Negara Sekularisme, Rakyat Jadi Kelinci Percobaan Aturan yang Berubah-ubah
Jakarta, Visi Muslim- Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib menyatakan, negara berpaham sekuler hanya akan melahirkan peraturan yang berubah-ubah serta menjadikan rakyat sebagai kelinci percobaan dari kebijakan itu.
“Sekularisme akan melahirkan aturan yang berubah-ubah yang menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan,” ujarnya dalam Kelas Eksekutif Bedah Kapitalisme, rangkaian dari Ekspo Rajab 1443 H: Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, hari keempat yang dilakukan secara daring, Kamis (24/2/2022).
Hal itu, ia ungkapkan, sebagai salah satu bentuk kerusakan dari penerapan sekularisme di level negara yang salah satu perannya mengambil kebijakan. Malah dikarenakan dalil yang dijadikan dasar bukan lagi haram dan halal, tetapi manfaat, peran Tuhan tidak akan dilibatkan dalam proses pertimbangan suatu kebijakan yang akan diambil.
Lebih memprihatinkan, pihak yang berusaha menjadikan agama sebagai pengatur kehidupan, akan ditentang dengan berbagai macam tuduhan. “Disebut sebagai intoleranlah, radikal segala macam,” ucapnya sedih.
Sebagai bukti, aturan BPJS. “Tujuannya bukan lagi agar rakyat terjamin kesehatannya. Tetapi justru yang diterapkan adalah di mana (cara) mengutip harta milik rakyatnya. Bagaimana tidak, iurannya sebegitu banyaknya. Diubah-ubah aturannya,” lugasnya.
Bahkan untuk aturan lainnya yang telah diterapkan bertahun-tahun, namun di tengah jalan relatif mengakibatkan masalah, seketika diubah. “Tidak akan pernah ada berhentinya. Itulah aturan yang dibuat oleh manusia, berubah-ubah” tambahnya.
“Dan yang lebih parah ketika itu diserahkan pada hawa nafsu. Hawa nafsu penguasa,” imbuhnya.
Akidah Kapitalisme
Ia menyampaikan, sekularisme adalah akidah dari ideologi kapitalisme, yang menurutnya tak sekadar meyakini sesuatu lantas dibenarkan oleh hati.
Tetapi lebih kepada perkara mendasar yang selanjutnya memiliki pengaruh terhadap perilaku. Semisal ketika berbicara tentang Tuhan, seorang Muslim merasa wajib shalat, puasa, atau tak boleh mengutip uang yang bukan haknya. “Kenapa? Ada keyakinan kepada Tuhan,” jawabnya.
“Keyakinan adanya Tuhan, keyakinan bahwa Tuhan itu melihat itulah yang membuat perilaku seseorang,” runtutnya.
Sebaliknya, apabila seseorang tidak meyakini adanya Tuhan, maka tidak akan muncul upaya mengendalikan perilaku, kecuali hanya senang dan tidak senang.
Di sisi lain, ia menambahkan, perkara mendasar sebenarnya adalah perkara yang juga menjadi jawaban atas pertanyaan yang mendasar pula. “Dari mana saya berasal? Untuk apa saya datang ke dunia? Ke mana saya akan kembali?” tuturnya.
Lantas, dari sini yang bisa dikategorikan sebagai akidah adalah siapa pun atau ide apa pun yang memang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut. “Terlepas apakah jawabannya benar atau salah, maka itu bisa dikategorikan sebagai akidah,” tandasnya.
Terutama sosialisme-komunisme, yang menurutnya, ideologi itu telah dengan tegas mengatakan tidak percaya Tuhan sebagai Yang Maha Pencipta.
Terkait kehidupan akhirat, sosialisme-komunisme juga menjawab tidak ada kehidupan setelah kehidupan dunia. “Yang ada, ada kehidupan dunia semata yang itu merupakan hasil evolusi materi yang panjang,” ungkapnya.
Maka tak heran jika ideologi tersebut bersikap menolak dan memusuhi agama. “Kalaupun ada agama, akan disebut sebagai candu,” ucapnya.
Sedangkan kapitalisme, menurutnya, mereka tetap mengakui adanya Tuhan serta agama, berikut ajaran tentang ketuhanan dan kehidupan pasca kehidupan dunia. Tetapi disayangkan, kepercayaan yang dimaksud hanya dijadikan jalan tengah/kompromi antara agama dan ateisme.
