RUU Polri Dinilai Perluas Kewenangan Tanpa Perkuat Pengawasan



Analis Politik Media dari Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD), Hanif Kristianto, menyoroti Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) yang dianggap lebih menonjolkan perluasan kewenangan institusi kepolisian daripada memperkuat mekanisme pengawasannya.

Dalam acara Kabar Petang: Tiba-tiba Dwifungsi Polri yang disiarkan oleh kanal YouTube Khilafah News pada Jumat (4/4/2025), Hanif menegaskan bahwa draf regulasi tersebut seharusnya menjadi perhatian serius masyarakat.

“Ini menjadi catatan bagi masyarakat khususnya berkaitan dengan RUU Polri ya, yang kita lihat juga banyaknya perluasan kewenangan, bukan malah pengawasan,” ungkap Hanif.

Ia mencontohkan Pasal 7 dan Pasal 10 dalam RUU tersebut, yang menurutnya berpotensi menciptakan ruang abu-abu dalam sistem pertanggungjawaban internal kepolisian. Pasal-pasal tersebut tidak secara tegas mengatur struktur organisasi maupun mekanisme kerja secara ketat.

“Nah jadi ini bisa juga saling lempar tanggung jawab,” ujarnya.

Tak hanya itu, Hanif juga menyoroti ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) yang memberikan tambahan lima tugas baru kepada Polri. Penambahan ini menjadikan total tugas polisi menjadi 16, dan salah satunya dianggap membuka celah penyalahgunaan wewenang.

“Bahkan di Pasal 14 ayat (1) huruf c, itu mengatur bahwa polisi dapat melaksanakan tugas lain di luar tugas utamanya,” beber Hanif.

Menurutnya, perluasan tugas tersebut berisiko menimbulkan gesekan dengan lembaga-lembaga negara lain, terutama bila tidak dibarengi dengan batasan dan pengawasan yang jelas.

Hanif menekankan pentingnya setiap lembaga negara, termasuk kepolisian, untuk tetap berada dalam pengawasan publik sebagai bentuk kontrol demokratis.

“Ya, memang sebetulnya sebuah lembaga itu harusnya juga tidak terlepas dari kontrol masyarakat. Nah, selama ini sebuah lembaga itu kan menjadi seperti lembaga superbody, kemudian seolah-olah berdiri di atas semuanya,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa keprihatinan masyarakat sipil terhadap tindakan sebagian oknum kepolisian menjadi bukti bahwa kritik publik masih sangat relevan untuk menjaga integritas institusi.

“Nah, di sisi lain masyarakat sipil juga sering mengkritisi perilaku atau tindakan sebagian dari kalangan mereka ya, atau kita lihat juga ya oknum-oknum lah kalau kita katakan begitu. Itu perlu mendapatkan sebuah catatan dan juga kritisi,” tambahnya.

RUU Polri ini, lanjut Hanif, memunculkan kekhawatiran bahwa institusi tersebut bisa berubah menjadi lembaga yang terlalu kuat dan sulit dijangkau pengawasan, bahkan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.

Ia juga mengingatkan bahwa pada tahun 2024, pembahasan rancangan undang-undang ini sempat memantik gelombang protes dari masyarakat di berbagai daerah, hingga akhirnya DPR memutuskan menunda pembahasannya.

“Sebelumnya saja sudah ada penolakan dari masyarakat sipil atau publik. Nah, apalagi untuk sekarang ini,” tegas Hanif.

Ia mengkritik bagaimana pembuatan undang-undang di Indonesia masih sering tidak mempertimbangkan kepentingan publik secara menyeluruh, dan justru berpihak pada kelompok atau elit politik tertentu.

Hanif menggarisbawahi bahwa kondisi seperti itu hanya akan memperlebar jarak antara negara dan rakyatnya, serta membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh institusi negara.

Dengan berbagai catatan tersebut, Hanif menilai penting adanya desakan publik agar pembahasan RUU Polri diarahkan untuk memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, bukan sekadar menambah daftar kewenangan.

Ia menutup pernyataannya dengan imbauan agar masyarakat tetap kritis terhadap setiap rancangan kebijakan yang berdampak luas terhadap demokrasi dan hak-hak sipil. [] n0l


Posting Komentar untuk "RUU Polri Dinilai Perluas Kewenangan Tanpa Perkuat Pengawasan"