Rumini dan Kisah Pilu Mitigasi Bumi Pertiwi
Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd (Sahabat Visi Muslim Media)
"Ibumu.. Ibumu.. Ibumu"
Itulah jawaban Rasul saat ditanya oleh salah seorang sahabat pada siapa harus ia berikan Cintanya setelah Allah dan Rasul. Ibu, satu kata berjuta rasa. Ibu, satu wanita berjuta Cinta. Begitu besar Cinta ibu pada anak hingga takkan pernah bisa anak membalas cintanya. Tapi, tak lantas ditinggalkan begitu saja, justru seorang anak yang sholeh dan sholeha akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa berbakti pada ibunda walau tahu takkan pernah bisa membalas semua Cinta ibunya. Seperti kisah pilu yang terjadi saat erupsi semeru, sabtu lalu.
Rumini dan Ibunda
Dikutip dari laman kompas.com (8/12/2021), Salamah (70) dan anaknya, Rumini (28), ditemukan meninggal berpelukan pasca-erupsi Gunung Semeru menyapu kediaman mereka di Desa Curah Kobokan, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur.
Adik ipar Salamah menceritakan saat erupsi Semeru terjadi, semua orang berhamburan menyelamatkan diri. Hanya saja, Salamah diduga tidak kuat berlari karena faktor usia. Sementara anaknya, Rumini tak sampai hati meninggalkan ibunya seorang diri. Hingga akhirnya mereka ditemukan meninggal dalam keadaan berpelukan.
Pilu kisah Rumini yang rela kehilangan nyawa daripada meninggalkan sang ibu tercinta. Inilah Cinta sejati yang tak kenal untung rugi. Inilah Cinta yang menjadi bukti bakti anak pada ibundanya.
Sayangnya, kisah pilu tak hanya menghampiri Rumini, ditemukan pula jenazah seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Tim relawan melihat tangan manusia di antara gundukan pasir. Setelah digali, ditemukan beberapa jenazah, diantaranya seorang perempuan yang menggendong anak kecil.
Inilah Cinta ibu pada anaknya yang tak ingin menyelamatkan diri sendiri saat bencana menerpa. Anaknya digendong, dibawa serta demi menyelamatkan nyawa. Nahas, takdir berkata lain, Allah panggil keduanya ke pangkuan-Nya. Semoga Allah berikan tempat kembali terbaik bagi semua korban erupsi Semeru.
Mitigasi Bumi Pertiwi
Indonesia, dikenal sebagai negeri yang rawan bencana. Bagaimana tidak? Ia dikelilingi oleh ring of fire, gunung api aktif tersebar di berbagai belahan wilayah Indonesia. Tak hanya itu, Indonesia pun jadi pertemuan tiga tumbukan lempeng benua. Ditambah iklim tropis dua musim yang menghiasi bumi pertiwi.
Gempa bumi, gunung meletus, longsor, puting beliung, tsunami, banjir dan sejenisnya menjadi hal yang biasa terjadi. Sayangnya, walau sudah berbekal pengetahuan, pengalaman berhadapan dengan bencana, Indonesia masih saja gagap menanggulanginya. Buktinya, bencana kerap menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit. Bantuan dari pemerintah pun selalu telat datangnya.
Pertanyaan, "Dimana peran negara dan para penguasa? " sudah terlalu sering dilontarkan hingga rakyat pegal sendiri. Akhirnya, masyarakat yang berinisiatif swadaya memberikan bantuan dan juga solusi atas bencana yang terjadi.
Mitigasi bencana di Indonesia pun masih buruk. Di Semeru sendiri, yang merupakan gunung aktif, tidak ada Early warning system, yang ada hanya seismograf. Padahal EWS sangat penting untuk deteksi dini bencana. Pihak pemerintah sendiri mengklaim sudah melakukan peringatan dini, tapi hal ini patut dipertanyakan karena buktinya banyak warga yang tidak tahu tentangnya.
Inilah bukti abainya penguasa di sistem kapitalisme. Penguasa menunjukkan kepedulian pada rakyat hanya saat pemilihan umum saja. Setelah itu, rakyat dilupakan dan sibuk memperkaya diri juga mempertahankan jabatan.
Peran Penting Negara
Solusi swadaya mungkin bisa membuat keadaan lebih baik. Sumbangan dana untuk kebutuhan pengungsian mulai dari tenda, tempat tidur, makanan, pakaian, alat kesehatan, transportasi, hingga membeli alat mitigasi bisa saja dilakukan, tapi tentu terbatas. Karena tak semua rakyat bisa menyumbang, beda jika negara yang berperan.
Negara memiliki kekuasaan untuk membuat pos anggaran dan belanja negara. Rakyat tentu diperbolehkan membantu semampunya apalagi Islam mengajarkan untuk saling tolong menolong. Tapi, peran penting tetap dijalankan oleh negara. Inilah yang alpa dari negara kapitalis saat ini. Sementara dalam Islam, negara diberikan kewajiban meriayah seluruh urusan umat, termasuk menjaga jiwa.
Hal ini berarti negara wajib menyediakan alat mitigasi bencana dalam rangka menjaga jiwa rakyatnya. Dananya diambil dari kas baitul mal yang memiliki banyak pos. Bukan hanya menyediakan alat, tapi penjagaan alam dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya bencana, seperti reboisasi juga relokasi.
Tim SAR pun disiapkan dengan pembekalan optimal baik teknis juga non teknis termasuk peralatan canggih dalam bertugas. Dengan harapan mereka akan siap siaga saat bencana tiba. Dan jika qadarullah bencana datang, maka fokus negara adalah mengurangi jumlah korban baik jiwa maupun kerugian materi dari bencana. Kebutuhan utama bagi para korban pun turut menjadi fokus yang harus dipenuhi seperti makanan, air bersih, pakaian, obat-obatan, juga tenaga ahli. Proses evakuasi dan penyelamatan juga pengungsian pun dilakukan secara cepat dan profesional.
Tak lupa, recovery setelah bencana pun dilakukan oleh negara baik proses trauma healing juga pembangunan kembali bangunan atau sarana prasarana yang hancur akibat bencana. Semuanya dibarengi dengan sikap rida pada qadha Allah. Sehingga ikhlas dan sabar senantiasa menemani rakyat juga penguasa dalam menghadapi bencana.
Inilah peran penting negara dalam Islam yang didorong oleh akidah. Saat ini mungkin hanya menjadi teori, tapi suatu saat nanti bukan mustahil akan diterapkan kembali. Karena sudah terbukti kegemilangan penerapannya dan kewajiban untuk diterapkan secara kaffah. Dengan penerapan Islam secara sistemik, insyaallah tak ada Rumini atau korban lain yang jatuh karena minimnya mitigasi.
Wallahua'lam bish shawab.
Posting Komentar untuk "Rumini dan Kisah Pilu Mitigasi Bumi Pertiwi"