Maknanya, agama memang tidak dihilangkan sama sekali, hanya tidak boleh mengatur kehidupan. “Maka akidah sekularisme itu adalah memisahkan agama dari kehidupan. Fasluddin ‘anil hayah,” tegasnya.
Batil
Lebih lanjut, ia menyatakan, sebenarnya, bentuk akidah demikian adalah batil. Sebabnya, tidak didasarkan pada pemikiran alias kompromi tanpa terlebih dahulu mengkaji kebenaran atau kesalahan sebuah perkara.
“Buktinya, sekulerisme adalah solusi jalan tengah atau kompromi antara konflik gereja dengan para pemikir, kaum agamawan dengan ateis,” ungkapnya, berkaitan asal-muasal munculnya sekularisme dari konflik di Eropa antara kaum gereja dan filosof atheis pada Abad Pertengahan.
“Ketika terjadi konflik, mestinya kan harus dilakukan pengkajian mana yang benar. Apakah kaum agamawan ataukah kaum ateis,” tegasnya.
Tetapi kala itu, kapitalisme tak mau ambil pusing tentang mana yang benar atau salah. “Ini menunjukkan ia (kapitalisme) tidak sampai pada pemikiran. Ia hanya mengambil jalan tengahnya,” katanya.
Sementara, kalaupun saat ini terdapat Departemen Agama dalam struktur negara, kata Rokhmat, agama hanya untuk mengatur urusan ibadah. “Paling banter adalah kehidupan personal, mulai, katakanlah nikah, talak, cerai dan rujuk,” bebernya sekaligus menegaskan bahwa institusi keagamaan tersebut tidak akan digunakan mengadili perkara pidana.
Demikian juga urusan ekonomi, politik, pendidikan, dan lain sebagainya, yang notabene menjadi urusan negara, tidak boleh agama sampai mencampuri. Dengan kata lain, urusan-urusan itu memang didasarkan pada kepuasan, bukan bukti kebenaran.
Selain itu batilnya sekularisme menjadi akidah, juga dinilai Rokhmat karena adanya beberapa kontradiksi. Antara lain, mengakui agama namun di saat yang sama menafikan agama dari kehidupan.
Begitu pun dari sikap meyakini bahwa Tuhan sebagai Yang Mahaadil, Bijaksana, Benar, tetapi justru menolak hukum-hukum-Nya yang qath’i atau pasti.
Tak hanya itu, ketika agama mengharuskan meyakini hari kiamat atau hari pembalasan, berikut proses pengadilan akhirat yang jelas-jelas hukum yang digunakan nantinya adalah milik Allah SWT, seseorang di dalam mengendalikan perilakunya didasarkan atas senang atau tidak senang saja.
Seolah-olah, memang tidak ada hubungan antara yang dilakukan manusia ketika hidup di dunia dengan kehidupan akhirat. “Ini tidak jelas kalau dalam kapitalisme. Apakah kemudian dia tiba-tiba masuk surga?” herannya.
Oleh karena itu, Rokhmat menuturkan, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, manusia tidak boleh membatasi agama. Sebab, selain tidak sesuai dengan fitrah karena memaksa manusia untuk membuat aturan bagi kehidupan, akal manusia pun tak bisa digunakan untuk menjangkau perkara yang tidak bisa dijangkau indera.
Tegasnya, manusia beriman diperintahkan untuk masuk Islam secara kafah. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara kafah,” ungkapnya mengutip Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 208.
Sehingga sebagaimana Islam yang juga merupakan akidah, Allah SWT telah memberikan hukum atau sistem syariah pada manusia yang wajib diterapkan. “Hukum yang Allah turunkan itu nanti (juga) akan digunakan oleh Allah SWT untuk menghisab dan mengadili seluruh manusia di hari kiamat,” terangnya.
Bahkan mengacu pada surah al-Maidah ayat 44, 45 dan 47, terhadap orang-orang yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah SWT, mereka divonis sebagai orang zalim, munafik bahkan kafir.
“Apakah kamu beriman pada sebagian kitab dan ingkar pada sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang mengerjakan seperti itu dari kalian kecuali kehinaan dalam kehidupan di dunia. Dan pada hari kiamat dikembalikan dalam azab yang paling pedih,” pungkasnya mengutip Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 85.[] Zainul Krian
Posting Komentar untuk "Negara Sekularisme, Rakyat Jadi Kelinci Percobaan Aturan yang Berubah-ubah"