Apa yang Terjadi di Ukraina?

 


Sebelum Rusia menginvasi Ukraina, AS secara aktif terlibat dalam pengumuman publik tentang perkembangan yang berkaitan dengan krisis Rusia-Ukraina. AS sangat menyadari rencana Rusia untuk menginvasi Ukraina, bahkan ketika itu akan terjadi. Dalam beberapa kesempatan, Presiden AS, Biden memberi isyarat bahwa invasi Rusia ke Ukraina sudah dekat dan mempersiapkan komunitas internasional untuk perang yang akan datang ini. Menariknya, bahwa Amerika tidak mengambil tindakan pencegahan besar untuk mencegah invasi kekuatan nuklir ekspansionis di perbatasan “sekutunya” Eropa, selain mengancam dengan sanksi.

Bahkan, sebelum eskalasi ketegangan yang ada, AS telah membakar antara Eropa dan Rusia dengan mengadakan serangkaian latihan militer skala besar di Eropa Timur dengan mitra NATO-nya. Pada tahun 2019, Angkatan Darat AS mengumumkan bahwa latihan “Defender Europe, Pembela Eropa” akan menjadi uji coba terbesar pasukan AS ke Eropa dalam seperempat abad. Jika bukan karena COVID, latihan tersebut akan melibatkan 20.000 personel layanan AS yang akan dipindahkan dari pangkalan di Amerika Utara “ke lokasi di seluruh Eropa, termasuk Polandia, negara-negara Baltik, serta beberapa negara Nordik dan Jerman”. Tahun berikutnya 9.000 tentara dikerahkan ke Eropa.

Jadi, jelas sekali bahwa AS tidak hanya enggan untuk mencegah invasi yang akan datang, namun juga memupuknya dengan memprovokasi Rusia di Eropa Timur dengan Ukraina. Oleh karena itu, AS memberikan lampu hijau kepada Rusia untuk memasuki Ukraina.

Bagi Rusia, pencaplokan Ukraina hanyalah bagian dari rencana yang lebih luas untuk mengembalikan posisi signifikan Rusia di panggung internasional seperti sebelumnya. Setelah runtuhnya Uni Soviet, mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright mengatakan hal berikut pada tahun 2000 tentang Presiden Putin: “Dirinya merasa kasihan atas apa yang telah terjadi pada negaranya, sementara dia bertekad untuk memulihkan kemegahannya.” Sejak itu, Rusia terus mencengkeram bekas Republik Soviet. Pada tahun 2008 mencaplok sebagian Georgia, dan pada 2013 mencaplok Krimea (Ukraina Selatan), sekarang mencoba mencaplok Ukraina Timur dengan paksa.

Untuk menghentikan arus ekspansionistis ini, AS menghadapi Rusia dengan UE di Ukraina. Pidato-pidato Putin di televisi nasional di mana ia menyatakan visinya yang megah tentang Rusia yang hebat dan tindak lanjut persiapan perangnya, dan akhirnya menyerang Ukraina, digunakan dengan penuh semangat untuk menciptakan opini publik yang menentang Putin dan cita-citanya, dia menjadi penampakan dari penghasut perang yang berbahaya, seorang Hitler baru, yang membahayakan bagi perdamaian dan dunia yang bebas, yang mengakibatkan daftar panjang sanksi berat oleh AS, Inggris, UE, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Taiwan untuk menghukum Rusia dan mengisolasinya. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen: “Presiden Rusia Vladimir Putin harus dan pasti akan gagal.” Sanksi ini mungkin tidak akan berdampak langsung dalam waktu dekat, tetapi pasti akan berdampak pada Rusia dalam jangka panjang dan melemahkan posisinya. Itulah posisi yang diinginkan Amerika untuk Rusia.

Di sisi lain, AS juga memanfaatkan krisis di perbatasan timur Eropa ini untuk menekan UE agar membawanya kembali ke wilayah pengaruh Amerika. Sejak pemerintahan Trump dan kekalahannya di Afghanistan, UE telah kehilangan kepercayaannya pada AS dan mulai berlayar dengan caranya sendiri. AS ingin membalikkan perkembangan ini dengan menciptakan masalah bagi Eropa yang tidak dapat ditanganinya sendiri. Ketidakmampuan untuk bertindak melawan ancaman Rusia baru-baru ini persis seperti yang kita saksikan di UE. Apalagi UE terbagi dan tidak memiliki kekuatan serangan militer yang kuat. Seperti yang dikatakan mantan Menteri Pertahanan Jerman A. Kramp-Karrenbauer: “Saya sangat marah dengan diri kami sendiri, karena kami telah gagal secara historis. Setelah Georgia, Krimea, dan Donbas, kami belum menyiapkan apa pun yang benar-benar dapat menghalangi Putin. Kami telah melupakan pelajaran dari Schmidt dan Kohl bahwa negosiasi selalu diutamakan, tetapi pada saat yang sama Anda harus begitu kuat secara militer, sehingga non-negosiasi tidak dapat menjadi pilihan bagi pihak lain.” Jadi, UE sekali lagi diingatkan akan kelemahannya dan masih membutuhkan kekuatan dan pengaruh militer AS.

Dengan memanfaatkan situasi Eropa yang lemah, Biden ikut campur dalam masalah domestik Eropa. Misalnya, dia bergegas menjatuhkan sanksi pada pipa gas Nord Stream 2 yang sejak awal ditentang keras oleh AS tetapi tidak bisa dihentikan, namun sekarang sudah.

Dengan demikian, jelas bahwa AS sangat diuntungkan dari perang di Ukraina. Ukraina dimanfaatkan,  ditinggalkan oleh NATO dan Uni Eropa, dan dimasukkan dalam skenario terbaik yang akan menyerahkan wilayah timurnya ke Rusia. Sehingga Rusia mungkin akan berhasil mencaplok bagian Timur Ukraina hingga Krimea dan memasang rezim pro-Rusia. Rencananya, Rusia akan melemah akibat sanksi dan isolasi internasional yang diberlakukan dalam jangka panjang, kecuali jika hubungan dan kerja sama antara Rusia dan China membaik. Sungguh, kelemahan Uni Eropa ini, sekali lagi telah melemparkannya kembali ke pangkuan kakaknya, Amerika Serikat. [Okay Pala – Perwakilan Media Hizbut Tahrir di Belanda]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 2/3/2022.

Posting Komentar untuk "Apa yang Terjadi di Ukraina?"