Erupsi Semeru, Muhasabah dan Ketaatan
Oleh: Opa Anggraena (Sahabat Visi Muslim Media)
"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allâh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." (TQS An-Nisa:79)
Innalilahiwainnailaihi roji’un, musibah dan berita duka silih datang berganti tidak ada habisnya. Pada hari sabtu (4/12) pukul 15.00. Warga Lumajang berhamburan, panik dan berlarian menyelamatkan diri dari awan panas erupsi gunung Semeru. Seperti kota mati yang tak berpenghuni keadaan kampung di Lumajang saat ini. Data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mencatat ada 13 korban meninggal dunia akibat erupsi Gunung Semeru. (Kompas.com, 5/12/2021)
Parahnya, pada kejadian erupsi Gunung Semeru ini diketahui bahwa tidak ada peringatan/pemberitahuan dini sebelumnya. Wigyo (Krua DPD KAWALI JATIM) mengungkapkanini akan sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar menurut penjelasan dari Kepala Badan Geologi Kementrian ESDM Eko lelono menyebutkan bahwa pada sekitar pukul 13.30 WIB terekam getaran banjir pada seismograf, tetapi tidak ada peringatan dini sampai sekitar pukul 15.00 WIB ketika masyarakat berhamburan panik saat erupsi terjadi.(porosnews.co., 5/12/21)
Pentingnya early warning system, Mengapa Tidak Ada?
Dalam saat-saat darurat, early warning system sangat penting dan diperlukan untuk menunjang mitigasi bencana demi keselamatan warga sekitar. Sayangnya, saat ini tidak berfungsi. Hal ini berakibat fatal, salah satunya akan lebih banyak korban yang berjatuhan.
Secara geografis, Indonesia adalah negeri rawan bencana. Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena terkelilingi Cincin Api (ring of fire) Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Ausyralia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Maka memang perlu kesiapan mental dari semua pihak untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Sikap mental tanggap bencana terutama para penguasa yang mengurus urusan umat.
Kebijakan yang dikeluarkan penguasa tentu akan berpengaruh pada keberlangsungan kehidupan rakyatnya. Lambatnya penguasa dalam menangani bencana pun membuat rakyat bertambah susah. Terlepas bencana merupakan mutlak kuasa DariNya. Namun manusia perlu berikhtiar dalam ranahnya. Seperti dalam kasus ini, penguasa perlu berikhtiar untuk mengevaluasi sistem mitigasi dan peringatan dini agar hal serupa tidak terjadi. Berkaca pada kejadian serupa setidaknya menghindari terjadinya dharar yang lebih besar bagi rakyat, karena ini memang kewajiban penguasa untuk meriayah umat, melindungi rakyat dari segala aspek.
Mitigasi dalam Islam, Bentuk Meriayah Umat
Bencana seharusnya menjadi ajang Muhasabah, karena musibah terjadi bisa jadi karena manusia jauh dari Tuhannya dan tidak mau tunduk pada SyariatNya.
Firman Allah SWT :
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS Al-A’raf:96)
Bencana datang mutlak atas KehendakNya, namun bisa saja Allah mendatangkan bencana sebagai peringatan manusia agar tidak melampaui batas. Bumi ini milik Allah maka seharusnya manusia taat dan taqwa pada pemilik bumi yaitu Allah.
Maka manusia pun perlu berikhtiar menjaga bumi ini. Pun ketika bencana Allah datangkan, ranahnya manusia meminimalisir dan mengupayakan agar bencana yang datang tidak mendatangkan dharar yang sangat besar.
Sepeti halnya Mitigasi/ serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik ataupun penyadaran, serta peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana (PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Dalam Islam, mitigasi menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinan, yakni sebagai pengurus (rain) dan penjaga (junnah) umat yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Sedangkan aktivitas tolong menolong yang bisa dilakukan masyarakat yang dianjurkan dalam Islam.
Penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yaitu dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau yang bisa mengundang azab Allah, seperti zina dan riba.
Di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus. Tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga manajemen kebencanaan (disaster management) yang lebih sistemis dan terpadu, seperti sistem peringatan dini, sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan; termasuk didalamnya pemerintah harus menerapkan kebijakan tata ruang, tata wilayah, dan pembangunan infrastruktur yang berbasis kelestarian dan ketahanan lingkungan.
Maka Ketaatan akan syariatNya menjadi kunci utama tentramnya bumi ini.
Wawlohu’alam Bishaawab
Posting Komentar untuk "Erupsi Semeru, Muhasabah dan Ketaatan"