkungan tempat hidup rakyat juga mengorbankan rakyat sendiri. 

Sama seperti hujan, Islam sebagai agama dan way of life yang Allah turunkan adalah tanda kasihnya pada kita. Islam mengajarkan untuk mencintai dan menjaga lingkungan. Sebagaimana Firman Allah swt, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56).

Dari satu ayat di atas saja, manusia diperintahkan untuk tetap menjaga lingkungan walau harus melakukan pembangunan atau menjalankan roda perekonomian. Pengaturan tata kelola lingkungan akan dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat kebanyakan bukan berdasarkan keuntungan elit. Sebagaimana Islam mengatur bahwa hutan adalah kepemilikan umum. 

Dengan kata lain, hutan haram di privatisasi oleh segelintir orang atau kelompok baik itu swasta atau asing. Pengelolaannya diserahkan kepada negara dengan hasil dikembalikan kepada rakyat seutuhnya. Negara tak boleh mengubah hutan menjadi kebun sawit walau akan mendatangkan devisa negara, karena akan merusak lingkungan. Negara sudah memiliki kas pemasukan yang banyak dari baitul mal. 

Tentu pembangunan infrastruktur dan hunian tetap dilakukan tapi dengan orientasi yang berbeda. Dalam Islam, pembangunan dilakukan untuk kemaslahatan umat, memenuhi kebutuhan umat. Pembangunan ini pun harus memperhatikan pengelolaan lingkungan sekitar. Hal ini sudah terbukti kegemilangan penerapannya selama berabad lamanya. 

Kini tinggal kita pilih. Akankah kita ambil sayang Allah pada kita dengan menerapkan Islam kembali? 

Wallahua'lam bish shawab. 

Posting Komentar untuk "Bukan Salah Hujan tapi Kapitalisme"

close