Pembubaran MUI, Logis Kah?
Oleh : Indah Ummu Haikal (Komunitas Muslimah Rindu Surga Bandung)
Isu pembubaran MUI makin marak beredar di dunia maya, usai penangkapan Dr. Ahmad Zain An NajahZain, di Bekasi (Selasa 10/11/21 ), yang diketahui merupakan salah satu pengurus komisi fatwa MUI, serta diduga terlibat jaringan terorisme yang ditangkap oleh Densus 88 (Republika, 20/11/2021).
Munculnya isu pembubaran MUI ini membuat banyak pihak geram hingga membuat pernyataan menolak tuntutan ini. Pada laman website mui.or.id (23/11/2021), Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai tuntutan pembubaran MUI yang muncul di media sosial tidak rasional. Menurutnya apabila ada masalah di dalam sebuah organisasi, maka yang harus segera dibenahi adalah masalahnya, bukan pembubaran organisasinya. Wapres yang juga merupakan Ketua Dewan Pertimbangan MUI menyatakan bahwa MUI telah memiliki komitmen dalam pemberantasan terorisme. Pada tahun 2004 sebagai organisasi kumpulan Ulama, MUI tidak hanya membuat fatwa tapi juga membentuk organisasi bernama Tim Penanggulangan Terorisme (TPT) yang langsung diketuai oleh dirinya. Saat itu, upaya penanggulangan terorisme masih dalam bentuk desk di Kemenko Polhukam. TPT bersama dengan desk terorisme terus melakukan sosialisasi dalam rangka menangkal terorisme dan radikalisme. MUI bersama dengan ormas-ormas Islam lainnya dan Menko Polhukam, menginisasi lahirnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, bahkan menyebut pihak yang mengeluarkan isu soal pembubaran MUI adalah orang yang tidak bisa membedakan urusan pribadi dan lembaga. Menurutnya, kedudukan MUI sudah kokoh karena disebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga tidak bisa sembarangan dibubarkan. Penolakan juga datang dari Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas yang menentang keras segala upaya yang mengganggu eksistensi MUI, karena MUI tidak bisa lepas dari Indonesia.
Nasrulloh Larada, Ketua Umum Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KBPII), juga mengatakan keinginan untuk membubarkan MUI merupakan ide dan gagasan konyol. Tuntutan tersebut merupakan upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, serta harus diwaspadai sebagai bentuk radikalisme memecah NKRI. Tagar tandingan seperti #dukungMUI juga turut memuncaki topik di ruang publik sebagai bentuk dukungan masyarakat pada MUI.
Tuntutan pembubaran MUI menunjukkan adanya pihak-pihak yang selalu mencari kesempatan untuk memberangus suara kritis ulama, apalagi lembaga MUI mulai kritis membela ajaran Islam dan mengkoreksi kebijakan pemerintah. Terlebih pasca ijtima Ulama MUI, yang telah ditutup tanggal 11 November lalu salah satu poitnnya menyatakan bahwa Jihad dan Khilafah adalah ajaran Islam. Entah kebetulan atau tidak, pasca ijtima tersebut, isu terorisme kembali menggoyahkan umat. Jihad dan khilafah tetap dianggap sebagai ajaran radikal yang memicu terorisme.
Bagaikan memancing di air keruh, para pembenci Islam melihat kesempatan ini sebagai peluang untuk membungkam ulama yang kritis dan lurus. Tudingan terhadap ustadz atau penceramah kritis yang dianggap radikal dilakukan untuk membungkam kekritisan para ulama dalam melakukan amar ma'ruf nahi mungkar kepada penguasa. Para ulama yang kritis dalam mengkoreksi kebijakan penguasa sudah pasti akan terstigma sebagai ulama yang radikal, karena ceramahnya berbahaya dan cenderung memprovokasi atau memecah belah persatuan. Umatpun ditakut-takuti dengan issue terorisme, sehingga mereka takut terhadap ajaran agamanya sendiri. Mereka takut bahwa bila ingin mengamalkan ajaran Islam kaffah dianggap fanatik yang akan memunculkan benih terorisme.
Umat seharusnya cermat dalam menyikapi peristiwa di balik tuntutan pembubaran MUI ini, juga jangan sampai kita terjebak dengan narasi radikalisme-terorisme, yang sengaja dihembuskan untuk mencitraburukkan Islam dan kaum muslimin serta untuk mencegah timbulnya kesadaran umat tentang pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah.
Peran MUI sebagai lembaga yang membimbing, mengayomi dan membina kaum muslimin di Indonesia sangatlah penting, karena sebagai lembaga yang mewadahi para ulama dan cendekiawan juga zu'ama, dalam merealisasikan amar ma'ruf nahi mungkar. Ulama memiliki tugas untuk membimbing umat agar memahami Islam secara kaffah, yang sesuai dengan syariat. Dengan demikian, kehadiran MUI sudah semestinya lebih menyuarakan kepentingan Islam dan kaum muslimin, juga membela kepentingan umat Islam dan ulamanya, serta tidak boleh hanya mencakupkan diri sebagai lembaga fatwa untuk isu-isu yang mengokohkan program rezim.
Wallahu A'lam bishawab
Posting Komentar untuk "Pembubaran MUI, Logis Kah?"